Ditulis oleh Yonky Karman

Dua tema besar sengaja disatukan dalam sesi ini: pendidikan dan kebudayaan. Tentu ini mengikuti pembagian bab dalam konstitusi kita dan berikut rumusannya dalam UUD 1945 hasil empat kali amandemen, dengan Pasal 31 tentang pendidikan dan Pasal 32 tentang kebudayaan.

BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 31

(1)     Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2)  Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

(3)   Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

(4)   Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5)    Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pasal 32

(1)  Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

(2)  Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

I.   Terkait atau tidak?
Alih-alih menjelaskan keterkaitan antara pendidikan dan kebudayaan, penyusun konstitusi kita membahasnya terpisah tanpa penjelasan sedikit pun keterkaitannya satu sama lain. Apakah masing- masing memang sebuah entitas yang berdiri sendiri? Apakah pendidikan bisa ada tanpa kebudayaan? Apakah kebudayaan tidak memerlukan pendidikan?

Mengapa kedua hal itu dibicarakan bersama? Apakah keduanya saling terkait? Apakah kebudayaan harus dibaca sebagai bagian dari upaya negara “mencerdaskan kehidupan bangsa,” salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia sebagaimana digariskan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945? Kalau begitu, dengan cara bagaimana kebudayaan mencerdaskan kehidupan bangsa? Alih-alih mencerdaskan, bukankah nyatanya kebudayaan kita statis, hanya menjadi obyek pariwisata? Juga bukankah tidak jarang atas nama kebudayaan, yang terjadi justru pembodohan yang menghambat kemajuan masyarakat?

Untuk menjawab semua pertanyaan itu, kita harus jelas dulu apa yang dimaksud dengan pendidikan dan kebudayaan. Untuk itu, saya akan mengacu kepada definisi baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. 4) yang bisa diterima banyak orang.

Pendidikan adalah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.”

Kebudayaan adalah “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Meski definisi untuk kebudayaan ini tampaknya cocok dengan penyusun konstitusi, kita bertanya-tanya mengapa cuma bahasa daerah yang disebut. Apakah bahasa merupakan inti kebudayaan? Kebudayaan jauh lebih luas daripada bahasa.

II.   Pendidikan menurut amanat konstitusi
Pasal 31 menggariskan hak warga negara untuk mendapat pendidikan sekaligus kewajibannya untuk mengikuti pendidikan dasar yang wajib dibiayai pemerintah. Untuk itu, negara wajib menganggarkan 20 persen dari APBN dan APBD untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional. Tentang ini cukup jelas, meski kurang jelas apa artinya wajib bersekolah. Sampai hari ini belum ada anak usia sekolah yang diajukan ke pengadilan karena tidak bersekolah.

Ada persoalan dengan tujuan pendidikan nasional yang formulanya muluk tetapi operasionalnya diragukan. Tujuan pendidikan nasional adalah “meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Juga pemerintah “memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Karena  tujuan  pendidikan  untuk  “meningkatkan  keimanan  dan  ketakwaan serta  akhlak mulia,” maka mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dihapus dari Kurikulum 2013 yang bikin heboh. Lalu, untuk SD mata pelajaran Bahasa Inggris menjadi tidak wajib. Titik berat penilaian siswa menjadi amat luas. Guru tidak cukup hanya mengisi hasil evaluasi belajar dari hasil ulangan dan ujian, tetapi juga harus memberi penilaian apakah keimanan dan akhlak siswa juga baik.

Terjadilah penilaian yang subyektif (rentan diskriminatif!). Di sekolah umum, siswa yang fasih mendaraskan ayat-ayat suci dinilai lebih berprestasi meski nilai untuk mata pelajarannya biasa- biasa saja. Sebaliknya, siswa cerdas kurang dianggap karena dianggap kurang religius. Inilah akibat penyelenggara negara kita membebani misi pendidikan dengan hal-hal yang sebenarnya menjadi domain institusi keagamaan dan orangtua. Akibat dari pelaksanaan undang-undang ini, banyak sekolah negeri yang berciri suatu agama tertentu. Bahkan, siswa dari agama lain tidak bisa merayakan hari raya keagamaan mereka di sekolah sendiri.

