Ditulis oleh Maruarar Siahaan
Pendahuluan
Saat ini di dunia, semua organisasi baik sosial maupun organisasi politik terutama Negara, dibentuk dengan satu landasan yang merupakan konsensus diantara pendirinya, yang secara umum dinamakan konstitusi. Organisasi sosial maupun poitik mengenal anggaran dasar. Demikian juga organisasi bisnis, mengenal pula anggaran dasar. Dalam ketentuan anggaran dasar itu, ditentukan apa yang menjadi tujuan dibentuknya organisasi, serta siapa yang menjalankan roda organisasi untuk mencapai tujuan, serta organ‐organ apa yang diperlukan untuk itu. Semua ini ditetapkan dalam anggaran dasar tersebut, dengan membentuk organ‐organ atau lembaga yang dibutuhkan seraya memberi kekuasaan atau mandate pada organ tersebut, serta bagaimana hubungan organ tersebut satu sama lain. Tentu merupakan hal yang penting juga diatur adalah hubungan organisasi dengan badan‐badan kelengkannya dengan anggota, yang menyangkut hak‐hak dan kewajiban yang tegas didalamnya. Konstitusi negarapun pada dasarnya memuat ketentuan yang demikian.
Setiap organisasi memerlukan konstitusinya masing‐masing, untuk mengatur hubungan diantara organ‐organnya, dan hak serta kewajiban orang yang menjalankan organisasi serta hubungan organisasi dengan anggota. Organisasi‐organisasi politik, kemasyarakatan, organisasi internasional ataupun keperdataan, dibentuk dengan satu anggaran dasar atau dokumen dasar, yang dapat disebut sebagai konstitusinya.
Pengertian Konstitusi
Konstitusi ini dapat dirumuskan sebagai dokumen yang memuat ketentuan‐ ketentuan tentang bekerjanya satu organisasi. Negara umumnya selalu didasarkan pada satu konstitusi atau Undang‐Undang Dasar, meski beberapa Negara seperti Inggeris, Israel dan New Zealand(?) secara formal dan tertulis tidak memilikinya. Meskipun demikian kita dapat merujuk kepada Inggris yang memiliki tradisi konstitusi yang kuat meskipun tidak memiliki secara khusus dan tertulis konstitusi tersebut, yang melihat konstitusi tersebut sebagai : “satu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan‐kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan organ‐organ Negara, dan mengatur hubungan satu sama lain dan organ Negara dengan warganegara.”(1)
Dalam sejarah klasik, dikenal beberapa perkataan yang merujuk kepada pemahaman kita tentang konstitusi sekarang, yaitu politea dari bahasa Yunani kuno dan constitution dalam bahasa Latin, yang terkait dengan perkataan jus. Politea merupakan yang tertua. (2) Orang Yunani memandang ada pengertian analogis antara organisasi Negara dengan susunan organism manusia secara individual.Mereka mengira bahwa hubungan antara dua elemen yaitu tubuh dan pikiran mempunyai kesamaan dengan dua unsure Negara yaitu yang memerintah dan yang diperintah. Bahasa Yunani kuno tidak menggunakan istilah yang mencerminkan pengertian jus atau constitution dalam tradisi Romawi. Constitutio, dalam bentuk Latin tersebut mula‐mula digunakan sebagai istilah teknis untuk merujuk pada tindakan legislative dari Kaisar. Dalam gereja istilah tersebut juga digunakan untuk menunjuk kepada peraturan gereja. Dalam sejarah dari hukum kanonik tersebutlah kemudian yang menjadi sumber awal kata constitution. Tapi kosa kota konstitusi seperti yang digunakan sekarang, lebih melihat secara etimologis pada kosa kata Perancis constituer, yang artinya membentuk, yaitu membentuk Negara. Karenanya secara teoritis dianggap bahwa konstitusi lebih dahulu ada dari Negara, meskipun dalam kenyataan tidak selalu demikian.
Aristoteles sudah melakukan pembedaan antara pengertian politea dan nomoi dimana politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi karena memiliki kekuasaan membentuk dan karenanya disejajarkan dengan pengertian konstitusi sedang nomoi sejajar dengan pengertian undang‐undang biasa sekarang ini, karena dia merupakan materi yang harus dibentuk. Di Inggeris, penggunaan kata constitution mengandung pengertian peraturan yang masih digunakan dalam pengertian gerejani, yang dalam perkembangan kemudian Magna Charta disebut merupakan constitution yang membebaskan. Para pemikir Yunani, belum memisahkan sama sekali antara konsep Negara (state) dan masyarakat (society), dan antara civil dan social. Hukum menjadi salah satu aspek dalam pembicaraan tentang Negara (polity), dan sama sekali belum membayangkan hukum sebagai satu pengertian yang berada diluar Negara (polity), atau sesuatu yang terpisah dari Negara, di mana Negara harus tunduk pada peraturan yang dibentuknya sendiri.
Konstitusi dalam pembicaraan kita tentu saja terbatas pada konstitusi Negara, yang merupakan kesatuan politik dari penduduk. Konstitusi dapat dipandang memuat sebagai segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (Undang‐ Undang Dasar dan lain‐lainnya). Dalam arti demikian dikatakan bahwa konstitusi merupakan satu sistem norma yang tertutup (a closed system of norms), yang merujuk pada kondisi menyeluruh pada kesatuan dan tertib politik (complete condition of political unity and order). Definisi teksbook biasanya mengartikan konstitusi sebagai norma fundamental atau hokum dasar. (3) Namun memandang konstitusi hanya sebatas aturan hokum yang memuat ketentuan tentang organisiasi dan kekuasaan Negara, secara empiris dan historis tidak benar. Pada dasarnya pembentukan konstitusi melalui proses kesepakatan (consensus) yang tidak mudah. Kesepakatan yang mengikat tersebut dibentuk melalui tukar menukar pendapat yang memperhitungkan seluruh kepentingan yang terlibat yang dapat tertampung sebagai dasar dan tujuan yang hendak dituju. Oleh karena kesepakatan menjadi dasar dan hasilnya mengikat semua pihak, sering juga dikatakan bahwa konstitusi tersebut merupakan satu kontrak, yang mengikat semua pihak.
Materi Muatan Konstitusi.
Menjawab pertanyaan tentang apa yang harus dimuat oleh sebuah konstitusi, K.C. Wheare menyatakan bahwa sebuah konstitusi, pertama‐tama merupakan dokumen hukum dan dimaksudkan untuk menyatakan hukum yang paling tinggi (supreme). Konstitusi harus membatasi diri hanya menyatakan aturan hukum, dan bukan pendapat, aspirasi, petunjuk dan kebijakan. Sebaliknya konstitusi modern memuat deklarasi hak‐hak warga atau tujuan‐tujuan politik atau tujuan pemerintah, yang tidak direduksi menjadi aturan‐aturan hukum. (4)
Keberadaan sebuah konstitusi secara luas dilihat sebagai sebuah syarat yang perlu bagi demokrasi dan rule of law. Negara‐negara yang bergerak dari kolonialisme menjadi merdeka atau dari negara dengan pemerintahan absolut menjadi pemerintahan demokrasi, selalu disertai dengan satu upacara peresmian sebuah konstitusi tertulis secara formal. Konstitusi karenanya merupakan pernyataan dasar dari sekelompok penduduk bersama‐sama sebagai warga dari satu bangsa tertentu dan dipandang sebagai aturan dasar tentang norma dan nilai yang dimiliki bersama serta mereka setuju mengikatkan diri. (5) Undang‐Undang Dasar merupakan konstitusi sebagai satu naskah yang tertulis. Karena sifatnya yang tertulis, maka peran hukum yang tidak tertulis menjadi sangat penting dalam memberi makna dan arti terhadap teks tertentu dalam UUD tersebut yang kemungkinan membutuhkan pemahaman karena perjalanan waktu yang panjang saat UUD tersebut dirumuskan dan dituliskan dengan konteks saat norma dalam UUD tersebut diterapkan dalam kasus‐kasus yang dihadapi. Penafsiran dengan bantuan nilai, prinsip dan pandangan hidup yang ada dalam dasar Negara sebagai staatsfundamentalnorm akan memungkinkan UUD tertulis demikian mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang terjadi dalamkehidupan masyarakat yang kadang‐kadang amat radikal.
