Ditulis oleh Yudi Latif, Phd.

Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, 

Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu.

Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme.

Perjoangan suatu bangsa, perjoangan melawan imperialisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri.

Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama.

Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri.

Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya.

(Soekarno, 1958)

 

 Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa yang bersangkutan.  Dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa Bangsa, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya” (Soekarno, 1989: 64).

Setiap bangsa memiliki konsepsi dan cita-citanya masing-masing sesuai dengan kondisi, tantangan dan karakteristik bangsa yang bersangkutan. Dalam pandangan Soekarno, “Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya” (Soekarno, 1958, I: 3)

Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan dan kemajemukannya. Sebuah negara-bangsa yang mengikat lebih dari lima ratus suku bangsa dan bahasa, ragam agama dan budaya di sepanjang sekitar 17.508 pulau, yang membentang dari 6˚08΄ LU hingga 11˚15΄ LS, dan dari 94˚45΄ BT hingga 141˚05΄ BT. Untuk itu diperlukan suatu konsepsi, kemauan dan kemampuan yang kuat dan adekuat, yang dapat menopang kebesaran, keluasan dan kemajemukan keindonesiaan.

Para pendiri bangsa berusaha menjawab akan kebutuhan konsepsi kebangsaan Indonesia merdeka itu  dalam suatu “dasar falsafah” (Philosofische Grondslag) negara atau “pandangan dunia” (Weltanschauung),  yang dikenal dengan sebutan Pancasila.  Gagasan Pancasila sebagai dasar (falsafah) negara Indonesia itu tidaklah dipungut dari udara, melainkan digali dari bumi sejarah keindonesiaan, yang tingkat penggaliannya tidak berhenti sampai zaman gelap penjajahan, melainkan menerobos jauh ke belakang hingga zaman kejayaan Nusantara. Dalam usaha penggalian itu, para pendiri bangsa juga memikirkan dan merasakan apa yang dialami bangsanya selama masa penjajahan dan mengingat apa-apa yang pernah mereka perjuangkan dan impikan sebagai sumber pembebasan, kebahagiaan dan identitas bersama.

Sejarah konseptualisi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase “pembibitan”, fase “perumusan”, dan fase “pengesahan”. Fase “pembibitan” setidaknya dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakan seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism). Fase “perumusan” dimulai pada masa persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), 29 Mei-1 Juni 1945, dengan Pidato Soekarno (1 Juni) sebagai crème de la crème-nya yang memunculkan istilah Panca Sila. Rumusan Pancasila dari Pidato Soekarno itu lantas digodok dalam pertemuan Chuo Sangi In yang membentuk “Panitia Sembilan”,  yang melahirkan rumusan baru Pancasila dalam versi Piagam Jakarta, pada 22 Juni. Fase “pengesahan” dimulai pada 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang melahirkan rumusan final, yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara.

 

Perumusan Pancasila

Perumusan dasar negara Indonesia merdeka mulai dibicarakan pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni 1945). BPUPK sendiri dibentuk pemerintah pendudukan Jepang pada 29 April 1945, menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso pada 7 September 1944, yang mengucapkan janji historisnya bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan “pada masa depan.” Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap: pertama melalui BPUPK kemudian disusul pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tugas BPUPK hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, sedangkan tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI.      

Jumlah keanggotaan Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan semula 63 orang, kemudian bertambah menjadi 69 orang.[2] Jepang membagi anggota BPUPK menjadi lima golongan: golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat (kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, wali kota), dan golongan peranakan: peranakan Tionghoa (4 orang), peranakan Arab (1 orang), dan peranakan Belanda (1 orang). Tidak semua anggota BPUPK terdiri dari kaum pria, ada dua orang perempuan (Nyonya Maria Ulfa Santoso dan Nyonya RSS Soenarjo Mangoenpoespito).[3] Karena itu, istilah founding fathers tidaklah tepat. Alhasil, meskipun struktur keanggotaan BPUPK tidak memuaskan semua kalangan, unsur-unsur perwakilannya cukup merepresentasikan keragaman golongan sosial-politik di Indonesia masa itu.[4]

Dalam merespons permintaan Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar negara Indonesia, beberapa anggota BPUPK telah mengemukakan pandangannya mengenai prinsip-prinsip pokok sebagai fundamen kenegaraan.[5] Meski demikian, prinsip-prinsip yang diajukan itu masih serabutan; belum ada yang merumuskannya secara sistematis dan holistik sebagai suatu dasar negara yang koheren.

Bagamanapun juga, pandangan-pandangan tersebut menjadi masukan penting bagi Soekarno dalam merumuskan konsepsinya. Masukan-masukan tersebut dikombinasikan dengan gagasan-gagasan ideologis yang dikembangkannya sejak 1920-an dan refleksi historisnya yang mengkristal dalam pidato yang diucapkannya pada 1 Juni 1945. Dalam pidato monumental itu Soekarno menjawab permintaan Radjiman Wediodiningrat akan dasar negara Indonesia dalam kerangka “dasar falsafah” (Philosofische Grondslag) atau “pandangan dunia” (Weltanschauung) dengan penjelasan yang runtut, solid dan koheren.

Soekarno mengawali pidatonya dengan menyerukan,  “Bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”:

“Kita bersama-sama mencari persatuan philosofische grondslag, mencari satu ‘Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.

Selanjutnya, Soekarno menjelaskan lima prinsip yang menjadi titik persetujuan sekaligus haluan (leitstar) bagi segenap elemen bangsa. Kelima prinsip tersebut adalah:

Pertama: kebangsaan Indonesia.

Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat… Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya,–tetapi ‘semua buat semua’…. “Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.”

Kedua: Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan.

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme…. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Ketiga: Mufakat atau demokrasi.

Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan… Kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.

Keempat: Kesejahteraan sosial.

Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat,[6] tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial…. Maka oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Kelima: Ketuhanan yang berkebudayaan.

Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa…. bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.

Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. “Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” Mengapa dasar meja statis dan leitstar dinamis yang mempersatukan bangsa itu dibatasi lima? Jawaban Soekarno, selain kelima unsur itu yang memang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, dia juga mengaku suka pada simbolisme angka lima. Angka lima memiliki nilai “keramat” dalam antropologi masyarakat Indonesia. Soekarno menyebutkan, “Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indra. Apalagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pandawa lima). Pandawa pun lima bilangannya.” Hal lain juga bisa ditambahkan, bahwa dalam tradisi Jawa ada lima larangan sebagai kode etika, yang disebut istilah “Mo-limo”.[7] Taman Siswa dan Chuo Sangi In juga memiliki “Panca Dharma”.[8] Selain itu, bintang—yang amat penting kedudukannya sebagai pemandu pelaut dari masyarakat bahari—juga bersudut lima. Asosiasi dasar negara dengan bintang ini digunakan Soekarno dalam penggunaan istilah leitstar (bintang pimpinan).

Urutan kelima sila itu disebut Soekarno sebagai urutan sequential, bukan urutan prioritas. Bahwa dalam suatu majelis yang terdiri keragaman elemen, seruan ke arah titik persetujuan itu harus dimulai dengan mengangkat keragaman itu ke dalam suatu kode komunitas politik bersama, yakni entitas kebangsaan, tetapi tidak lantas berarti sila-sila berikutnya merupakan derivasi dari sila kebangsaan. Masing-masing sila Pancasila merupakan satu kesatuan integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Soekarno tidak memandang susunan urutan sila-sila Pancasila itu sebagai sesuatu yang prinsipil. Dalam penjelasannya di kemudian hari, dia menyatakan sebagai berikut:

“Urutan-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila daripada Panca Sila itu ialah: Ke-Tuhanan yang Maha Esa; Kebangsaan nomor dua; Peri-Kemanusiaan nomor tiga; Kedaulatan Rakyat nomor empat; Keadilan sosial nomor lima. Ini sekedar urut-urutan kebiasaan saja. Ada kawan-kawan yang mengambil urut-urutan lain yaitu meletakkan sila Peri-Kemanusiaan sebagai sila yang kedua dan sila Kebangsaan sebagai sila ketiga. Bagi saya prinsipiil tidak ada keberatan untuk mengambil urut-urutan itu”.[9]

Selain mengajukan lima sila dari dasar negara, dia menawarkan kemungkinan lain sekiranya ada yang tidak menyukai bilangan lima, sekaligus juga menunjukkan dasar dari segala dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan bisa dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila:

“Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ‘perasan’ yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.

Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.

Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang yang satu itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong.”

Dengan kata lain, dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong. Maknanya adalah: Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong (yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan), bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, “bhinneka tunggal ika”), bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat), bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elite penguasa-pemodal (minorokrasi). Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan), bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.

Pidato Soekarno tentang Pancasila itu sangat heroik, empatik dan sistematik. Dikatakan heroik karena dia berpidato sambil menyerukan kemerdekaan dengan dasar-dasar negara yang diidealisasikannya di tengah-tengah opsir balatentara Jepang bersenjatakan bayonet, “Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah zaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya”.[10] Dikatakan empatik, karena Soekarno berusaha menghargai dan melibatkan semua unsur dalam kerangka persetujuan. Dikatakan sistematik, karena dia menguraikan Pancasila secara runtut, logis dan koheren.

Namun demikian, betapapun hebatnya uraian Soekarno tentang dasar negara itu, eksposisinya masih merupakan pandangan pribadi. Untuk diterima sebagai (rancangan) dasar negara, harus disepakati oleh konsensus bersama lewat persetujuan anggota BPUPK. Pada proses untuk mendapatkan konsensus bersama itulah prinsip-prinsip Pancasila dari pidato Soekarno itu mengalami reposisi dan penyempurnaan. Proses ini berlangsung setelah masa persidangan pertama BPUPK berakhir.

Pada akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPK membentuk Panitia Kecil yang bertugas mengumpulkan usul para anggota yang akan dibahas pada masa sidang berikutnya (10-17 Juli 1945). Panitia Kecil beranggotakan delapan orang (Panitia Delapan) ini, terdiri atas 6 orang wakil golongan kebangsaan dan 2 orang wakil golongan Islam, dipimpin oleh Soekarno.[11] Dalam kapasitas sebagai ketua Panitia Kecil, Soekarno melakukan berbagai inisiatif di luar kerangka formalitas. Dia memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi In[12] ke VIII (18-21 Juni 1945) di Jakarta untuk mengadakan pertemuan terkait dengan tugas Panitia Kecil.[13] Selama pertemuan yang dihadiri oleh 38 orang, Panitia Kecil dapat mengumpulkan dan memeriksa usul-usul dari 40 Iin menyangkut beberapa masalah yang dapat digolongkan dalam sembilan kategori:[14] (1) Indonesia merdeka selekas-selekasnya; (2) Dasar (Negara); (3) Bentuk Negara Uni atau Federasi; (4) Daerah Negara Indonesia: (5) Badan Perwakilan Rakyat: (6) Badan Penasihat; (7) Bentuk Negara dan Kepala Negara; (8) Soal Pembelaan; dan (9) Soal Keuangan

Di akhir pertemuan tersebut, Soekarno juga mengambil inisiatif informal lainnya, dengan membentuk Panitia Kecil (“tidak resmi”) yang beranggotakan 9 orang, yang kemudian dikenal sebagai “Panitia Sembilan”.[15] Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang di dalamnya termuat Dasar Negara.

