Waktu menunjukkan pukul 7 malam. “Tami, Ara … ayo cepat, aku tak mau nanti kita terlambat,” ajakku. Tami dan Ara pun mempercepat langkah mereka untuk menyusulku yang memutuskan untuk berlari kecil agar segera sampai ke tanah lapang di ujung kampung kami. Sudah seminggu ini kami menanti-nantikan pekan budaya tionghoa ini. Setiap kali Imlek tiba, pasti seluruh warga kampung akan merayakannya bersama dalam pekan budaya ini. 

“Hey, coba kalian dengar … Pertunjukkannya sebentar lagi akan dimulai,” ujar Tami yang terlihat mulai terengah-engah karena lelah berlarian. Suara kencringan irama simbal cina yang menarik hati itu merupakan tanda bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Hiasan berwarna merah mendominasi seluruh lapangan. Suara sambal cina yang kami dengar ternyata juga menarik perhatian para pengunjung yang sedang lalu-lalang sehingga mereka menyempatkan diri untuk berhenti sejenak menyaksikan pentas Wayang Potehi, sebuah kesenian klasik yang lahir di negeri Tirai Bambu.

Setelah kami mendapatkan tempat duduk, kami pun bersemangat memperhatikan lenggak-lenggok boneka WayangPotehi yang secara perlahan muncul dari panggung berupa bilik kecil berwarna merah menyala. Tak lama kemudian, sosok sang ksatria keluar. Dialah Jenderal Sie Djien Kwie Tjeng See, seorang panglima besar dari Kerajaan Tai Tong Tiaow yang menjadi lakon cerita pentas wayang potehi malam itu. Dengan jubah perang kebesarannya, sang jenderal menumpas habis semua musuh yang dihadapinya. Kian malam para penonton pun kian bertambah. Sang dalang juga semakin bersemangat membawakan cerita, terutama celotehan humornya.

Pentas budaya tionghoa malam itu memberi kesan dalam di hatiku, Tami dan Ara. Tak henti-hentinya kami membicarakan isi cerita dari pertunjukan wayang Potehi. Sudah tiga hari berlalu, tetapi kami masih tetap saja membicarakannya. Duh, ingin lekas Imlek lagi saja rasanya.

Disadur dari “Wayang Potehi, Kesenian Klasik Perpaduan Budaya Tionghoa – Jawa” oleh Reza Fitriyanto

Foto Ilustrasi : indonesiakaya.com