Sifat konstitusi yang bukan hanya menjadi dokumen juridis, terlihat karena dia juga memuat cita‐cita, tujuan dan pernyataan lahirnya satu bangsa dan Negara, dengan pemikiran atau landasan filosofis, yang menjadi dasar pikiran dibentuknya Negara yang disepakati tersebut tampak dengan jelas dalam UUD 1945. UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan di masa lalu terdapat satu Penjelasan, memuat bukan hanya norma‐norma yang menjadi landasan pembentukan norma dibawahnya sebagai satu dokumen juridis, tetapi juga memuat landasan kebijakan dibidang ekonomi, social dan politik sebagai satu cita‐cita dan arah perjuangan kedepan yang membentuk satu tertib konstitusi. Kesemuanya itu dirangkum pula dalam satu sistem nilai yang tergambar pada dasar Negara yang membentuk rechtsidee, dengan mana ukuran semua kebijakan yang diambil tidak saja dinilai dari segi keadilan, tetapi juga dari segi kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, KeTuhanan Yang Maha Esa, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, sebagaimana termuat dalam Pancasila. Pembukaan yang meletakkan tujuan bernegara dan dasar Negara, sesungguhnya membentuk satu sistem nilai dasar, yang harus tergambar dalam seluruh kebijakan yang dijabarkan, perilaku dan tindakan penyelenggara Negara. Dengan perkataan lain, konstitusi juga membentuk moralitas konstitusi dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara yang membentuk nurani bangsa.
Beberapa Prinsip Dalam Konstitusi.
Materi muatan konstitusi seperti yang diuraikan secara sepintas diatas akan menekankan 3 (tiga hal) yang menyangkut (i) tujuan dibentuknya negara dan dasar filosofi; (II) pembentukan lembaga‐lembaga sebagai organisasi kekuasaan, (iii) hubungan satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan lain dan (iv) hubungan negara dengan warga negara. Dari materi muatan konstitusi tersebut kita akan menemukan prinsip‐prinsip yang menjadi pokok pikiran dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Dan Pasal 1 ayat (3) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang‐Undang Dasar. Itu menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Demokrasi yang berdasarkan koonstitusi. Dengan cara yang ringkas kedua ayat Undang‐Undang Dasar tersebut menyatakan Indonesia adalah Negara yang berdasarkan democratische rechtsstaat dan constitutional democracy. Pernyataan itu tampak sangat sederhana. Tetapi apa yang tampak sederhana sesungguhnya mengandung konsepsi dan pemikiran yang selama berabad‐abad direnungkan dan mengalami perkembangan. Diawali di Yunani sejak abad sebelum masehi, sampai juga saat ini merambat keseluruh dunia, terutama Negara yang baru merdeka atau melepaskan diri dari sistim otoriter, konsep Negara hukum tetap menjadi satu pemikiran yang berkembang dengan dinamis. Hampir semua juga Negara sekarang menyatakan dalam konstitusinya bahwa Negara itu merupakan Negara hukum. Namun harus diingat bahwa pernyataan demikian tidaklah cukup. Ada syarat‐syarat dan ukuran‐ukuran yang harus dipenuhi untuk dapat disebut sebagai satu Negara hukum, lengkap dengan jaminan dan mekanisme untuk mempertahankan yang apa disebut hukum tersebut.
Negara Hukum
Istilah negara hukum atau Rechtsstaat, yang diadopsi dalam UUD 1945 sebelum perubahan, menurut Petra Stockman, sesungguhnya berasal dari konsepsi yang dikenal di Jerman. (6) Di dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan yang merupakan hasil pemikiran Soepomo, dikemukakan mengenai konsep negara hukum. Penjelasan tersebut menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan (Machtstaat). Bukan hanya karena banyaknya kata yang digunakan untuk menjelaskan konsepsi negara yang dianut menggunakan kata‐kata dalam bahasa Jerman, tetapi juga konsepsi negara integralistik yang diutarakan Supomo mengacu kepada konsepsi yang dikenal di Jerman saat itu. (7) Konsepsi Negara Hukum Indonesia yang dimuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, kemudian dirumuskan secara normatif dalam Pasal 1 ayat (3) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), ketika dalam proses perubahan UUD 1945 disepakati bahwa penjelasan tersebut ditiadakan. Pasal tersebut merupakan bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945 di tahun 2001.
Konsepsi negara hukum, berkembang dalam sistem ketatanegaraan modern di Eropa Kontinental. Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte merupakan para pemikir awal di Eropa yang mengkampanyekan konsepsi Rechtsstaat tersebut, yang kemudian berkembang secara luas sampai dengan saat ini.
Aristoteles berpendapat bahwa negara hukum itu adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya dan peraturan hukum yang sebenarnya, hanya ada jika peraturan itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warganya. Yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa hanya merupakan pemegang hukum dan keseimbangan saja. (8)
Dalam perkembangan gagasan negara hukum, peristilahan yang digunakan semakin beragam. Dalam tradisi common law atau Anglo Saxon, istilah negara hukum disebut dengan rule of law. (9) Terdapat pula kalangan yang berpendapat bahwa istilah rule of law berasal dari pemikiran politik dan hukum yang berbeda dari konsep rechtsstaat yang dirujuk oleh konstitusi Indonesia. Salah satunya dikemukakan oleh Wolfgang Friedman yang menyatakan bahwa gagasan negara hukum tidak selalu identik dengan rule of law. Oleh karena itu penyamarataan demikian tidak dapat dibenarkan.
Konsep rechtsstaat yang berasal dari Eropa tidak mengharuskan satu sistem demokrasi, karena sistim politik dan organisasi hukumnya dapat dikonseptualisasikan sebagai entitas yang terpisah dari hukum. (10) Istilah rechsstaat itu mengandung makna adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Dalam rapat Badan Persiapan Usaha‐Usaha Kemerdekaan (BPUPK), Sukarno menyebutkan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang berbeda dengan pilihan demokrasi Barat. Presiden pertama tersebut menyebut bahwa prinsip demokrasi Indonesia mengandung semangat sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial) yang tidak dimiliki oleh Barat. (11) Perspektif Soekarno itu menjadi salah satu pijakan yang membuat beberapa kalangan membedakan demokrasi di Indonesia dan di negara lain. Perbedaan dimaksud meliputi juga konsep negara hukum (rechtsstaat) yang memiliki semangat demokrasi berkeadilan sosial dengan konsep negara hukum yang tidak mengharuskan dimilikinya semangat demokrasi.
Stockman juga menjumpai bahwa konseptualisasi gagasan rechtsstaat dan prinsip rule of law yang dicapai dalam berbagai konferensi Internasional Commission of Jurist (ICJ) tahun 1950‐an dan 1960‐an, ternyata dapat dibenarkan untuk bekerja atas dasar satu konsep rule of law dan menghubungkannya dengan konsep rechtsstaat yang dikodifikasikan dalam konstitusi. Konsep rule of law dari ICJ mencakup definisi demokrasi yang didasarkan pada prinsip‐prinsip hak asasi manusia. Jika dilihat secara dekat, kebanyakan asas‐asas dalam konsep rule of law dapat diperinci dalam hak‐hak dan prinsip‐prinsip yang dimuat dalam instrumen‐instrumen internasional hak asasi manusia (HAM). (12)
Jimly Asshiddiqie tidak membedakan penggunaan peristilahan negara hukum tersebut. Menurut Jimly istilah rechtsstaat dan rule of law hanyalah perbedaan semantik kultural. Rechtsstaat berasal dari suku kata bahasa Jerman sedangkan the rule of law tumbuh dalam peradaban hukum di Inggris. Peristilahan Rechtsstaat kemudian berkembang pesat di negara‐negara penganut sistem Eropa Kontinental, sedangkan the rule of law yang dikembangkan Inggris melalui sistem Anglo Saxon mempengaruhi Amerika dan negara‐negara jajahannya. Dalam perkembangan konsep the rule of law di Anglo Amerika, pemikiran AV. Dicey memiliki pengaruh yang besar. Penyusun konstitusi di Amerika tidak terlepas dari pengaruh pandangan Dicey mengenai konsep the rule of law. Dalam sejarah juga tampak bahwa koloni‐koloni Inggris mengikuti prinsip supremasi Hukum Inggeris dan supremasi Parlemen Inggris, sehingga hukum di koloni‐koloni Inggeris tersebut harus batal jikalau bertentangan dengan hukum Kerajaan (Inggeris). (13)
Rule of law dapat dibedakan antara rule of law dalam arti formil dan materil. Dalam arti formil, rule of law tidak lain artinya hanya sebagai organized public power atau kekuasaan umum yang terorganisir. Dalam arti seperti ini, menyebabkan setiap organisasi hukum termasuk negara mempunyai rule of law, sehingga any system of norms based on a hierarchy of orders, even the organized mass murderers of the Nazi regime, qualify as law. (14) Sedangkan rule of law dalam arti materil menyangkut ukuran‐ukuran tentang hukum yang baik dan buruk serta adil dan tidak adil (just and unjust law). Ketika disinggung soal keadilan dalam kaitan dengan rule of law, maka tidak mungkin dapat dicapai suatu rumusan tentang rule of law yang berlaku secara universal. Keadilan merupakan satu pengertian yang relatif sehingga tidak dapat dirumuskan dalam isi rule of law yang dapat berlaku secara sama bagi negara demokrasi, fasis, komunis dan sosialis, kecuali dirumuskan sesuai dengan kenyataan masyarakat masa kini. Tiap negara dan bangsa memiliki sistim hukum yang sesuai dengan perkembangan sejarah dan keadaan sosial‐ekonomis masing‐masing masyarakatnya.(15) Negara hukum membutuhkan suatu habitat kultural tertentu, dan hanya dalam habitat itulah sebuah negara hukum dapat muncul. Negara hukum itu harus berakar pada suatu komunitas sosial kultural tertentu.(16)
