Hari itu, 27 Maret 2013 di ruang sidang Dewan Adat Suku Sentani (DASS), aku berhadapan dengan orang yang paling ku cintai, sekaligus yang telah mengkhianatiku. Ia memaksaku membawa segala kekecewaanku ke dalam persidangan ini. Bukan sekali dua kali Peter menyakitiku. Hampir setiap hari ia memukul, mencaci, merendahkanku karena aku tak dapat memberikannya keturunan. Aku menyerah dan memutuskan untuk kembali ke rumah orangtuaku. Dan hari ini DASS memanggilku, keluarga besarku, Peter, beserta keluarga besarnya untuk melakukan sidang adat. Di tempat inilah, perempuan-perempuan Sentani mengadukan nasibnya. Meskipun seringkali hasil persidangan yang kudengar tak selalu berpihak kepada kaum lemah seperti kami, tapi kami percaya DASS sebagai lembaga tinggi adat dapat menyelesaikan permasalahan kami dengan adil dan damai. Kini tiba saatnya Majelis membuka sidang dan mendengar keterangan dari kedua belah pihak. “Erna, coba ko jelaskan apa yang terjadi sehingga Peter memukulmu?”, tanya ketua majelis sidang. Dengan hati yang penuh luka, aku pun mencoba untuk menjawab, “Awalnya kita dapat berita dari dokter kalau sa tara bisa punya anak. Sa punya mama mantu bilang ke sa pu suami untuk ceraikan saya saja. Sa tra mau karena sa su janji di hadapan Tuhan, tapi Peter paksa sa tiap hari untuk bercerai. Sejak saat itu, Peter selalu pukul. Sa tra bisa tahan lagi Pak Majelis.” Tangisku pun pecah di persidangan itu. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan kepadaku dan Peter, hingga akhirnya sidang di-skors. Para tetua hakim berembuk tentang besar denda yang harus diberikan Peter. Sanksi dendapun ditentukan dan dilanjutkan dengan pembacaan putusan. Hasilnya Peter dikenakan denda sebesar 4 juta rupiah dan setelah disepakati 3 hari kemudian dilakukan sidang pembayaran denda, juga tanda tangan berita acara untuk bercerai. Sidang pun ditutup dengan doa bersama disertai kedua belah pihak meminta maaf. Akhirnya kami pun bercerai sesuai dengan keinginan Hendrik.       Disadur dari : Tesis Peran Dewan Adat Suku Sentani dalam penyelesaian konflik kekerasan dalam rumah tangga pada masyarakat Sentani, ditulis oleh Christine Olidita Indahrami Sanggenafa (UI, Depok – 2014). Gambar : techno.id