Karena penghormatan Soekarno pada golongan Islam, komposisi Panitia Sembilan itu lebih seimbang ketimbang Panitia Delapan (bentukan resmi BPUPK), yakni terdiri dari 5 orang wakil golongan kebangsaan (termasuk Soekarno sebagai penengah) dan 4 orang wakil golongan Islam,[16] kendati jumlah wakil golongan Islam di BPUPK maupun dalam pertemuan ini kurang dari 25 persen total anggota/peserta pertemuan. Panitia Sembilan ini pun diketuai Soekarno, yang dibentuk sebagai ikhtiar untuk mempertemukan pandangan antara dua golongan tersebut menyangkut dasar kenegaraan. Dengan komposisi relatif seimbang, Panitia itu berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan Pembukaan UUD yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Soekarno menamakan rancangan Pembukaan UUD itu “Mukaddimah”, sedangkan Muhammad Yamin menamakannya “Piagam Jakarta”, dan Sukiman Wirjosandjojo menyebutnya “Gentlemen’s Agreement”.

Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) mencerminkan usaha kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan. Titik temu kedua golongan tersebut diikat pada alinea ketiga: “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas….” Alinea ini mencerminkan pandangan golongan kebangsaan—yang menitikberatkan kehidupan kebangsaan yang bebas—dan golongan Islam—yang melandaskan perjuangannya atas rahmat Allah.[17] Menurut Muhammad Yamin, dengan menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa”, Konstitusi Republik Indonesia berlindung kepada Allah, dan dengan itu ”maka syarat agama dipenuhi dan rakyat pun tentu menimbulkan perasaan yang baik terhadap hukum dasar ini”.[18] Ujung kompromi bermuara pada alinea terakhir yang mengandung rumusan dasar negara berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Islam tidak dijadikan dasar negara (dan agama negara). Terjadi perubahan dalam tata urut Pancasila dari susunan yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni 1945. Prinsip ”Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat, ”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (kemudian dikenal dengan istilah ”tujuh kata”). Bagi golongan Islam, penambahan ”tujuh kata” itu dianggap penting sebagai bentuk politik pengakuan. Seperti dinyatakan Prawoto Mangkoesasmito, golongan Islam sepakat dengan semua sila Pancasila, namun menuntut penambahan “tujuh kata” dari sila Ketuhanan karena hal ini penting, bahwa Islam yang selama zaman kolonial terus dipinggirkan akan mendapat tempat yang layak dalam negara Indonesia merdeka.

Selain itu, prinsip ”internasionalisme atau peri-kemanusiaan” tetap diletakkan pada sila kedua, namun redaksinya mengalami penyempurnaan menjadi ”Kemanusian yang adil dan beradab”. Prinsip ”Kebangsaan Indonesia” berubah posisi dari sila pertama menjadi sila ketiga. Bunyinya menjadi ”Persatuan Indonesia”. Prinsip ”Mufakat atau demokrasi” berubah posisi dari sila ketiga menjadi sila keempat. Bunyinya menjadi ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Prinsip ”Kesejahteraan sosial” berubah posisi dari sila keempat menjadi sila kelima dengan bunyi ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi prinsip Ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ”Ideologi negara tidak berubah karenanya, melainkan negara dengan ini memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat.” Dengan demikian, fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan kelima).[19] Lepas dari itu, penyempurnaan redaksi sila-sila tersebut juga memberikan kualifikasi yang penting tentang bagaimana sifat dan orientasi ideal yang terkandung dari sila-sila tersebut. Pada sila kedua, prinsip internasionalisme (peri-kemanusiaan) itu harus bersifat adil dan beradab. Pada sila ketiga, prinsip kebangsaan itu harus bersifat mempersatukan. Pada sila keempat, prinsip demokrasi itu harus bersifat kerakyatan dan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Pada sila kelima, prinsip kesejahteraan itu harus bersifat adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hasil rumusan Piagam Jakarta dan berbagai usulan yang berhasil dihimpun selama reses itu kemudian dilaporkan dan didiskusikan pada masa persidangan kedua BPUPK (10-17 Juli 1945). Ketika melaporkan hasil-hasil yang telah dilakukan Panitia Kecil (resmi) pada 10 Juli 1945, Soekarno menyadari bahwa kegiatan pertemuan dan rumusan-rumusan yang dihasilkannya itu melanggar formalitas, bukan saja tempat dan mekanismenya yang tidak resmi, tetapi juga melampaui kewenangannya.[20] Dalam bahasa Soekarno, ”Semua anggota Panitia Kecil sadar sama sekali bahwa jalannya pekerjaan yang kami usulkan itu sebenarnya ada yang menyimpang daripada formaliteit, menyimpang daripada aturan formeel yang telah diputuskan, telah ditentukan. Tetapi anggota Panitia Kecil berkata: Apakah arti formaliteit di dalam zaman gegap gempita ini. Apakah arti formaliteit terhadap desakan sejarah sekarang ini.” Hasil rumusan Panitia Kecil tersebut direspons Latuharhary yang menyatakan keberatan atas pencantuman ”tujuh kata” pada 11 Juli 1945, ”Akibatnya akan sangat besar sekali, umpamanya terhadap pada agama lain. Maka dari itu saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam. Saya usulkan supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada kemungkinan apapun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan yang bersangkutan.”

Tanggapan Latuharhary merangsang perdebatan pro dan kontra menyangkut ”tujuh-kata” beserta pasal-pasal ikutannya, seperti ”agama negara” dan syarat agama seorang Presiden. Pada 11 Juli 1945, Soekarno berkata, ”Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam.” Pada 16 Juli 1945, dengan berlinang air mata Soekarno menghimbau agar mereka yang tidak setuju dengan hasil rumusan Panitia bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia. Dengan demikian, hasil rumusan Piagam Jakarta (dengan ”tujuh kata”-nya) itu bertahan hingga akhir masa persidangan kedua (17 Juli 1945).  Di luar persoalan ”tujuh kata”,  seluruh anggota BPUPK dapat menerima dan menyepakati pokok-pokok pikiran dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 itu pada 11 Juli. Semangat gotong-royong (kekeluargaan) sebagai sifat dasar manusia Indonesia yang disebutkan Soekarno  juga terefleksi dalam proses perumusan hukum dasar (batang tubuh UUD).