Dengan mengutip pendapat Stephen Vago, Satjipto Rahardjo juga menekankan pentingnya pandangan tersebut di atas. Dikatakan bahwa “Every legal system stand in close relationship to the ideas, aims and purposes of society. Law reflects the intelectual, social, economic, and political climate of its time.(17) Namun ada tidaknya rule of law dalam arti materiil dalam satu negara tidak hanya ditentukan dimiliki tidaknya satu sistem peradilan yang sempurna di atas kertas, tetapi tergantung pada kenyataan apakah rakyatnya benar‐benar dapat menikmati keadilan dalam arti perlakuan yang adil, baik dari sesama warga negara maupun dari pemerintahnya. Penegakan rule of law kalau tidak diartikan sebagai the rule of just law yang kini diartikan sebagai the rule of social justice, maka penegakan rule of law tersebut dapat melahirkan negara kekuasaan, bahkan dapat merupakan alat bagi penguasa untuk memperbesar dan mempertahankan kekuasaan terhadap rakyat sebagai law of the ruler.(18)
Brian Tamanaha menguraikan bahwa pada akhir abad ke‐19 (sembilan belas) yang berlanjut sampai dengan akhir abad ke‐20 (dua puluh), teoritisi telah memberikan peringatan tentang kemerosotan rule of law. Hal itu merupakan satu paradoks, karena ketika rule of law sedang mengalami popularitas yang tidak bertara, secara bersamaan rule of law sedang dalam proses kemerosotan. Hal ini berkaitan erat dengan persaingan antara ideologi liberalisme dengan sosialisme yang berlangsung selama 150 (seratus limapuluh) tahun. Dua faktor yang menyumbang terhadap keadaan itu yaitu, pertama, besarnya pekerja miskin yang tidak dapat jaminan, tetapi bekerja keras dengan jam kerja yang panjang dalam kondisi yang menyedihkan dan mengalami kesehatan yang buruk, kelelahan, dan tempat tinggal yang sesak. Kedua, perluasan orang yang boleh memilih. Praktik sesungguhnya demokrasi di Eropa hanya memberi hak untuk memilih kaum elit. Dalam perkembangannya, teori politik liberal terutama gagasan persamaan individu yang dibangunnya, memberi jalan bagi perluasan hak pilih secara perlahan, sampai akhirnya perempuan pun boleh turut serta. Liberalisme klasik kemudian memberi jalan kepada konsepsi negara kesejahteraan sosial. Ini yang dipandang kaum liberalis sebagai kemerosotan rule of law dalam arti formal, karena mereka menolak upaya untuk mencapai persamaan substantif dan keadilan distributif.(19) Kapitalisme dan liberalisme diserang oleh banyak pihak dan rule of law juga dikritik keras karena melayani sitem politik dan ekonomi tersebut. Pemahaman tentang rule of law dalam arti materil yang melihat tugas hukum juga harus melayani keadilan substantif dan keadilan distributif, mendorong perlunya campur tangan kekuasaan publik untuk mencegah kemerosotan lebih jauh dalam kualitas hidup anggota masyarakat, melalui konsepsi welfare state.(20) Satjipto telah menuliskan pandangannya bahwa negara hukum Indonesia tidak dilihat sebagai bangunan yang final, melainkan secara terus menerus dibangun untuk menjadi Indonesia tersebut. Uraian pandangan‐pandangan yang diutarakan membantu untuk menemukan suatu identitas bagi negara hukum Indonesia. Diperlukan suatu platform Indonesia yang mengikat seluruh bangsa yaitu UUD 1945, yang dibaca secara bermakna (moral reading) untuk menemukan moralitas di belakang konstitusi yang tertulis.(21)
Dicey mempercayai harus terdapat ciri‐ciri penting dalam sebuah negara hukum. Berbeda dengan Immanuel Kant yang berpendapat bahwa sebuah negara hukum harus mengacu kepada semangat keadilan. Selagi sebuah negara memiliki ciri‐ciri keadilan tersebut maka negara itu dapat digolongkan sebagai negara hukum. Itu sebabnya negara hukum dari sudut Kant disebut sebagai rechtsstaat dalam arti sempit.(22) Namun dengan mengurai ciri‐ciri penting sebuah negara hukum, Dicey mengemukakan tiga ciri penting negara hukum tersebut, yaitu;
a. supremacy of law (supremasi hukum);
b. equality before the law (persamaan dihadapan hukum); dan
c. due process of law (berdasar kepada proses hukum) yang menjamin HAM.(23)
Konsep tersebut kemudian diperbaiki oleh Friedriech Julius Stahl. Menurut Stahl sebuah rechtsstaat itu harus memuat atau menjamin adanya;
(i) pengakuan atas hak‐hak asasi manusia;
(ii) pemisahan kekuasaan (scheiding van machten);
(iii) pemerintahan berdasar atas undang‐undang (wetmatigheid van het bestuur) dan;
(iv) peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).(24)
“The International Commission of Jurist” mengemukakan pula prinsip‐ prinsip negara hukum. Komisi yang berisi para ahli hukum ini mengemukakan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of the judiciary) merupakan sebuah prinsip dari negara hukum yang sangat penting. Terdapat 3 (tiga) prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum yang harus ada dalam sebuah negara berkonsep rechtsstaat atau rule of law, yaitu:
1. Negara harus tunduk pada hukum;
2. Pemerintah menghormati hak‐hak individu; dan
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Dalam Konferensi para ahli hukum se‐Pasifik dan Asia Tenggara di Bangkok pada 1965 dikemukakan syarat‐syarat dasar bagi pemerintahan yang demokratis berdasarkan konsep rule of law. Pertama, perlindungan konstitusional. Kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. Ketiga, pemilihan umum yang bebas. Keempat, kebebasan menyatakan pendapat. Kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan. (25)
Kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam negara hukum dengan tradisi rechtsstaat maupun rule of law. Franz Magnis‐Suseno menyebut empat syarat dalam gagasan negara hukum yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu adanya azas legalitas yang berarti pemerintah bertindak semata‐mata atas dasar hukum yang berlaku, adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan, adanya jaminan perlindungan terhadap hak‐hak asasi manusia, dan adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum dasar.(26)
Prinsip konstitusionalisme modern sesungguhnya menyangkut pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya.(27) Peran negara yang menjadi besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara sesuai dengan konsensus bersama, yang dirumuskan dalam konstitusi, menyebabkan perkembangan kekuasaan umum dalam kehidupan warganegara semakin besar dan menuntut juga pengaturan serta pembatasan terhadapnya. Walaupun Pemerintah diperlukan bagi kehidupan umat manusia, tetapi setiap pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus tunduk pada pembatasan kekuasaan substantif penting dan kewajiban‐kewajiban tertentu. Terdapat beberapa hal yang tidak bisa dilakukan pemerintah, meskipun tindakan itu dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Konstitusionalisme berkait erat dengan demokrasi yang menghormati persamaan martabat manusia dengan kebebasan dan hak‐hak dasar yang dimiliki warga negara, yang telah menjadi nilai dasar setiap masyarakat yang adil. Terkait dengan beberapa teori demokrasi, juga ada beberapa versi konstitutionalisme. Untuk tujuan ini, yang paling penting adalah konstitusionalisme negatif yang erat dengan konsep atau gagasan liberal klasik bahwa fungsi pemerintah terbatas hanya pada peran penjaga malam; di lain pihak ada konstitusionalisme positif, yang berpendapat bahwa dalam dunia modern yang saling berhubungan erat dan menghormati martabat manusia, menimbulkan kewajiban pada Pemerintah untuk membantu warga negara mencapai kehidupan yang baik dan adil. Dengan demikian Pemerintah memiliki kewajiban positif untuk memajukan kesejahteraan warganya.(28)
Paham negara hukum, pemisahan kekuasaan negara, dan mekanisme checks and balances kemudian dikonstruksikan dalam struktur organisasi negara yang disusun secara normatif dalam produk perundang‐undangan. Sebagai sebuah produk hukum tertinggi, undang‐undang dasar menjadi landasan normatif utama pengaturan paham‐paham tersebut. Pemerintahan didasarkan pada aturan hukum dan konstitusi, merupakan kesepakatan atau konsensus yang sangat prinsipil, karena warga negara harus yakin bahwa penyelenggaraan negara harus dilaksanakan berdasarkan aturan main yang ditentukan bersama yang kemudian disebut rule of law. Dalam pengertian rule of law and not of man tersebut hukum dipandang sebagai satu kesatuan sistem, yang dipuncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi. Constitutional state merupakan ciri penting negara demokrasi modern, dimana konstitusi merupakan norma tertinggi dalam sistem aturan yang disepakati dalam memutus segala sesuatu berdasarkan aturan hukum.(29)
