Ibu duduk termangu di kursi kesayangannya. Sambil membuka album foto lama, pikirannya melayang jauh. “Apa yang sedang Ibu lihat rupanya?,” pertanyaanku memecah lamunan Ibu. “Ah, tidak ada apa-apa Ranti. Ibu hanya terkenang masa muda dulu.” Aku tersenyum sambil mendekat kepada Ibu.

Sudah lama tak dengar cerita Ibu. Ada kenangan apa di balik foto-foto ini?”, tanyaku penasaran . “Ibu teringat ketika masa-masa akan menikah dengan Bapakmu dulu.” Ibu kemudian mulai menceritakan kisah cinta mereka kala itu. Aku tak pernah bosan dengan cerita yang sudah berkali-kali kudengar itu. “Kau tahu, ada satu hal yang sangat Ibu rindukan“. “Apa itu, Bu?“, kataku. “Ada satu tradisi yang kini sulit sekali Ibu temukan“.

Aku makin mendekat. Beliau mulai bercerita mengenai Bebehas, tradisi yang ternyata telah lama ditinggalkan penduduk kampungku. Jika ada salah satu penduduk kampung yang akan melakukan hajat pernikahan, maka secara otomatis para penduduk akan mengumpulkan hasil panen padi mereka di salah satu tempat warga untuk dipisahkan dari tangkainya, kegiatan ini disebut mengirik.

Kemudian, setelah bulir padi terkelupas, barulah dilakukan tahap menampikan biji padi ke dalam alat yang terbuat dari balok kayu, yang oleh masyarakat Muara Enim disebut dengan Isaram. Tahapan terakhir dari tradisi Bebehas adalah membawa hasil panen padi ke tempat tuan rumah yang akan mengadakan hajat.

Dan sebagai ungkapan terima kasih, si empunya hajat akan memberikan oleh-oleh berupa bakul yang berisi berbagai bahan makanan, seperti gula, kopi, dan minyak goreng. Berbagai tahapan dalam tradisi Bebehas tersebut dilakukan secara bergotong-royong, dan dilaksanakan tentu dengan suasana suka cita dan ikhlas.

Ada raut penyelasan sekaligus kerinduan kutemukan di wajah Ibu. Ah, ingin sekali rasanya mengembalikan pengalaman Bebehas itu untuk Ibu, kalau suatu saat nanti aku menikah. Mungkinkah?

 

 

 

 

 

 

Disadur dari Bergotong-Royong Mengumpulkan Beras dalam Tradisi Bebehas, oleh Ahmad Ibo.

📷 : DestinAsian