III.   Kebudayaan menurut amanat konstitusi
Sebagaimana dengan pendidikan, kebudayaan dalam amanat konstitusi juga tidak jelas. Hanya dikatakan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia … dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Tidak jelas apakah yang dimaksud dengan kebudayaan nasional. Apakah kebudayaan nasional sesungguhnya sudah atau pernah ada? Kalau ada, apakah itu maksudnya kebudayaan suku (lokal, daerah)? Ataukah, kebudayaan nasional merupakan campuran dari berbagai budaya suku dalam masyarakat Indonesia? Yang jelas, dari formula “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia” tampaklah bahwa kebudayaan nasional diasumsikan sudah ada dan urusan negara hanyalah memajukannya agar dapat diterima sebagai salah satu kebudayaan di dunia. Pertanyaan kecil tetapi penting sebenarnya di sini: mengapa ada kata “wajib” bagi pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional, tetapi tidak ada kata itu terkait kebudayaan? Itu berarti negara tidak salah kalau tidak memajukan kebudayaan. Tidak ada kewajiban yang dilanggar negara. Negara tidak bisa dituntut karena memajukan kebudayaan nasional bukan sebuah kewajiban negara.

Terkait aliran kepercayaan atau agama suku, seharusnya negara juga menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkannya.(1) Namun, dengan pengakuan beberapa agama yang diakui negara dan harus dicantumkan dalam KTP, negara selama ini sudah tidak melanggar konstitusi. Bukankah selama ini dalam praktiknya dibenarkan bahwa orang yang beraliran kepercayaan atau dari agama suku masuk ke dalam kategori belum beragama sehingga perlu diagamakan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, itu bukan hanya tidak konstitusional melainkan juga sebuah bentuk arogansi  dari  penganut agama-agama yang  kebetulan sejauh ini sudah diakui negara.

IV.   Polemik Kebudayaan
Bukan kebetulan tentang pendidikan dan kebudayaan dibahas dalam satu bab tersendiri. Apabila pendidikan hanya dilihat sebagai urusan bersekolah dan kebudayaan hanya dilihat sebagai urusan berkesenian, tentu kaitan di antara keduanya menjadi tidak penting. Namun, apabila keduanya berperan penting dalam membentuk identitas budaya dan bangsa Indonesia, maka keduanya tidak bisa dibahas secara terpisah.

Saya semakin diyakinkan dengan integrasi keduanya, apabila merujuk polemik kebudayaan sebelum negara Indonesia terbentuk.(2) Kegagalan kita menyelesaikan polemik ini tampak dalam munculnya polemik seputar Kurikulum 2013 yang menghebohkan dunia pendidikan dasar kita. Itulah relevansinya mengangkat polemik 80 tahun silam. Polemik itu boleh dikatakan di antara dua kelompok yang mewakili dua cara pikir atau mentalitas yang berbeda. Di satu pihak adalah Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan di lain pihak tidak tanggung-tanggung tokoh seperti Sanusi Pane, dr Sutomo (pendiri perkumpulan Budi Utomo, 1908), Ki Hadjar Dewantara (pendiri perguruan nasional Taman Siswa, 1922), dst.

Polemik itu dipicu dua tulisan STA. Tulisan pertama berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan: Indonesia-Prae-Indonesia” dan dipublikasikan dalam majalah Pujangga Baru III/2 Agustus 1935.(3) Beliau membagi Indonesia ke dalam dua periode besar pra-Indonesia dan Indonesia. Dalam periode pra-Indonesia, yang berlaku adalah kebudayaan feodal yang statis dan provinsialistis.

Tidak ada cita-cita persatuan. Itu pula sebabnya rakyat mudah dipecah-belah dan kemudian dijajah, bahkan hanya oleh perusahaan dagang asing dari Belanda, bukan oleh Kerajaan Belanda. Namun, pada awal abad ke-20, dan itulah yang membedakan dari abad-abad sebelumnya, bangkit suatu generasi baru yang karena latar pendidikan Baratnya mulai memimpikan keindonesiaan. Keindonesiaan bukan sebagai lanjutan kebudayaan lokal, melainkan sebagai sintesis budaya lokal dan budaya Barat yang dinamis.

