“Bukan baru kali ini saja saya dituduh murtad karena mengikuti PAMU[1], sekte tertua di Jawa, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Katolik. Justru PAMU mampu menjelaskan ajaran Katolik sebagaimana pengalaman batin saya; PAMU menyajikan pranataning wiji (keesaan Tuhan), pranataning dumadi (penciptaan manusia), pranataning pambudi (manusia dengan laku kebajikan utama), dan pranataning pati (Kematian). Setelah semuanya berlalu dan mengerti apa yang saya jalani, kini semua orang-orang terdekat saya mengerti bahkan Pastur di gereja saya pun mendukung saya untuk menjadi ketua Dewan PAMU Kabupaten Banyuwangi”, ujar F. X. Gunari – Pemeluk Agama Katolik. Hari ini, hari ketiga di bulan sura – muharam, saya, istri dan anak-anak mempersiapkan diri untuk menyambut upacara Suran bagi para pendukung PAMU. Upacara Suran dilakukan setahun sekali dan melalui upacara ini kami kembali disucikan setelah selama setahun kami sebagai manusia sibuk dalam pemenuhan kebutuhan sehingga tak jarang tergelincir, tidak sejalan dengan panduan dalam PAMU; dudu ilmu, dudu agama, nanging manungsa uripe, kudu bisa utama, matine kudu sempurna. [2] Dalam upacara Suran setiap Kadang (anggota PAMU) wajib membawa aneka sesaji yang nantinya akan kami makan bersama. Adapun setiap sesaji memiliki maknanya tersendiri: sesaji dalam bentuk makanan yang berwarna-warni bermakna bersatunya berbagai rasa/latar belakang, sesaji sayur-mayur bermakna setiap orang berkewajiban memenuhi aturan dan berharap selalu mendapat berkah Tuhan. Meskipun setiap Kadang datang dari beragam latar belakang, PAMU bisa dijadikan sebagai pemersatu anggota dalam sebuah keluarga dari agama yang berbeda. “Saya sebetulnya tidak berani masuk PAMU, karena saya ini orang pondok (pesantren). Tetapi, justru pada saat saya ingin lebih meningkatkan diri dalam islam, saya bertemu dengan teman sekampung yang mengajak saya ke suran. Di sana saya mendapatkan sebenarnya arti sholat, yaitu mencapai Allah sedekat-dekatnya. Mengucapkan asma Allah dengan detak jantung kita seperti orang wirid,” ungkap Suyitno (anggota PAMU yang beragama Islam). Upacara ini diakhiri dengan menikmati pertunjukan wayang. Lakon yang dipilih dalam pertunjukan wayang akan disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi bangsa saat ini dengan tujuan agar kami terus menyadari bahwa kecintaan akan bangsa merupakan bagian dari amalan ajaran agama kami masing-masing. [1] PAMU (Purya Ayu Mardi Utama) adalah sekte tertua di Jawa. Sejak awal berdirinya, PAMU ditekankan ‘bukan agama’ melainkan hanya sebagai pedoman laku kebajikan. Ajaran PAMU mengacu pada Ke-Esaan Tuhan Yang Maha Esa. Itu sebabnya anggota PAMU datang dari beragam aspek agama (Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Katolik, Kristen), bahkan dari beragam pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin dan usia. PAMU mampu menciptakan masyarakat multikultural di Dusun Tejo, Desa Temuguruh, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi – Jawa Timur. [2] Bukan ilmu, bukan agama, hanya laku kebajikan bagai manusia untuk hidup menjadi manusia utama dan mati secara sempurna. Disadur dari : Hasil Tesis Mengenai Ajaran Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU) suatu model masyarakat multikultural, F. M. Wastu Andanti.