Fase Pengesahan

Betapa pun terjadi konsensus secara luas dan rancangan UUD telah disepakati oleh seluruh anggota BPUPK, kecuali Muhammad Yamin, pada 16 Juli 1945, di bawah permukaan tetap ada sesuatu yang mengganjal. Anggota-anggota BPUPK dari golongan kebangsaan menganggap pencantuman ”tujuh kata” dalam Piagam Jakarta—yang mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam—tidak cocok dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan. Suasana batin seperti itulah yang mewarnai sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang didirikan pada 12 Agustus 1945 dan bertugas mempercepat upaya persiapan terakhir bagi pembentukan sebuah pemerintahan Indonesia merdeka, termasuk menetapkan konstitusi. Jika kriteria utama keanggotaan BPUPK didasarkan pada latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, kriteria utama keang­gotaan PPKI lebih berdasarkan kedaerahan. Konsekuensinya, beberapa tokoh kunci BPUPK, seperti Agoes Salim, Abdul Kahar Moezakir, Masjkur, Ahmad Sanoesi, Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Wongsonagoro, dan Muhammad Yamin tidak masuk sebagai anggota PPKI, yang bisa menimbulkan perubahan terhadap konsensus yang dihasilkan BPUPK.[21]

Pada awalnya, PPKI terdiri atas 21 orang anggota yang diketuai Soekarno dengan Mohammad Hatta dan Radjiman Wediodiningrat sebagai wakil ketua. Pertemuan pertama PPKI dilaksanakan pada 18 Agustus 1945. Pada saat itu, suasana batin dan situasi politik Indonesia telah berubah secara dramatis, menyusul proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dilakukan beberapa penyesuaian dalam komposisi PPKI. Atas saran Soekarno, enam orang anggota ditambahkan, termasuk Kasman Singodimedjo (Ko­mandan Peta di Jakarta).[22] Alhasil, selain Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Wachid Hasjim, ada dua nama lain yang bisa dianggap mewakili suara Islam di PPKI, yakni Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan.[23]

Pada 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Re­publik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah “Piagam Jakarta” sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) di belakang sila Ketuhanan. “Tujuh kata” itu dicoret lantas diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”, sehingga selengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sebagai ikutan dari pencoretan “tujuh kata”, dalam batang tubuh UUD 1945 disetujui pula Pasal 6 ayat 1: “Presiden ialah orang Indonesia asli”, tak ada tambahan kata-kata “yang beragama Islam”. Demikian pula Pasal 29 ayat 1 bunyinya menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, tanpa disertai “tujuh kata” di belakangnya. Tentang pencoretan ‘tujuh kata” tersebut, Mohammad Hatta punya andil besar, seperti diakui sendiri dalam otobiografinya. Pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta mendekati tokoh-tokoh Islam[24] agar bersedia mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan Piagam Jakarta dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Alasannya, demi menjaga persatuan bangsa.

Atas usul perubahan itu, Teuku Hasan menyambut secara positif, adapun Wachid Hasjim tidak hadir,[25] sedangkan Kasman baru menerima undangan pagi itu sehingga belum siap berurusan dengan hal itu, menyisakan Ki Bagus untuk mengambil sikap. Upaya “membujuk” Ki Bagus dilakukan oleh Teuku Hasan dan Kasman. Dengan berbagai argumen persuasi yang dikemukakan, akhirnya Ki Bagus bersedia menerima usul perubahan itu.[26] Dengan demikian, kubu Islam akhirnya menerima pencoretan “tujuh kata” itu. Meskipun menimbulkan kekecewaan di sebagian golongan Islam, karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya, secara de facto dan de jure pencoretan “tujuh kata” itu mencerminkan realitas politik yang ada dan memiliki keabsahan. Kekuatan representasi politik Islam di PPKI yang berwenang menetapkan UUD memang tak seberapa.

Dengan pencoretan “tujuh kata” itu, moral “gotong-royong” sebagai dasar dari Pancasila serta moral “kekeluargaan” sebagai dasar sistematik UUD memperoleh kepenuhannya. Negara Indonesia benar-benar menjadi negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945,[27] setelah disahkan pada 18 Agustus, tidak ada lagi pokok pikiran kelima, yang memberikan keistimewaan kepada penduduk yang beragama Islam, seperti sebelumnya dinyatakan oleh Panitia Kecil Perancang Hukum Dasar.[28] Dengan pencoretan pokok pikiran kelima, moral ketuhanan tetap dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara—seperti tercermin pada pokok pikiran keempat, namun diletakkan dalam konteks negara “kekeluargaan” yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi-permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Pancasila sebagai Dasar dan Haluan Negara 

Dalam lintasan panjang proses konseptualisasi Pancasila dapat dikatakan bahwa 1 Juni 1945 merupakan hari kelahiran Pancasila. Pada hari itulah, lima prinsip dasar negara dikemukakan dengan nama Panca Sila, dan sejak itu jumlahnya tidak pernah berubah. Meski demikian, untuk diterima sebagai dasar negara, Pancasila itu perlu persetujuan kolektif melalui perumusan Piagam Jakarta (22 Juni) dan akhirnya mengalami perumusan final lewat proses pengesahan konstitusional pada 18 Agustus 1945. Karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945. Meskipun UUD 18 Agustus 1945 itu telah mengalami beberapa kali perubahan, namun ia selalu menegaskan di dalam Mukadimahnya, bahwa kemerdekaan kita harus disusun berdasarkan Pancasila, yang mengandung lima sila saling mengait.

Yang menjadi pegangan resmi sejak Dekrit Presiden No. 150 Tahun 1959, adalah rumusan Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959, dengan sedikit perubahan rumusan sila keempat, yakni kata “permusyawaratan-perwakilan” diubah menjadi “permusyawaratan/perwakilan” sesuai dengan yang terdapat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7.