Demokrasi dan rule of law, sering disandingkan dengan paham konstitusionalisme, karena memang dalam ruang lingkup hukum, konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang‐undangan yang memuat organisasi kekuasaan negara, tetapi sekaligus menerapkan pembatasan terhadap negara. Konstitusi dipandang sebagai dokumen yang memuat aturan‐aturan dasar tentang organisasi negara dan pembagian kekuasaan di antara cabang‐cabang kekuasaan negara tersebut. Sebagai dokumen tertulis yang disetujui atau disepakati oleh rakyat konstitusi menetapkan prinsip dasar pengorganisasian pemerintahan, pengaturan, pembagian, dan pembatasan fungsi kekuasaan dari masing‐masing cabang kekuasaan. Miriam Budiardjo mengutip tulisan Richard S.Kay, yang menyatakan bahwa “Constitutionalism implements the rule of law; it brings about predictability and security in the relations of individuals and the government by defining in advance the powers and limits of that government.(30)
Sebagian besar pemerintahan di dunia diatur oleh kumpulan peraturan yang terdiri dari campuran aturan hukum dan non‐hukum, dan kumpulan aturan ini dapat disebut konstitusi. Tetapi ada garis pemisah antara mereka yang memandang sebuah konstitusi, terutama dan hampir secara ekslusif sebagai satu dokumen hukum dan secara praktis tidak ada yang lain. Tetapi ada juga yang memandang sebuah konstitusi sebagai satu jenis manifesto yang tidak dapat direduksi menjadi aturan hukum, melainkan merupakan confession of faith, a statement of ideals, a character of the land (sebuah pengakuan kepercayaan, pernyataan cita‐cita, satu piagam negeri).(31) Menjawab pertanyaan tentang apa yang harus dimuat oleh sebuah konstitusi, K.C. Wheare menyatakan sebuah konstitusi, pertama‐tama merupakan dokumen hukum dan dimaksudkan untuk menyatakan hukum yang paling tinggi (supreme). Konstitusi harus membatasi diri hanya menyatakan aturan hukum, dan bukan pendapat, aspirasi, petunjuk dan kebijakan. Sebaliknya konstitusi modern memuat deklarasi hak‐hak warga atau tujuan‐tujuan politik atau tujuan pemerintah, yang tidak direduksi menjadi aturan‐aturan hukum.(32)
Keberadaan sebuah konstitusi secara luas dilihat sebagai sebuah syarat yang perlu bagi demokrasi dan rule of law. Negara‐negara yang bergerak dari kolonialisme menjadi merdeka atau dari negara dengan pemerintahan absolut menjadi pemerintahan demokrasi, selalu disertai dengan satu upacara peresmian sebuah konstitusi tertulis secara formal. Konstitusi karenanya merupakan pernyataan dasar dari sekelompok penduduk bersama‐sama sebagai warga dari satu bangsa tertentu dan dipandang sebagai aturan dasar tentang aturan dan nilai yang dimiliki bersama serta mereka setuju mengikatkan diri.(33) Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian karena kekuasaan itu sendiri intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu, konstitusionalisme juga merupakan sistem yang terlembagakan, yaitu menyangkut pembatasan yang terlembagakan sebagai pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan pemerintahan.(34)
Kekuasaan negara merupakan alat untuk tujuan yang telah ditetapkan secara bersama, yaitu untuk melindungi dan mencapai kepentingan yang disepakati. Menurut Jimly, kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan.(35) Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu hubungan antara lembaga pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Dikatakan pula bahwa oleh karenanya isi konstitusi biasanya dimaksudkan untuk mengatur empat hal penting, yaitu: (a) meletakkan dasar dan filosofi negara, (b) menentukan pembatasan kekuasaan organ‐organ negara, (c) mengatur hubungan antara lembaga‐lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (d) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga‐lembaga negara dengan warganegara.(36) Pembatasan atau checks and balances, dengan demikian merupakan hal yang diatur melalui pembagian kekuasaan negara. Satu cabang kekuasaan tidak dibenarkan melampaui wewenang yang ditentukan menurut hukum dasar yang termuat dalam konstitusi, melalui wewenang cabang kekuasaan lain yang berdiri sejajar untuk menilai dan memberi keputusan atas satu keluhan tentang terjadinya pelampauan kekuasaan tersebut. Konstitusionalisme menggambarkan mekanisme checks and balances yang berarti kekuasaan legislatif dan eksekutif diletakkan di bawah kendali dan tidak sewenang‐wenang tanpa pengawasan.(37) Konstitusionalisme memang membutuhkan adanya pemerintah yang dilengkapi kekuasaan tetapi pada saat yang sama menuntut pembatasan atas kekuasaan tersebut harus dilakukan. M.P. Jain lebih lanjut mengutarakan:
“Therefore, to preserve the basic freedoms of the individual, and to maintain his dignity and personality, the Constitution should be permeated with “Constitutionalism”; it should have some in‐built restrictions on the powers conferred by it on governmental organs…The antithesis of Constitutionalism is despotism. Unlimited power may lead to an authoritarian, oppressive government which jeopardizes the freedoms of the people”.(38)
Paham negara hukum, pemisahan kekuasaan negara, dan mekanisme checks and balances kemudian dikonstruksikan dalam struktur organisasi negara yang disusun secara normatif dalam produk perundang‐undangan. Sebagai sebuah produk hukum tertinggi, undang‐undang dasar menjadi landasan normatif utama pengaturan paham‐paham tersebut.
Demokrasi dan rule of law, sering disandingkan dengan paham konstitusionalisme, karena memang dalam ruang lingkup hukum, konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang‐undangan yang memuat organisasi kekuasaan negara, tetapi sekaligus menerapkan pembatasan terhadap negara. Konstitusi dipandang sebagai dokumen yang memuat aturan‐aturan dasar tentang organisasi negara dan pembagian kekuasaan di antara cabang‐cabang kekuasaan negara tersebut. Sebagai dokumen tertulis yang disetujui atau disepakati oleh rakyat, konstitusi menetapkan prinsip dasar pengorganisasian pemerintahan, pengaturan, pembagian, dan pembatasan fungsi kekuasaan dari masing‐masing cabang kekuasaan. Miriam Budiardjo mengutip tulisan Richard S.Kay, yang menyatakan bahwa “Constitutionalism implements the rule of law; it brings about predictability and security in the relations of individuals and the government by defining in advance the powers and limits of that government.(39) Sebagian besar pemerintahan di dunia diatur oleh kumpulan aturan yang terdiri dari campuran aturan hukum dan non‐hukum, dan kumpulan aturan ini dapat disebut konstitusi. Tetapi ada garis pemisah antara mereka yang memandang sebuah konstitusi terutama dan hampir secara ekslusif sebagai satu dokumen hukum dan secara praktis tidak ada yang lain. Tetapi ada juga yang memandang sebuah konstitusi sebagai satu jenis manifesto yang tidak dapat direduksi menjadi aturan hukum, melainkan merupakan confession of faith, a statement of ideals, a character of the land (sebuah pengakuan kepercayaan, pernyataan cita‐cita, satu piagam negeri).(40) Menjawab pertanyaan tentang apa yang harus dimuat oleh sebuah konstitusi, K.C. Wheare menyatakan sebuah konstitusi, pertama‐tama merupakan dokumen hukum dan dimaksudkan untuk menyatakan hukum yang paling tinggi (supreme). Konstitusi harus membatasi diri hanya menyatakan aturan hukum, dan bukan pendapat, aspirasi, petunjuk dan kebijakan. Sebaliknya konstitusi modern memuat deklarasi hak‐hak warga atau tujuan‐tujuan politik atau tujuan pemerintah, yang tidak direduksi menjadi aturan‐aturan hukum.(41)
Keberadaan sebuah konstitusi secara luas dilihat sebagai sebuah syarat yang perlu bagi demokrasi dan rule of law. Negara‐negara yang bergerak dari kolonialisme menjadi merdeka atau dari negara dengan pemerintahan absolut menjadi pemerintahan demokrasi, selalu disertai dengan satu upacara peresmian sebuah konstitusi tertulis secara formal. Konstitusi karenanya merupakan pernyataan dasar dari sekelompok penduduk bersama‐sama sebagai warga dari satu bangsa tertentu dan dipandang sebagai aturan dasar tentang aturan dan nilai yang dimiliki bersama serta mereka setuju mengikatkan diri.(42)
Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian karena kekuasaan itu sendiri intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu, konstitusionalisme juga merupakan sistem yang terlembagakan, yaitu menyangkut pembatasan yang terlembagakan sebagai pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan pemerintahan.(43)
Kekuasaan negara merupakan alat untuk tujuan yang telah ditetapkan secara bersama, yaitu untuk melindungi dan mencapai kepentingan yang disepakati. Menurut Jimly, kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan.(44) Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu hubungan antara lembaga pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Dikatakan pula bahwa oleh karenanya isi konstitusi biasanya dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu: (a) menentukan pembatasan kekuasaan organ‐organ negara, (b) mengatur hubungan antara lembaga‐lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga‐lembaga negara dengan warganegara.(45) Pembatasan atau checks and balances tersebut, dengan demikian merupakan hal yang diatur pembagian kekuasaan negara. Pembatasan itu terbentuk dengan menetapkan bahwa satu cabang kekuasaan tidak dibenarkan melampaui wewenang yang ditentukan menurut hukum dasar yang termuat dalam konstitusi, dan juga tidak melampaui wewenang cabang kekuasaan lain yang berdiri sejajar satu sama lain. Akan tetapi pembatasan tersebut terlembagakan dalam satu cabang kekuasaan yang secara khusus menilai dan memberi keputusan atas satu keluhan tentang terjadinya suatu pelampauan kekuasaan.
