sumber:blog.mamikos.com
Kuliah Kerja nyata (KKN) adalah salah satu program yang diwajibkan oleh universitas untuk mengambil bagian dalam pengabdian dimasyarakat dalam mewujudkan salah satu tridarma perguruan tinggi. Dalam hal ini saya berkesempatan mengikuti KKN bilateral dalam bentuk kerjasama antara Universitas Sriwijaya dengan Universitas Riau dan saya ditempatkan untuk mengabdi di desa Bayat Ilir, Musi Banyuasin, Sumatera selatan.
Di desa tempat saya mengabdi merupakan desa yang sangat jauh dari kota dan bahkan masih terdapat suku-suku primitif di dalamnya. Namun di daerah ini sangat maju dalam hal ekonomi dikarenakan mereka bisa menyuling minyak mentah menjadi minyak jadi sebagai bahan bakar dan bahkan untuk dijual. Istilah di daerah sana adalah memasak minyak, meskipun sebenarnya itu merupakan kegiatan yang illegal dan sangat berbahaya dalam proses menyuling minyak tersebut.
Desa yang menurut saya cukup maju dalam hal ekonomi tidak didukung dengan pendidikan yang baik. Di daerah ini pendidikan tertinggi hanya di Sekolah Dasar dan bahkan banyak yang tidak lulus SD. Hal ini dikarenakan sudah tertanam di benak mereka bahwa tanpa sekolah pun mereka dapat mendapat banyak uang dari hasil menyuling minyak tersebut. Hal tersebutlah yang membuat saya cukup perihatin dengan kondisi tersebut. Jika minyak yang mereka ambil habis atau pemerintah turun untuk menutup kegiatan ini apakah mereka masih bisa bertahan hidup, mengingat mereka juga sudah menjual tanah mereka ke beberapa perusahaan yang ada di dalam daerah tersebut.
Dengan kejadian tersebut saya sebagai mahasiswa yang mengerti dampak tersebut menginisiasi untuk membuat kelas inspirasi bagi anak-anak di desa tersebut dengan harapan mereka memiliki cita cita setinggi mungkin dan untuk menggapai cita-cita tersebut mereka harus meraih pendidikan setinggi mungkin. Kegiatan tersebut saya laksanakan di dua sekolah di desa tersebut dan satu sekolah berlangsung selama 4 hari. Saya cukup terkejut karena ketika ditanya tentang cita-cita mereka ingin menjadi seorang artis, penyanyi, bahkan banyak yang tidak tahu apa yang jadi cita-cita mereka.
Saya dengan beberapa tim saya berpikir untuk mengubah konsep di awal karena jangankan menginspirasi, untuk cita-cita saja mereka banyak yang tidak punya. Untuk itu di hari kedua kami banyak bercerita tentang berbagai profesi, dan bahkan di hari ketiga kami mengundang beberapa pegawai serta camat dan dari pihak kepolisian untuk menginspirasi mereka. Akhirnya mereka dapat terinspirasi dan memiliki cita-cita. Luar biasanya, mereka memiliki alasan yang cukup bagus mengapa memiliki cita-cita tersebut . Di hari keempat pada akhir sesi, kami membuat semacam pohon yang disebut sebagai pohon cita-cita, supaya mereka menggantungkan apa yang menjadi cita-cita mereka. Ketika mereka sedang jenuh dan tidak semangat dalam belajar, mereka nanti bisa melihat pohon tersebut dan kembali terinpirasi dengan apa yang mereka cita-citakan.
Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa dalam mewujudkan cita-cita tersebut mereka harus belajar dan mengejar pendidikan setinggi mungkin, fokus belajar dan membantu orang tua saja tapi jangan cari uang dulu. Saya merasa mereka cukup terinspirasi, karena selama 40 hari mengabdi di sana mereka banyak berubah, sangat giat belajar. Semoga tetap berlanjut sampai sekarang. Cukup senang bisa memberikan sedikit hal kepada masyarakat di sana dan semoga bisa bermanfaat bagi mereka kelak. Sekali menginspirasi terinspirasi selamanya.
Penulis
Jhon Carlos Purba adalah alumni Johannes Leimena School of Public Leadership for Young Leaders 2017, asal Pekanbaru, Riau.