Sejak tanggal 18 Agustus 1945 itu, Pancasila dapat dikatakan telah menjadi dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisi seperti itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Soekarno sendiri melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia itu secara padat dan meyakinkan: “Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme. Perjoangan suatu bangsa, perjoangan melawan imperialisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai kepribadian sendiri. Kepribadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain sebagainya.[29]

Pancasila sebagai Ideologi Negara

Selain sebagai dasar dan haluan negara, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi negara; suatu ideologi komprehensif yang mengatasi partikularitas paham perseorangan dan golongan. Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis, agama, dan golongan masyarakat yang homogen), masing-masing perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas ideologinya masing-masing. Namun dalam wilayah publik kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut Pancasila sebagai ideologi negara.

Istilah ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti ‘gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan ilmu. Secara harfiah, ideologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar (Kaelani, 2013: 60-61). Secara umum, ideologi dapat didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan dan paradigma pengetahuan yang menyeluruh dan sistematis yang memberikan landasan interpretasi untuk bertindak (Heywood, 2012: 1214).

Dengan demikian, setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur: keyakinan, pengetahuan, tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi  tuntunan-tuntunan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari  keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkrit.

Pancasila sebagai keyakinan sesungguhnya telah memiliki landasan normatif dan preskriptif yang jelas dan visioner. Pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut:

Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang memisahkan “agama” dan “negara” serta berpretensi menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut alam Pancasila diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Pada saat bersamaan, Indonesia bukan “negara agama” yang hanya merepresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan agama mendikte negara. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan multikeyakinan, Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan, dan harus dapat mengembangkan politiknya sendiri secara independen dari dikte-dikte agama.

Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas, yang mengarah pada persaudaraan dunia, dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimiliki untuk secara bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab.”

Ketiga, menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan ”bhinneka tunggal ika.” Di satu sisi, ada wawasan kosmopolitanisme yang berusaha mencari titik-temu dari segala kebhinekaan yang terkristalisasi dalam dasar negara (Pancasila), UUD dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.

Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka ”musyawarah-mufakat.” Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha (minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.

Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusian, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai mahkluk individu—yang terlembaga dalam pasar—dan peran manusia sebagai makhluk sosial—yang terlembaga dalam negara—juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam suasana kehidupan sosial-perekonomian yang ditandai oleh aneka kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang kooperatif (coopetition) berlandaskan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi peran masing-masing yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekelurgaan. Peran individu (pasar) diberdayakan, dengan tetap menempatkan negara dalam posisi penting sebagi penyedia kerangka hukum dan regulasi, fasilitas, rekayasa sosial, serta jaminan sosial.

Berbeda dengan anggapan umum yang memandang Pancasila sekadar teori, pada kenyataannya, Pancasila justru belum dikembangkan ke dalam seperangkat teori secara elaboratif dan komprehensif, yang dapat mewarnai konsepsi-konsepsi pengetahuan. Padahal, proses objektivikasi dari Pancasila sebagai keyakinan menjadi Pancasila sebagai ilmu sangat penting, karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan. Setiap rancangan perundang-undangan selalu didahului oleh naskah akademik. Jika pasokan teoritis atas naskah ini diambil dari teori-teori pengetahuan yang bersumber dari paradigma-ideologis yang lain, besar peluang lahirnya kebijakan perundang-undangan yang tak sejalan dengan imperatif moral Pancasila.

Usaha objektivasi Pancasila ke dalam paradigma pengetahuan sesungguhnya bisa dilakukan dengan meletakkannya ke dalam perspektif teoritis-komparatif. Rasionalitas atas konsepsi Ketuhanan yang berkebudayaan, yang menjadikan negara Indonesia bukanlah negara sekular maupun negara agama, mendapatkan pembenaran teoretik dan komparatifnya dalam teori-teori kontemporer tentang “public religion”. Perspektif kontemporer ini menolak tesis “separation” dan “privatization” dan mendukung tesis “differention”. Dalam teori ini, peran agama dan negara tidak perlu dipisahkan, melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa keduanya saling mengerti batas otoritasnya masing-masing yang disebut dengan istilah “toleransi-kembar” (twin tolerations).

Komitmen bangsa Indonesia dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi menempatkan visi Indonesia dalam perpaduan antara perspektif teori ‘idealisme politik’ (political idealism) dan ‘realisme politik’ (political realism)—yang berorientasi kepentingan nasionaldalam hubungan internasional. Prinsip kebangsaan Indonesia yang dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, dan juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing menyerupai perspektif ‘etnosimbolis’ (ethnosymbolist). Perspektif ini memadukan antara perspektif ‘modernis” (modernist)—yang menekankan unsur-unsur kebaruan dalam kebangsaan, dengan perspektif ‘primordialis’ (primordialist) dan ‘perenialis’ (perennialist)—yang melihat keberlangsungan unsur-unsur lama dalam kebangsaan.

Gagasan demokrasi permusyawaratan ala Indonesia yang menekankan konsensus dan menyelaraskan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mendahului gagasan ”demokrasi deliberatif” (deliberative democracy), yang diperkenalkan oleh Joseph M. Bessette pada 1980; juga ada kesejajarannya dengan konsep ”sosial-demokrasi” (sosdem).             Sedangkan gagasan keadilan sosial menurut Pancasila merekonsiliasikan prinsip-prinsip etik dalam keadilan ekonomi baik yang bersumber dari hukum alam, hukum Tuhan, dan sifat-sifat sosial manusia, yang dikonseptualisasikan sejak pemikiran para filosof Yunani, pemikiran-pemikiran keagamaan, teori-teori ekonomi merkantilis, ekonomi liberalisme klasik dan neo-klasik, teori-teori Marxisme-sosialisme, sosial-demokrasi hingga “Jalan Ketiga”. Gagasan keadilan ekonomi menurut sosialisme Pancasila mempunyai kesejajarannya dengan diskursus sosial-demokrasi di Eropa, tetapi juga memiliki akar kesejarahannya dalam tradisi sosialisme-desa dan sosialisme-religius masyarakat Indonesia.