Konstitusionalisme menggambarkan mekanisme checks and balances yang berarti kekuasaan legislatif dan eksekutif diletakkan di bawah kendali dan tidak sewenang‐wenang tanpa pengawasan.(46) Konstitusionalisme memang membutuhkan adanya pemerintah yang dilengkapi kekuasaan tetapi pada saat yang sama menuntut bahwa pembatasan atas kekuasaan tersebut harus dilakukan.
Demokrasi
Ide pemisahan kekuasaan (separation of power/scheiding van machten) sebagaimana dikemukakan oleh Stahl merupakan syarat agar sebuah negara dapat disebut sebagai negara hukum. Ide tersebut pada dasarnya merupakan upaya untuk melindungi kedaulatan rakyat sebagai elemen utama sebuah negara demokrasi. Rakyat sebagai puncak kekuasaan tertinggi (daulat rakyat) dimaknai bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang‐ Undang Dasar. Hal tersebut diartikan bahwa kekuasaan pemerintahan dan pembuatan peraturan perundang‐undangan merupakan hak rakyat. Pemilik kekuasaan tertinggi adalah rakyat dan penyelenggaraan kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Masyarakat modern dengan kompleksitas kelompok‐kelompok yang beragam dalam wilayah yang sangat luas, tidak dapat dikelola secara efisien tanpa lembaga‐lembaga dan jabatan untuk melaksanakan kekuasaan secara efisien. Pelaksanaan kekuasaan rakyat demikian tidak efisien dan kemungkinan tidak efektif jikalau dilakukan secara langsung. Akan tetapi, segala bentuk penggunaan kekuasaan tetap harus memperoleh legitimasinya melalui persetujuan rakyat dan senantiasa harus berada di bawah pengawasan pihak yang dikuasai.
Gagasan demokrasi modern selalu dihubungkan dengan hak‐hak asasi manusia yang merupakan hak‐hak sipil dan politik. Dalam masyarakat dan negara yang demokratis, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan, baik melalui hak memilih wakil‐wakilnya maupun memilih pemimpin yang diberi mandat dalam pemerintahan. Di samping itu, hak untuk dipilih dalam suatu kompetisi yang disebut pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil, dilaksanakan secara periodik. Demokrasi dalam arti suatu proses untuk memilih wakil‐wakil dan pemimpin negara atau pemerintahan, barulah merupakan makna demokrasi yang formal. Ada yang menyebutnya sebagai demokrasi minimalis.(47) Realitas sejarah menunjukkan bahwa demokrasi modern berkembang sebagai demokrasi representatif. Artinya tidak segala keputusan harus diambil langsung oleh rakyat. Pembuatan undang‐undang dilakukan oleh wakil‐wakil tersebut dan bukan dibuat oleh rakyat secara langsung sehingga keputusan‐keputusan penting dalam kenyataan diambil oleh beberapa orang saja.(48) Kekuasaan yang dijalankan oleh wakil‐wakil, harus berdasarkan atau sesuai dengan tatanan yang disetujui oleh masyarakat, sehingga senantiasa kekuasaan harus memperoleh legitimasi demokratis sebagai kehendak mereka yang dikuasai.(49)
Pengawasan langsung terhadap kekuasaan tersebut secara nyata dilakukan secara periodik melalui pemilihan umum. Rakyat akan memutuskan apakah masih memberi mandat baru kepada wakil‐wakil mereka atau tidak berdasarkan disetujui tidaknya kebijakan dan putusan yang diambil atas nama rakyat dalam masa pemerintahan yang telah berlalu. Pemungutan suara dalam pemilihan umum merupakan aspek yang amat penting dalam demokrasi. Namun, demokrasi bukanlah menyangkut soal pemungutan suara saja. Partisipasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintahan merupakan aspek penting lain, karena pengambilan keputusan kolektif yang dapat dikatakan demokratis hanyalah sejauh hal itu tunduk pada pengawasan semua anggota kelompok yang di bawah kekuasaannya. Kesempatan bagi diskusi yang terbuka untuk mengungkapkan aspirasi dan mendengar aspirasi pihak lain tanpa rasa takut dalam perspektif yang lebih luas, disertai perdebatan dalam masyarakat secara terbuka yang memungkinkan interaksi yang mendalam tentang pemikiran dan praktik bernegara, diperlukan untuk menjamin fakta pluralisme yang sentral terhadap kultur politik demokrasi modern di masyarakat.(50) Proses demokrasi seperti itu dapat menjadi satu mekanisme untuk mempengaruhi pilihan kebijakan pemerintahan, karena mampu mengungkapkan informasi tentang nilai‐nilai dan prioritas masyarakat serta individu yang dapat di respon dalam pengambilan keputusan sebagai pilihan kebijakan. Prasyarat terhadap proses demikian ditentukan oleh adanya keterbukaan atau transparansi dalam pengambilan keputusan dan beban pertanggungjawaban yang diletakkan pada pejabat publik yang menjalankan kekuasaan.
Dalam proses demokrasi Indonesia yang dicita‐citakan, diperlukan toleransi terhadap pandangan yang berbeda untuk memungkinkan proses perdebatan dan diskusi dalam masyarakat secara efektif sebagai bentuk modern dari musyawarah dan mufakat yang dikenal selama ini. Toleransi yang diharapkan juga meliputi kesepakatan untuk tidak sepakat tentang hal‐hal tertentu (agree to disagree), serta mendorong debat publik yang mendukung nilai pembelajaran dari pihak lain.(51) Karena itu demokrasi juga merupakan persoalan tradisi dan budaya politik yang egaliter dalam realitas kehidupan masyarakat dengan nilai‐nilai dan latar belakang yang beragam atau plural, yang saling menghargai satu sama lain.(52)
Suatu indikator penting dari Negara demokrasi, bukan hanya bagi Indonesia adalah diberikannya legal standing kepada perseorangan atau kelompok orang untuk mengajukan judicial review terhadap suatu undang‐ undang karena dipandang merugikan hak konstitusional orang‐per‐orang dengan cara yang bertentangan dengan undang‐undang dasar. Jika dikaitkan dengan konsep demokrasi menurut Amartya Sen, suatu kebijakan publik dalam bentuk undang‐undang dapat diperdebatkan secara terbuka di depan Mahkamah Konstitusi, dan jika seorang Pemohon berhasil meyakinkan Hakim Konstitusi tentang adanya pelanggaran konstitusi yang dilakukan, maka undang‐undang yang diuji demikian akan dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Demokrasi Pancasila.
Perkembangan politik terakhir di DPR tentang pemilihan pimpinan DPR dan Badan Kelengkapannya, menunjukkan kepada kita adanya kecenderungan mengesampingkan konsep demokrasi Pancasila, yang merumuskan demokrasi yang kita anut adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikjaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Musyawarah mufakat adalah ciri demokrasi yang kita anut. Perdebatan sepanjang masa pemilihan umum, dengan tuding menuding bahwa pemilihan yang berlangsung menunjukkan dianutnya demokrasi barat, menjadi bahan pemikiran karena dilakukannya voting. Memang tidak dapat disangkal ketika yang dipilih adalah perseorangan yang akan menduduki jabatan tertentu, maka suatu metode yang praktis dan dikenal diseluruh dunia adalah voting. Apalagi jika hal tersebut mencakup wilayah yang luas dan jumlah pemilih yang besar. Tetapi ketika yang dipilih adalah pimpinan lembaga, yang memiliki jabatan‐jabatan majemuk seperti pimpinan DPR dankelengkapannya, maka suatu konsep pemilihan yang didasarkan pada sistem paket dan diajukan fraksi, dengan 2 koalisi partai yang menghimpun kekuatan kursi dalam dua kubu, praktis pemilihan dengan voting akan menghasilkan logika demokrasi yang aneh, karena adanya representasi kursi yang menggambarkan suara dan mandate rakyat, menjadi tidak proporsional. Ini merupakan hasil pertarungan politik pilpres yang dilanjutkan dengan dipaksakannya Undang‐Undang MD3, yang tampaknya sangat ganjil dan menunjukkan sikap yang sama sekali tidak demokratis.