Bagi STA, Indonesia ada karena ada visi masa depan baru untuk suatu bangsa. Karena itu, generasi pembaru harus bisa melepaskan diri dari keterikatannya dengan masa lalu, dengan romantisme masa lalu atau kebudayaan tradisional yang statis, lalu menjadikan masa depan sebagai energi gerak masa kini. Hanya dengan itu, Indonesia menjadi sebuah nama baru dengan masyarakat yang juga berkebudayaan baru dan siap bersanding dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju. Membarat adalah istilah khas STA, bukan dalam arti membeo apa yang dikatakan Barat atau ikut saja apa yang dilakukan Barat, melainkan “selekas-lekasnya memperoleh sifat dinamis Barat yang melahirkan kebudayaan Barat yang dinamis.” Dalam visi STA, tidak cukup sebuah bangsa menjadi merdeka, tetapi tanpa ditopang masyarakatnya yang baru. Baru dalam arti cara berpikirnya baru. Baru dalam arti siap menjadi bangsa yang hendak maju. Dan, untuk itu unsur-unsur budaya lama yang membuat bangsa mudah terjajah dengan sendirinya harus dibuang, tanpa harus meninggalkan identitas budaya. Unsur-unsur yang dimaksud adalah yang bertentangan dengan spirit kemajuan. Di antaranya, tata norma dan laku yang menghamba kepada senioritas ataupun atasan. Budaya ketersinggungan karena dikoreksi atau dikritik juga menghambat kemajuan.

Tulisan kedua STA “Semboyan yang Tegas: Kritik terhadap beberapa prae-advies Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia. Itulah kritik STA terhadap prasaran-prasaran dalam kongres pertama permusyawaratan perguruan di Solo, 8-10 Juni 1935. Menurut STA, para tokoh pendidikan dalam kongres itu yang terlalu berat mengkritik kekurangan pendidikan di Barat (terlalu menekankan individu sehingga membuat orang jadi egois, terlalu memikirkan hak dan kebutuhan pribadinya, terlalu menekankan intelek sehingga mencampakkan agama dan adat, terlalu menekankan materi sehingga terlalu menekankan kehidupan di dunia ini yang sementara dan tak peduli kehidupan di akhirat, dst).

Dr Sutomo, misalnya, berkata:

Tidak cukup kiranya, kalau penuntun bangsa itu, yaitu mereka yang menjadi tulang belakang masyarakat Indonesia, buat hidupnya hanya mempunyai “alat yang tajam” seperti intelek, sedangkan “manusianya,” orangnya, akunya sama sekali tidak mendapat pemeliharaan dan didikan yang dapat memperkembangkan “satnya,” hingga dapatlah kiranya orang itu, individu itu, memakai inteleknya, perasaannya, budinya dan sekalian perkakasnya guna keperluan dan keelokan Nusa dan Bangsa. (h. 42)

Hal senada diulanginya,

Apa perlunya anak yang pintar, yang bersinar inteleknya, kalau tidak dapat memakainya dengan sebaik-baiknya, karena “akunya” tiada terpelihara dan terdidik itu. (h. 46)

Namun, STA beranggapan pendapat seperti itu cocoknya untuk orang Barat yang telah bersinar inteleknya, tetapi tidak untuk orang Indonesia yang belum merasakan sinar intelek. Orang Indonesia lebih baik mengakui bahwa kami kurang intelek, karena itu kami harus mengasah intelek.

Maka, salahlah sikap orang Indonesia yang terlalu kritis dengan pendidikan di Barat pertama-tama karena hal itu adalah masalah orang Barat, bukan masalah orang Indonesia. Kedua, masalah itu pun sebenarnya hanya ekses. Mengejar ilmu setinggi-tingginya tidak buruk dan tidak mesti berakhir dengan kehilangan iman. Bahwa ada orang yang pandai yang kehilangan iman, itu hanya ekses, bukan akibat langsung orang mengejar ilmu. Jadi, mengapa orang Indonesia mengambil alih masalah orang Barat?

Mengapa pendidikan di Indonesia pasif? Menurut STA, itu karena orang kita sangat dimanjakan dengan alam Indonesia yang terlalu pemurah dan membuat kita kurang gigih melakukan inovasi. Kedua, susunan keluarga besar yang menjadi penyanggah kehidupan ekonomi anggota keluarga membuat kita kurang memiliki jiwa bersaing dalam karier dan dunia usaha. Bukan cuma sarjana, bahkan sudah berkeluarga pun masih menumpang pada orangtua. Mencari kerja pun mengandalkan unsur kekerabatan. Begitu kuatnya unsur nepotisme dalam dunia kerja. Bangsa Indonesia sendiri sudah cukup tenggang rasa, kuat kehidupan kolektifnya, beragama, menghargai adat. Namun, untuk kepentingan bangsa Indonesia apabila ingin maju, kita justru kurang rasional, kurang individualistis, kurang materialis. Itu sebabnya kita berpuas diri dengan menjadi terbelakang sambil membanggakan keluhuran budi kita sebagai bangsa. Akibatnya, kita terlalu hati-hati dan kurang bersemangat dalam menuntut ilmu. Bagaimana tidak, apabila kemajuan dikaitkan dengan kekafiran?