Jika Pancasila sebagai landasan normatif telah begitu kuat, dan Pancasila sebagai kerangka paradigma pengetahuan masih dalam taraf percobaan, dimensi tindakan dari Pancasila masih jauh panggang dari tuntutan keyakinan dan pengetahuan. Pancasila belum banyak diimplementasikan ke dalam level operasional kebijakan dan tindakan penyelenggaraan negara.  Tantangan ini harus segera dijawab dengan cara menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Pancasila adalah dasar persatuan dan haluan kemajuan-kebahagiaan bangsa. Selama kita belum bisa membumikan nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu pula bangsa Indonesia tidak akan dapat meraih kemajuan-kebahagiaan yang diharapkan.

Pengakaran (radikalisasi) Pancasila dari keyakinan dan pengetahuan ke praksis tindakan merupakan suatu kemestian, betapapun hal itu merupakan pekerjaan yang sulit di suatu negeri yang dirundung banyak masalah. Namun, dengan semangat gotong-royong yang menjadi nilai inti Pancasila, kesulitan itu bisa ditanggung bersama.

 

Penutup

Pengamalan nilai-nilai Pancasila hanya dapat terlaksana apabila ada ketaatan dari penyelenggara dan warga negara. Ketaatan kenegaraan ini, menurut Notonagoro (1974), dapat diperinci sebagai berikut:

  1. Ketaatan hukum, yang terkandung dalam pasal 27 (1) UUD 1945, berdasarkan atas keadilan legal.
  2. Ketaatan kesusilaan, berdasarkan atas sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Ketaatan keagamaan, berdasarkan atas: sila pertama Pancasila; pasal 29 (1) UUD 1945; berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945.
  4. Ketaatan mutlak atau kodrat, atas dasar bawaan kodrat daripada organisasi hidup bersama dalam bentuk masyarakat, lebih-lebih dalam bentuk negara, organisasi hidup kesadaran dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi pengalaman daripada manusia. Baik pengalaman tentang penilaian hidup yang meliputi lingkungan hidup kebendaan, kerohanian dan religius; lingkungan hidup sosial ekonomis, sosial politis dan sosial-kultural.

Pusat teladan dari ketaatan ini adalah semangat para penyelenggara negara. Sebaik apapun kandungan nilai-nilai Pancasila dan turunannya UUD 1945, hanyalah keluhuran di atas kertas, tanpa kesungguhan untuk mendagingkan nilai-nilai itu dalam penyelenggaraan negara. Seperti diingatkan oleh Soepomo:

Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek.

Untuk itu, bukan hanya pembangunan aspek jasmaniah yang harus diperhatikan, melainkan pertama-tama justru pembangunan aspek kejiwaan. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Itulah pesan dari Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Kekayaan alam Indonesia bisa memberi kemakmuran kepada bangsa ini; namun di tangan para penyelenggara negara yang miskin jiwa, sebanyak apapun sumber kekayaan alam itu tak akan pernah mencukupi kesejahteraan warganya. Kekayaan budaya Indonesia bisa memberi sumber kemajuan peradaban kepada bangsa ini; namun di tangan para penyelenggara negara yang tak memiliki kepercayaan diri, kekayaan budaya sebanyak apapun tak akan pernah menjadi kekuatan kerohanian (karakter) bagi kemajuan bangsa. Kekayaan keragaman Indonesia bisa memberi landasan kehidupan yang rukun dan saling menyempurnakan; namun di tangan para penyelenggara negara yang kerdil, kekayaan keragaman itu menjadi sumber pertikaian dan saling mengucilkan.

Dalam usaha membumikan Pancasila dari alam idealitas menuju alam realitas, kita perlu  menghayati fitrah (semangat asal) bernegara seperti yang dipesankan dan dicontohkan oleh para pendiri bangsa sendiri.

Fitrah pertama adalah semangat ”menuhan” (ketakwaan kepada Tuhan). Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat sikap ”ihsan” dengan mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pengakuan ini, menurut Bung Hatta, pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia, untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di hadapan sesamanya, melainkan juga di hadapan sesuatu yang mengatasi semua, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Fitrah kedua adalah semangat kekeluargaan. Dalam pidato tentang Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan:

Kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘Gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong!

Fitrah ketiga adalah semangat keikhlasan dan ketulusan. Dalam mengambil keputusan yang sulit, seperti dalam menentukan bentuk negara (uni, federasi atau konfederasi), para pendiri bangsa di BPUPK terlebih dahulu mengheningkan cipta seraya memanjatkan do’a agar keputusan yang diambil dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan hati yang murni dengan penuh keikhlasan.

Fitrah keempat adalah semangat pengabdian dan tanggung jawab. Dalam membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin mengingatkan, ”Saya hanya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”

Fitrah kelima adalah semangat menghasilkan yang terbaik. Menanggapi Soepomo, yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang sempurna di masa perang, Soekarno mengingatkan, ”Saya peringatkan tentang lamanya perang kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali lebih lama dan jikalau hukum dasar kurang sempurna, lebih baik didekatkan pada kesempurnaan.”

Fitrah keenam adalah semangat keadilan dan kemanusiaan. Dalam Pancasila, kata ‘keadilan’ ditonjolkan dengan menempatkannya di dua sila sekaligus. Pada sila kedua, keadilan dijadikan landasan nilai perjuangan kemanusiaan; pada sila kelima, keadilan itu dijadikan tujuan perjuangan. Bung Hatta mengingatkan: “Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila Pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat melaksanakan pasal 27, ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.”