Ini sesungguhnya merupakan suatu penyimpangan demokrasi, boleh dikatakan menunjukkan banyaknya pemimpin yang menyebut diri kampiun demokrasi, tetapi sesungguhnya memiliki kecenderungan bahkan karakter diktatur otoriter. Meskipun demikian kita melihatnya sebagaimana Yudi Latif menulis bahwa Mohammad Hatta bernubuat demokrasi tidak bisa dilenyapkan dari denyut kehidupan bangsa Indonesia, dan mengutip Hatta, yang menyatakan “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan. Berlainan daripada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama‐lamanya”.(53)
Kondisi demokrasi yang tampak mengedepankan voting dalam pimpinan lembaga dengan jabatan majemuk seperti DPR, yang kelihatan bertentangan mengkedepankan musyawarah mufakat, tidak juga dapat bertahan. Para wakil yang dipilih rakyat, yang menyimpangkan mandate yang diberikan kepada mereka dengan mudah dikoreksi dalam pemilihan berikut. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan, yang memberi mandate kepada wakil, kehendaknya merupakan perintah yang dijalankan wakil yang dipilih. Pertentangan wakil dengan yang diwakili, akan menimbulkan persoalan keabsahan kewenangan yang dijalankan. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tentu dapat menarik perwakilannya. Meskipun sebagaimana disebut Hatta, hal demikian bersifat sementara, namun hal demikian bersifat mengikut siklus pemerintahan, yaitu dalam periode lima tahunan.
Perubahan Kedua UUD 1945, yang mengadopsi hak‐hak asasi manusia menjadi bagian dari konstitusi membawa pula konsekuensi yang sangat luas dilihat dari keluasan dan kedalaman ukuran‐ukuran yang mengikat dalam tindakan dan kebijakan Negara. Dalam UUD 1945 termuat komitment Negara bukan hanya untuk menghormati dan melindungi (to respect and to protect) hak asasi tersebut melainkan terutama juga untuk mewujudkan (to fullfil).(54) Hak asasi manusia yang menjadi muatan bab XA, sesungguhnya merupakan upaya untuk meletakkan harkat dan martabat manusia Indonesia sebagai nilai dasar tertinggi tujuan terbentuknya Negara Indonesia, sehingga kita dapat menyatakan bahwa dia menjadi landasan tertib konstitusi itu sendiri. Oleh karenanya, dilihat dari tujuan Negara itu sendiri, menghormati dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia Indonesia menjadi ukuran utama keberhasilan atau kegagalan satu Negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dengan ukuran yang luas dan mendalam demikian secara sederhana kita mengatakan bahwa segala sesuatu berupa tindakan dan/atau kebijakan dari individu dan penguasa yang tidak berdasarkan atau menyimpang dari konstitusi, disebut tidak konstitusional. Dengan kata lain dapat disebut bahwa konstitusi dibentuk bukan hanya untuk membentuk satu sistem pemerintahan, tetapi juga berfungsi untuk mengarahkan, mengintegrasikan dan memberi legitimasi pada kebijakan dan tindakan Negara (55), baik dari sisi teks konstitusi maupun dari sistem nilai yang diletakkan sebagai moralitas konstitusi.
KONSTITUSIONALISME.
Meskipun konstitusi memiliki hubungan yang melekat dengan gagasan konstitusionalisme, masih perlu dibedakan dengan pengertian konstitusionalisme, yaitu sebagai paham yang meletakkan pembatasan terhadap kekuasaan atau penyelenggara kekuasaan, yang dilakukan baik dengan pemisahan atau pembagian cabang‐cabang kekuasaan maupun dengan pengakuan dan jaminan hak‐hak rakyat melalui konstitusi.
Prinsip konstitusionalisme modern sesungguhnya menyangkut pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya.(56) Peran negara yang menjadi besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara sesuai dengan konsensus bersama, yang dirumuskan dalam konstitusi, menyebabkan perkembangan kekuasaan umum dalam kehidupan warganegara semakin besar dan menuntut juga pengaturan serta pembatasan terhadapnya. Walaupun Pemerintah diperlukan bagi kehidupan umat manusia, tetapi setiap pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus tunduk pada pembatasan kekuasaan substantif penting dan kewajiban‐kewajiban tertentu.
Terdapat beberapa hal yang tidak bisa dilakukan pemerintah, meskipun tindakan itu dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Konstitusionalisme berkait erat dengan demokrasi yang menghormati persamaan martabat manusia dengan kebebasan dan hak‐hak dasar yang dimiliki warga negara, yang telah menjadi nilai dasar setiap masyarakat yang adil.
Terkait dengan beberapa teori demokrasi, juga ada beberapa versi konstitutionalisme. Untuk tujuan ini, yang paling penting adalah konstitusionalisme negatif yang erat dengan konsep atau gagasan liberal klasik bahwa fungsi pemerintah terbatas hanya pada peran penjaga malam; di lain pihak ada konstitusionalisme positif, yang berpendapat bahwa dalam dunia modern yang saling berhubungan erat dan menghormati martabat manusia, timbul kewajiban pada Pemerintah untuk membantu warga negara mencapai kehidupan yang baik dan adil. Dengan demikian Pemerintah memiliki kewajiban positif untuk memajukan kesejahteraan warganya.(57) Ruang lingkup konstitusionalisme tersebut dalam literatur diuraikan sangat luas, namun pada hakekatnya meliputi unsur‐ unsur berikut ini :
1. Kekuasaan (politik) tunduk pada hukum.
2. Diakuinya jaminan dan perlindungan hak‐hak asasi manusia.
3. Adanya peradilan yang bebas dan mandiri.
4. Pertanggungjawaban publik dari penyelenggara Negara (akuntabilitas publik) yang merupakan sendi utama kedaulatan rakyat.
Pengertian konstitusi sebagai kosa kata yang dikenal juga dalam bahasa Perancis, constituer yang artinya membentuk, sehingga kemudian konstitusi dipahami sebagai pembentukan satu Negara atau menyusun satu Negara.(58) Konstitusi itu mendahului pemerintahan, karena dibuat oleh rakyat untuk membentuk pemerintahan. Kurang lebih sama dengan yang disebut Cicero, Thomas Paine mengatakan bahwa “A constitution is antecedent to a government and a government is only the creature of a constitution”.(59) Dalam kenyataan kita menemukan bahwa sesungguhnya UUD 1945 baru disahkan tanggal 18 Augustus 1945, dan Konstitusi Amerika di sahkan 11 tahun setelah kemerdekaannya. Namun dalam perdebatan tentang pembentukan konstitusi, ide‐ide dan konsepsi yang sedang dirumuskan dioerasikan dalam membentuk Negara melalui proklamasi kemerdekaan.
Pengertian dan konsep konstitusi mencakup peraturan‐peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi tata Negara yang menentukan susunan dan kedudukan organ‐organ Negara, hubungan diantara satu organ dengan yang lain dan hubungan organ Negara dengan warganegara. Kekuasaan menjadi pusat pengaturan dan perhatian setiap konstitusi, yang harus dikenali sumber, tujuan dan penggunaannya, dalam rangka membatasi penggunaannya. Oleh karena itulah dikatakan bahwa konstitusionalisme dikatakan sebagai satu system kelembagaan tentang pembatasan yang efektif dan teratur terhadap kekuasaan pemerintahan.(60)
Konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat semua pihak, berlaku berdasarkan kedaulatan yang dianut, apakah kedaulatan Negara atau kedaulatan rakyat. Dalam hal dianut kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945, maka sumber legitimasi UUD atau konstitusi adalah rakyat.(61) Dalam hal ini, maka yang menentukan bahwa satu konstitusi berlaku ditentukan oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembagai perwakilan. Konstitusi bukan merupakan peraturan legislative biasa, yang dibentuk badan legislative biasa melainkan ditetapkan oleh badan yang khusus dan lebih tinggi. Jika norma dalam konstitusi bertentangan dengan norma dalam undang‐undang, ketentuan UUD yang berlaku dan undang‐undang yang lebih rendah harus memberi jalan.(62) Dari pengertian itu dikembangkan hierarki perundang‐undangan, dimana konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku dan dietrima secara universal, konstitusi sebagai hukum yang paling tingggi serta paling fundamental sifatnya karena menjadi sumber legitimasi atau landasan pembentukan peraturan perundang‐undangan lain dibawahnya. Agar peraturan perundang‐undangan yang berada dibawahnya dapat berlaku dan mengikat, peraturan perundang‐undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi yaitu konstitusi.
Konstitusi Yang Tidak Tertulis.
Konstitusi yang tidak tertulis dikatakan sebagai prinsip dasar dan nilai‐nilai moral yang merupakan norma‐norma yang tidak tertulis yang boleh dipandang abstrak tetapi merupakan hal yang ideal dalam kehidupan bernegara. Nilai‐nilai tersebut menjadi pandangan hidup masyarakat tertentu dan sebagai sumber norma sebagai dasar berlakunya norma yang lebih kongkrit dan tertulis. Nilai dan pandangan hidup suatu bangsa ini oleh Hans Kelsen disebut Grundnorm, tetapi oleh mudridnya bernama Hans Nawiasky disebut sebagai Staatsfundamentalnorm.(63) Semua norma dalam konstitusi yang tertulis yang menjadi hukum dasar, harus dapat diuji – keabsahan, konsistensi atau kesesuaiannya ‐ dengan norma dasar atau Grundnorm yang juga disebut sebagai Ursprungnorm.(64)
Bagi Indonesia, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan falsafah dan Dasar Negara, merupakan nilai‐nilai dan moralitas yang harus dipedomani dan menjiwai seluruh peraturan hukum dibawahnya. Sebagai Dasar Negara, Pancasila tidak dirumuskan dalam bentuk norma, akan tetapi sebagai prinsip yang masih harus digali dan dielaborasi dari nilai dan prinsip tersebut menjadi sesuatu yang kongkrit dan operasional kedalam norma yang tertulis dan mengikat. Dia menjadi Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm yang memiliki fungsi kritik terhadap setiap peraturan hukum yang berlaku apakah sesuai atau bertentangan dengannya. Kalau bertentangan harus tidak boleh diperlakukan.
Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances
UUD 1945 dengan 4 perubahan yang dilakukan, diantaranya membentuk Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan secara khusus untuk melakukan cheks and balances melalui apa yang disebvut pengujian undang‐undang sebagai satu legal policy terhadap Undang‐Undang Dasar yang merupakan tertib konstitusi yang menjadi norma hokum tertinggi yang sarat dengan sistem nilai yang dianut.
Oleh karena itu, judicial review dengan kewenangan MK untuk menguji undang‐ undang terhadap UUD 1945, karenanya telah menjadi unsur utama dari implementasi konstitusi, konstitusionalisme dan rule of law. Sebagai pernyataan kelembagaan tertinggi dalam Negara hokum MK memiliki tugas khusus yang dirumuskan dalam konstitusi, khususnya ketika cabang kekuasaan Negara diduga melanggar konstitusi, harus di dengar keterangannya di depan Mahkamah Konstitusi. Instrumen ini menjadikan UUD 1945 dapat ditegakkan, karena konflik yang timbul antara teks konstitusi dengan kebijakan yang dijabarkan, dapat dipermasalahkan dan diberi sanksi inkonstitusional oleh MK.
Dengan pengalaman sejarah tentang ancaman bahaya karena diletakkannya kekuasaan negara di dalam satu tangan dan untuk mencegah hal yang sama, maka prinsip pemisahan kekuasaan negara tidak diterapkan secara kaku dan komplit. Untuk tujuan demikian, dalam teori konstitusi berkembang kemudian ide checks and balances yang menyertai teori separation of powers tersebut.
Doktrin atau prinsip pemisahan kekuasaan secara ketat dan kaku akan menimbulkan konsekwensi‐konsekwensi sebagaimana diuraikan oleh Carl Scmitt, yang menyebabkan cabang‐cabang kekuasaan yang ada tidak terhubungkan satu dengan yang lain dalam koordinasi untuk melaksanakan tujuan bernegara secara bersama‐sama dan terorganisasi. Tanpa koordinasi dalam melaksanakan tujuan bersama, dapat timbul aktivitas‐aktivitas negara yang campur aduk secara berdiri sendiri dan tidak berhubungan satu satu sama lain. Untuk menghindari hal demikian, kekuasaan tersebut harus diselenggarakan dalam keadaan terhubungkan satu sama lain dan perlu diberikan kewenangan secara fungsional pada masing‐masing cabang untuk melakukan kontrol terhadap cabang kekuasaan lainnya, agar penyelenggaraan kekuasaan negara menjadi efektif.(65)
Hal itu bertujuan untuk menciptakan satu keseimbangan atau equilibrium di antara cabang‐cabang kekuasaan tersebut. Balance atau keseimbangan di antara kekuatan yang berlawanan telah menjadi pemikiran di Eropa sejak abad keenam belas, termasuk di antaranya bertitik tolak dari teori gravitasi Newton.66 Perintis sesungguhnya teori konstitusi “balance of powers” adalah Bolingbroke yang menyebarluaskan gagasan tentang satu pengawasan dan penyeimbangan timbal balik (a reciprocal control and balancing).(67)
Sumber lainnya menyatakan bahwa frasa checks and balances sendiri, dalam sejarah pertama sekali digunakan oleh John Adams, Presiden Amerika Serikat kedua (tahun 1735‐1826), ketika mengucapkan pidatonya “Defense of the constitution of the United States” pada tahun 1787, meskipun sejarahnya dapat ditelusuri lebih jauh sebelumnya.(68)
Checks and balances merupakan elemen mendasar kedua dalam konstitusi di samping separation of powers. Teori konstitusi memberi argumen bahwa kekuasaan negara haruslah sedemikian rupa dibagi‐bagi dan diseimbangkan di antara beberapa badan, sehingga tidak satu badan pun yang melampaui batas kewenangannya tanpa pengawasan dan pembatasan dari badan‐badan lainnya. Atas dasar konsepsi yang demikian, badan legislatif, eksekutif, dan judikatif harus terpisah dan berbeda, dan tidak satu cabangpun yang melaksanakan kekuasaan lebih dari satu pada saat yang sama.
Dalam keadaan terpisah dan berbeda tersebut, tidak terdapat batas yang tegas antara kekuasaan yang satu dari yang lainnya. Hanya dengan satu garis demarkasi tentang batas konstitusi yang kaku, bukan merupakan jaminan yang cukup terhadap kemungkinan perampasan kekuasaan yang mengarah kepada kekuasaan tiranis. Suatu kepantasan yang dapat dipedomani untuk mempertahankan pemisahan kekuasaan sebagaimana ditentukan oleh konstitusi, hanyalah dengan suatu rancangan struktur interior pemerintahan, dengan menyusun hubungan timbal balik di antara bagian‐bagian utama kekuasaan negara sebagai sarana untuk menjaga satu cabang kekuasaan berada di tempat yang seharusnya.(69)
Checks and Balances sekarang telah menjadi frasa yang dipergunakan secara luas untuk menguraikan proses yang wajar dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, dimana kekuasaan digunakan untuk mengawasi kekuasaan. Le pouvoir arrete le pouvoir. So that one can not abuse power,power must check power by the arrangement of things.(70) Kata balance yang kita pahami sebagai keseimbangan, tidak selalu diartikan bahwa kekuasaan negara harus dibagi secara sama atau seimbang diantara ketiga kekuasaan negara. Justru hal itu merupakan soal tersendiri, bagaimana menyeimbangkan tiga kekuasaan yang tidak sama. Pada pertengahan abad 18, terdapat dua pemikiran tentang balance of powers tersebut. Satu pemikiran menekankan pembentukan aliansi diantara dua kekuasaan untuk mengimbangi kekuasaan ketiga, sedang pemikiran yang lain lebih menekankan kemandirian (independence) kekuasaan‐kekuasaan itu.(71)
Kata checks seringkali dipadankan dengan kata pengawasan (control), yang diartikan sebagai pencegahan satu perbuatan atau penggunaan veto. Arti lain yang diberikan kepada kosakata “to check” adalah menguji. Sementara itu makna berbeda yang juga pernah diberikan kepada “to check” itu adalah menunda, menghambat dan mengerem. Adagium bahwa power tends to corrupt yang diartikan bahwa untuk kekuasaan yang cenderung dapat menyebabkan orang baik menjadi buruk atau jahat, memerlukan “rem” untuk menghambat terjadinya keputusan‐keputusan yang melanggar hak‐hak asasi warganegara dan kebebasan‐kebebasan yang dilindungi konstitusi.(72)
Dalam kerangka checks and balances tersebut, perkembangan pengujian undang‐undang terhadap Undang‐Undang Dasar (constitutional review) yang dilakukan badan judikatif yang dikatakan oleh Kelsen sebagai negative legislation (73), justru sekarang dikatakan oleh Christopher Wolfe telah menjadi positive legislation, melalui apa yang disebut judge‐made law di bidang konstitusi yang menurutnya telah diterima di Amerika Serikat. Christopher Wolfe menulis :
“Post‐1937 constitutional interpretation and judicial review were very different in an important regard, however. They reflected the victory of a distinctly modern understanding of judicial power as fundamentally legislative in character”. …The result was nearly total victory within the legal profession of the view that judges‐including the Supreme Court justices exercising the power of judicial review—are inevitably legislators.(74)
Doktrin checks and balances klasik yang merupakan pertumbuhan awal ketatanegaraan modern, yang dalam perkembangannya kemudian mengalami tahap yang lebih kompleks. Model pemisahan kekuasaan negara yang klasik atau konvensional dengan tiga cabang kekuasaan negara ‐eksekutif, legislatif, dan judikatif‐ seperti yang dianut oleh John Locke dan Montesqieue, tidak lagi memadai, berkenaan dengan pertumbuhan tugas negara dalam konsepsi negara kesejahteraan yang menyebabkan kelembagaan negara yang timbul semakin beragam dan kompleks. Teori klasik pemerintahan yang ditandai oleh pemikiran liberalisme, menganut pendirian bahwa pemerintahan itu harus terbatas dan ramping, karena tujuannya adalah untuk melindungi hak‐hak individu. Teori klasik tentang pemisahan yang membagi kekuasaan dalam tiga cabang kekuasaan negara, dimaksudkan untuk mencegah adanya cabang kekuasaan negara yang memiliki kewenangan atau kekuasaan yang terlalu besar.