V.      Integrasi pendidikan dan kebudayaan
Pemerintah wajib setia kepada amanat Pembukaan UUD 1945 untuk berusaha dengan segala cara “mencerdaskan bangsa,” terlebih dengan regionalisasi (lingkup masyarakat ASEAN) dan globalisasi yang membuat kompetisi antarbangsa berlangsung di halaman rumah sendiri (di dalam negeri). Pendidikan kita minimal harus mempersiapkan sebuah angkatan kerja yang kompetitif dalam pasar dunia kerja. Untuk itu, transfer pengetahuan dan keterampilan kerja adalah minimal.

Namun, becermin pada Polemik Kebudayaan, transfer pengetahuan dan keterampilan kerja itu perlu diletakkan kerangka kebudayaan. Pengajaran saja belum cukup. Pelajar harus pula dilibatkan dan terlibat dalam suatu proses pendidikan yang menjadikannya insan beradab. Dalam arti ini, pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Melalui pengajaran, minimal kita menjadi sama dalam pengetahuan dan keterampilan kerja bangsa lain. Dalam kedua hal ini kita hanya berbeda secara kuantitatif dibandingkan dengan bangsa lain: kita kurang tahu (mudah dibodohi bangsa lain) atau kurang terampil (bergantung pada tenaga ahli asing).

Namun, pendidikan lebih luas daripada pengajaran pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan hendak menjadikan pelajar berbeda secara kualitatif dibandingkan dengan bangsa lain. Target pendidikan nasional adalah manusia Indonesia, orang yang dalam pikir dan lakunya menampakkan keindonesiaan. Sayang kemeneterian yang bertanggung jawab atas pendidikan nasional justru melegalkan anak-anak Indonesia tercerabut dari keindonesiaan. Dengan penekanan pada bahasa Inggris secara berlebihan sehingga mengabaikan bahasa Indonesia, alhasil terbentuk generasi muda yang kebarat-baratan. Itulah yang berlangsung di rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah nasional plus. Dengan dicekoki geografi dan kultur asing, siswa dibuat asing dengan  tanah  air  dan  kulturnya  sendiri.  Lalu, bagaimana  dari  siswa demikian  hendak diharapkan patriotisme (cinta tanah air)? Dalam praktiknya kita hidup dengan slogan  “cintailah produk dalam negeri, tetapi pakailah produk luar negeri.” Sampai-sampai pakaian bekas dari impor ilegal pun kita buru.

Belum selesai dengan persoalan westernisasi (pembaratan, pemujaan terhadap Barat yang berlebihan), kita kemudian dihadapi dengan arabisasi. Sebagian masyarakat kita pun membanggakan keislaman yang mengarab. Dalam konteks itulah pentingnya gerakan Islam Indonesia (Islam Nusantara) yang sedang gencar di era Presiden Joko Widodo. Persoalan kita umat kristiani adalah bagaimana kita menjadi Kristen yang mengindonesia, tidak kebarat-baratan. Insiden Tolikara di daerah yang dikuasai Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) antara lain karena kekristenan yang dibawa para misionaris tidak ditransformasikan kedalam kekristenan yang mengindonesia.

Kendati kekurangan pemerintah, masyarakat yang mampu (kelompok elite) wajib membantu saudara sesama bangsa untuk menjadi cerdas, menjadi manusia yang melek pengetahuan dan terampil bekerja, terdidik dan berbudaya. Itu salah satu kehendak Allah dengan menempatkan kita sebagai orang yang lahir dan besar di Indonesia. Kita perlu melakukan pendampingan warga dalam upaya mencerdaskan bangsa. Kalau perlu dan kita bisa, kita juga mencerdaskan (penyelenggara) negara, sebab warga cerdas di negara yang tidak cerdas adalah sesuatu yang sulit dibayangkan.

1. Menurut KBBI, agama budaya (agama wadi) adalah agama yang merupakan hasil ciptaan akal budi dan perilaku manusia.

2. Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1998 [1948]).

3. Poedjangga Baroe adalah nama sebuah majalah sastra avant-garde yang didirikan oleh Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana, terbit dari Juli 1933 sampai Februari 1942.

 

Foto Ilustrasi: Sasin Tipchai dari Pixabay