Fitrah ketujuh adalah semangat kejuangan. Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidaklah eksis dengan sendirinya, melainkan tumbuh atas landasan suatu keyakinan, sikap batin yang memancarkan etos kejuangan yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa. “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Fitrah dasar kehidupan bernegara itu perlu dihidupkan sebagai tenaga batin dan prasyarat moralitas yang dapat mengangkat marwah bangsa dari kerendahannya. Dalam peringatan Isra Mi’raj 7 Februari 1959, Soekarno mengingatkan:

Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi’raj—kenaikan ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi).

Demikianlah, para pendiri bangsa mewariskan kepada kita semangat, alasan, dan tujuan perjuangan kebangsaan sedemikian terang dan luhurnya. Kehilangan terbesar dari bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi atau kehilangan pemimpin, melainkan kehilangan karakter dan harga diri, karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. “Aib terbesar,” kata Juvenalis, “ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”

Sejauh ini, nilai-nilai ideal Pancasila itu  belum sepenuhnya terbumikan dalam kenyataan, terutama karena krisis keteladanan para penyelenggara negara. Membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam realita, tak hanya jadi retorika atau verbalisme di pentas politik. Karena itu, rejuvenasi Pancasila harus dilakukan dengan cara mengukuhkan kembali posisinya sebagai dasar falsafah negara, mengembangkannya ke dalam wacana ilmiah, mengupayakan konsistensinya dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, dan menjadikannya sebagai karya, kebanggaan dan komitmen bersama.

Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Marilah kita gemakan terus semboyan Bung Hatta: ”Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku.” Lantas ia pun berikrar dengan mengutip seungkai sajak René de Clerq: ”Hanya ada satu tanah air yang bernama Tanah Airku. Ia makmur karena usaha, dan usaha itu adalah usahaku.”

Referensi:

Heywood, A., 2012, Political Ideologies: An Introduction, Palgrave Macmillan, New York

Kaelan, H., 2013,  Negara Kebangsaan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta

Latif, Y., 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

 

 

————————————————–

[1] Yudi Latif adalah Ketua Harian Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila

[2] AB Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 85-86.

[3] Adanya perwakilan perempuan dalam BPUPK merupakan suatu lompatan besar dalam sejarah politik negeri ini. Bahkan di Amerika Serikat, hak politik perempuan dalam pemilihan baru diaktualisasikan setelah Perang Dunia II.

[4] Keanggotaan BPUPK minus perwakilan komunis disebabkan oleh kombinasi politik nonkooperasi serta status ilegal PKI yang belum dicabut sejak pemberontakan 1926/1927.

[5] Pentingnya nilai ketuhanan sebagai fundamen kenegaraan antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Wiranatakoesoema, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, Agoes Salim, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, KH. Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, dan Mohammad Hatta.[5] Pentingnya nilai kemanusiaan sebagai fundamen kenegaraan antara lain dikemukakan Radjiman Wedyodiningrat, Muhammad Yamin, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Wongsonagoro, Soepomo, Liem Koen Hian, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Pentingnya nilai persatuan sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan antara lain oleh Muhammad Yamin, Sosrodiningrat, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Abdoelrachim Pratalykrama dan Soekiman, Abdul Kadir, Soepomo, PF Dahler, serta Ki Bagoes Hadikoesoemo. Pentingnya nilai-nilai demokrasi permusyawaratan sebagai fundamen kenegaraan antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Abdoelrachim Pratalykrama, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Soepomo. Pentingnya nilai-nilai keadilan/kesejahteraan sosial sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan antara lain oleh Muhammad Yamin, Soerio, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, Soepomo dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.[5] Tampak jelas bahwa secara substantif semua prinsip dasar negara yang diajukan itu sama-sama diusung oleh mereka yang berasal dari golongan kebangsaan maupun golongan Islam.

[6] Kalau para pendiri bangsa menyebut “demokrasi Barat”, dalam nada “pelainan” (othering), yang dimaksud bukanlah seluruh model demokrasi yang berkembang di Dunia Barat, melainkan secara spesifik berkonotasi pada suatu ideal type dari demokrasi liberal yang berbasis individualisme. Liberalisme-individualisme dianggap sebagai jangkar dari kapitalisme yang pada perkembangannya mendorong kolonialisme-imperialisme.

[7] Pantangan “Mo-limo” itu terdiri maling (mencuri, termasuk korupsi), madat (mengisap candu), main (berjudi), minum (mabuk-mabukan), dan madon (main perempuan).

[8] Soekarno menolak penggunaan istilah Panca Dharma sebagai nama dari dasar negara. Menurutnya, dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar.

[9] Soekarno, Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, Jilid IV-V ((Djakarta: Kementerian Penerangan RI, 1958), hal. 3.

[10] Sukarno, Di Bawah Bendera…, Jilid I, hal. 9. Ungkapan terakhir ini dipinjam Soekarno dari nasihat yang diberikan Shri Kresna kepada Arjuna dalam Baghawat Gita: “Karmanjé fadikarasté temapalésju kadattjhana” (Kerjakan kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akan akibatnya).

[11] Panitia Delapan terdiri atas Soekarno, Hatta, Yamin, Maramis, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Oto Iskandardinata (golongan kebangsaan), Ki Bagoes Hadikoesoemo dan KH. Wachid Hasjim (golongan Islam).

[12] Mendapati posisinya yang kian goyah, akhir 1942 Jepang berusaha menarik dukungan penduduk di negara jajahan dengan merencanakan pemberian kemerdekaan kepada Burma dan Filipina, tetapi tidak menyebut nasib Indonesia. Soekarno dan Moh. Hatta mengajukan protes, yang ditanggapi oleh pemerintah Jepang dengan memberikan peran kepada tokoh-tokoh Indonesia di dalam lembaga pemerintahan. Pada 5 September 1943, Saiko Shikikan (Kumaikici Harada) mengeluarkan Osamu Seirei No. 36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) dan Chuo Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Keresidenan). Pada Sidang Chuo Sangi In Pertama, 17 Oktober 1943, Soekarno dilantik sebagai ketua didampingi dua orang wakil ketua, RMAA Kusumo Utoyo dan dr .Buntaran Martoatmojo.