Kesimpulan dan Penutup.
a. Paham Konstitusionalisme yang mengandung prinsip pembatasan kekuasaan, diejawantahkan lebih jauh dalam prinsip rule of law dan demokrasi dan prinsip lainnya.
b. Judicial review merupakan instrumen checks and balances yang telah diterima dengan baik sebagai mekanisme untuk menjaga kehidupan bernegara berdasarkan konsep konstitusionalisme dan rule of law Indonesia. Diberikannya legal standing kepada perorangan dan kesatuan masyarakat hukum adat untuk menggerakkan kewenangan MK untuk menguji undang‐undang kepada UUD 1945, disamping lembaga negara dan badan hukum privat serta badan hukum publik, menunjukkan cirinya yang sangat demokratis.
c. Pemuatan Hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945, merupakan bentuk pembatasan kekuasaan negara yang paling intense, yang sifatnya sangat individual tetapi diterapkan dalam keseimbangan dengan hak‐hak sosial politik dan ekonomi dari masyarakat.
Jakarta, 10 Augustus 2015.
1 Philips Hood and Jackson, sebagaimana dikutip Jimly Asshidiqie, op.cit hal 115.
2 Charles Howard McIlwain, sebagaimana dikutip Jimly Asshidiqie, op.cit hal 89.
3 Carl Scmitt, Constitutional Theory,Translated and edited by Jeffrey SeitzerDuke university Press, Durham and London, 2008, h. 59.
4 Ibid., hal. 33‐34.
5 Barry M. Hager, The Rule of Law, A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center for Pacific Affair, 2000, hal. 19.
6 Petra Stockman, Indonesian Reformasi as Reflected in Law: Change and Continuity in Post‐Suharto Era Legislation on the Political System and Human Rights (Lit Verlag: 2005), hal. 7.
7 Ibid, hal..
8 Jimly Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme (Jakarta: Konpress, 2005) hal 27,31, 69.
9 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988) hal 153. Wolfgang Friedmann, dalam Legal Theory (London: Steven & Son Limited, 1960) hal 456.
10 Petra Stockman, op.cit hal. 7.
11 Naskah UUD Republik Indonesia, versi Moh. Yamin, hal. 76.
12 Ibid., hal. 16‐17.
13 Mauro Capelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, Clarendon Press‐Oxford, 1989, hal 130.
14 Lawrence Friedman, Law in Social Change, sebagaimana dikutip oleh Sunaryati Hartono, dalam Apakah the Rule of Law itu (Bandung: Alumni, 1968) hal. 5.
15 Ibid., hal. 5‐6.
16 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya (Jakarta: Genta Press 2008) hal. 31. 17 Ibid., hal. 32.
18 Ibid., hal. 9.
19 Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law, History, Politics, Theory (Cambride: Cambridge University Press, 2004)
20 Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 29.
21 Ibid., hal. 102.
22 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia (Jakarta: Ind‐Hill Co, 1989) hal. 30.
23 A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971) hal. 223‐224.
24 Lihat misalnya Robert Mohl, Two Cocepts of the Rule of Law (Indianapolis: Liberty Fund Inc. 1973) hal. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern (Ithaca, New York: Cornel University Press, 1974) hal. 146.
25 South‐East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15‐19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age (Bangkok: International Commission of Jurist, 1965) hal. 39‐45.
26 Franz‐Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1993) hal. 298‐301 Franz‐Magnis Suseno memberikan catatan khusus berkaitan dengan ciri adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Dikatakannya bahwa dengan adanya asas kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan badan yudikatif dapat melakukan kontrol dari segi hukum terhadap kekuasaan negara di samping untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari pengaruh kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak‐hak asasi manusia oleh penguasa, karena kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsinya tersebut.
27 Jimly Asshidiqie,Konstitusi &Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi R.I., 2006, hal 23‐24. Jimly mengutip Walton H. Hamilton yang menyebutkan bahwa “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order”.
28 Wakter F. Murphy,Creating and Maintaining a Just Political Order,The John Hopkins University Press, Baltimore 2007, hal 6‐7.
29 Jimly Asshidiqie, op.cit. hal. 27‐28.
30 Miriam Budiardjo, op.cit., hal. 172.
31 K. C. Wheare, Modern Constitution (New York‐Toronto: Oxford University Press, 1975) hal. 1 dan 32.
32 Ibid., hal. 33‐34.
33 Barry M. Hager, The Rule of Law, A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center for Pacific Affair, 2000, hal. 19.
34 Jimly Asshidiqie, op. cit., hal. 21.
35 Ibid., hal. 25.
36 Ibid., hal. 29.
37 M.P.Jain, Indian Constitutional Law (India: Wadhwa Nagpur, Fifth Edition, Reprint 2004) hal. 5.
38 Ibid.
39 Miriam Budiardjo, op.cit., hal. 172.
40 K. C. Wheare, Modern Constitution (New York‐Toronto: Oxford University Press, 1975) hal. 1 dan 32.
41 Ibid., hal. 33‐34.
42 Barry M. Hager, The Rule of Law, A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center for Pacific Affair, 2000, hal. 19.
43 Jimly Asshidiqie, op. cit., hal. 21.
44 Ibid., hal. 25.
45 Ibid., hal. 29.
46 M.P.Jain, Indian Constitutional Law (India: Wadhwa Nagpur, Fifth Edition, Reprint 2004) hal. 5.
47 Arbi Sanit, Partai Politik dan Demokrasi Minimalis, Keterangan Ahli dalam Sidang MK tanggal 13 Mei 2008.
48 Franz Magnis Suseno, op.cit., hal. 290.
49 Ibid.
50 Amartya Sen, Democracy and Its Global Roots, dalam The New Republic, 2003, hal. 29.
51 Ibid., hal. 31.
52 Jimly Asshidiqie, op.cit., hal. 56.
53 Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Akuntabilitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, hal 386.
54 Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
55 Donald P. Kommers, op.cit hal 39.
56 Jimly Asshidiqie,Konstitusi &Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi R.I., 2006, hal 23‐24. Jimly mengutip Walton H. Hamilton yang menyebutkan bahwa “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order”.
57 Walter F. Murphy, Creating and Maintaining a Just Political Order,The John Hopkins University Press, Baltimore 2007, hal 6‐7.
58 Wirjono Prodjodikoro, Asas‐Asas Hukum Tata Negara,Dian Rakyat, Jakarta 1989, hal 10.
59 Thomas Paine, Righst of Man in The Complete Works of Thomas Paine, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshidiqie, op.cit hal 19.
60 C.J. Friedrich, Man and His Government, sebagaimana dikutip Jimly Asshidiqie, op. cit hal 116.
61 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.
62 Alexander Hamilton, The Federalist Paper, Mentor Book 1961, hal…
63 Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System der Rechtslichen Grundbegriffe, Verlagsanstalt Benziger & Co.A.G. Eintsiedel, Zurich, Koln, hal 33.
64 Ibid.
65 James Madison, dalam “The Federalist Papers”, op.cit., hal. 308.
66 Carl Scmitt, ibid., hal. 221.
67 Ibid.
68 David Wooton, Liberty, Metaphor and Mechanism : Checks and Balances and The Origins of Modern Constitutionalism, davidwooton@britishlibrary.net. Dikatakan bahwa istilah tersebut sesungguhnya adalah satu istilah, yang sebelumnya juga telah digunakan oleh Whig John Toland pada tahun 1701. Istilah “balanced and check” dipakai oleh Marcham Nedham tahun 1654. Menurut Wooton, gagasannya adalah bahwa sistem politik secara bermanfaat dapat dibandingkan dengan mesin. Gagasan tentang checks and balances mengandung pikiran bahwa satu konstitusi sebagai satu sistem mekanis, dan hal itu diartikan sebagai satu interest dalam satu mekanisme. Rujukan tentang mesin politik ini, diambil dari edisi John Dryden tentang Plutarch lives, denggang mengatakan “… the Maker of the world had when he had finished and set this great machine moving, and found everything very good and exactly to answer to his great idea”.
69 James Madison, op.cit., hal. 320‐321.
70 Montesquieu, The Spirit of Laws, translated by Anne M. Kohler et.al, Cambridge University Press, 1997, hal 155.
71 David Wootton, op.cit., hal. 14.
72 Ibid.
73 Lihat catatan kaki nomor 11 supra.
74 Christopher Wolfe, The Rise of Modern Judicial Review, From Constitutional Interpretation to Judge‐ made law, Basic Books, Inc., Publishers/New York, hal 6‐7.