[13] Sebanyak 47 orang diundang untuk menghadiri pertemuan (32 anggota Chuo Sangi In yang merangkap anggota BPUK, ditambah 15 orang anggota BPUPK yang bukan anggota Chuo, tetapi tinggal di Jakarta). Tetapi yang hadir hanya 38 orang; lihat, Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945…, hal. 21.

[14] Pada awal masa sidang kedua, 10 Juli 1945, Soekarno selaku ketua Panitia Kecil melaporkan bahwa Panitia Kecil telah memeriksa usul-usul dari 40 Iin baik tertulis maupun diucapkan. Dengan demikian, Panitia Kecil juga menampung usulan di luar 38 orang yang hadir dalam pertemuan Chuo Sangi In tersebut.

[15] Pada awal masa persidangan BPUPK Kedua (10 Juli 1945), Soekarno mengakui langkah-langkahnya di luar kerangka formalitas ini. “Tuan-tuan yang terhormat! Panitia Kecil sadar sama sekali, bahwa jalannya pekerjaan yang kami usulkan itu sebenarnya ada menyimpang daripada formaliteit, menyimpang dari pada aturan formeel yang telah diputuskan, telah ditentukan. Tetapi kami anggota Panitia Kecil berkata: ‘Apakah artinya formaliteit di dalam zaman gegap gempita sekarang ini! Apa arti formaliteit terhadap desakan sejarah sekarang ini.”

[16] Panitia Sembilan ini terdiri dari Soekarno (ketua), Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, AA Maramis, Soebardjo (golongan kebangsaan), KH. Wachid Hasjim, KH. Kahar Moezakir, H. Agoes Salim, dan R Abikusno Tjokrosoejoso (golongan Islam). Ki Bagoes Hadikusoemo tidak menjadi bagian dari Panitia Sembilan ini karena (kemungkinan) pulang ke Yogyakarta sebelum pembentukan Panitia Sembilan.

[17] Menurut M Yamin, “…karena konstitusi Republik Indonesia berlindung kepada Tuhan yang Maha Kuasa, dengan menyebut kalimat ini maka syarat agama dipenuhi dan rakyat pun tentu menimbulkan perasaan yang baik terhadap hukum dasar ini.”

[18] Lihat pidato Yamin pada Rapat Besar BPUPK 11 Juli 1945, dalam Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945…, hal. 284.

[19] Bung Hatta berulangkali mengungkapkan hal itu, antara lain, dalam Kongres Kesatuan Pemuda Kristen seluruh Indonesia dan pada pidato penganugerahan Doktor HC dalam Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada pada 1956.

[20] Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945…, hal. 20.

[21] C van Dijk, Rebellion under the Banner of Islam (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981), hal. 60.

[22] Tambahan anggota lainnya selain Kasman adalah Wiranatakusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sajuti Melik, Iwa Kusuma Soemantri, dan Ahmad Soebardjo. Sebetulnya, semula akan ditambahkan sembilan anggota baru, tetapi Sukarni, Chairul Saleh dan Adam Malik (dari kalangan pemuda) menolak bergabung, karena PPKI dianggap sebagai buatan Jepang.

[23] Walaupun tidak mewakili golongan Islam, Teuku Hasan yang berasal dari Aceh dinilai punya kedekatan dengan Islam.

[24] Mohammad Hatta, Memoir Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1979), hal. 28. Tentang hal ini Hatta mengaku bahwa pada 18 Agustus pagi dia melakukan rapat pendahuluan dengan Ki Bagus Hadikoesoemo, Wachid Hasjim, Kasman Singedimedjo dan Teuku Hasan untuk merundingkan usulan perubahan ini; lihat, Hatta, Memoir …, hal. 57-59; ES Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis ‘Sekuler’ tentang Dasar Negara Republik Indonesia (Jakarta: CV Rajawali, 1983), hal. 51. Barangkali Hatta lupa bahwa Wachid Hasjim berhalangan hadir.

[25] Wachid Hasjim tidak hadir pada pertemuan 18 Agustus 1945 karena sedang ke Surabaya; lihat, Ansyari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan…, hal. 52-53; Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Vol. 1 (Djakarta: Prapantja, 1959), hal 438; Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945…, hal. 54. Dengan demikian, tak ada seorang pun wakil golongan Islam ikut menandatangani Piagam Jakarta yang menghadiri rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

[26] Menurut pengakuan Hasan, dia yang meyakinkan Ki Bagus dengan alasan bahwa untuk sementara akan masuk dalam aturan peralihan. Menurut Kasman, upaya terakhir dilakukan olehnya dengan mengajukan argumen bahwa dalam situasi kritis, di mana persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan golongan Islam harus bisa mengalah. Kasman juga meyakinkan bahwa berdasarkan keterangan Hatta dalam waktu enam bulan, sebuah sesi khusus akan dilakukan untuk menyusun UUD yang lebih komprehensif; lihat, Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman 1982, Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang,1982), hal. 128-130.

[27] Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 ini ditulis oleh suatu Tim yang terdiri dari, antara lain, Soepomo dan Mohammad Hatta.

[28] Pokok pikiran kelima itu ialah: “Negara Indonesia memperhatikan keistimewaannya penduduk yang terbesar dalam lingkungan daerahnya, ialah penduduk yang beragama Islam. Dengan terang dikatakan dalam ‘pembukaan’ kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Dengan itu negara memperhatikan keistimewaannya penduduk yang terbesar, ialah yang beragama Islam.”

[29] Soekarno, Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, Jilid I, hal. 3.

Yudi Latif, Phd.

Ketua Harian Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila