Era digital kini menuntut perubahan zaman dan gaya hidup manusianya. Termasuk pada generasi millennial yang sangat dekat gawai (gadget). Sebagian besar milennial di Indonesia sangat aktif menggunakan media sosial. Tak heran, media sosial berperan besar sebagai sumber informasi kaum millennial.

Media sosial bisa memberi berita-berita yang positif, bisa juga sebaliknya. Salah satu dampak negatif media sosial adalah munculnya berita-berita bohong atau hoax, hingga konten-konten yang mengandung kebencian (hate speech). Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada Februari 2017, penyebaran hoax paling banyak diterima melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path, Line, WhatApp, dan Telegram) yang mencapai 92,4 persen.

Menurut kamus Merriem Webster, hoax adalah (1) sebuah perbuatan yang bertujuan mengelabui atau membohongi, dan (2) menjadikan sesuatu sebagai kebenaran umum melalui fabrikasi dan kebohongan yang disengaja. Celakanya, berbagai berita hoax yang disajikan belakangan ini lebih mengedepankan hasutan, kebencian, dan kebohongan publik tanpa merujuk pada data dan realitas sebenarnya.

Tidak sedikit media daring yang terjebak berita hoax. Bahkan ada yang sengaja menebarkan hoax sebagai tujuan politik. Dewan Pers mencatat saat ini ada 43.300 media daring di Indonesia. Pada tahun 2014, hanya 254 media saja yang terverifikasi di Dewan Pers. Pada tahun 2015, menyusut hingga sekitar 180 media. Sementara berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informasi, terdapat sekitar 800 ribu situs yang memproduksi berita hoax di internet.

Menurut data subdirektorat Cyber Crime Polda Metro Jaya, saat ini sedikitnya terdapat sekitar 300 konten media sosial menyebarkan berita hoax. Konten-konten hoax tersebut kebanyakan diproduksi oleh para buzzer politik yang tidak jarang menggunakan nama-nama menyerupai media yang terverifikasi.

Bahaya berita hoax paling banyak menyasar generasi millennial. Selain rentan karena jiwa mudanya yang gampang terpengaruh, berita hoax bisa menyesatkan dan berpotensi memecah persatuan dan kesatuan.

Seperti dilansir kompas.com dari TheVerge, kepala penelitian Ofcom, James Thickett, mengungkapkan internet membuat anak-anak lebih mudah belajar, mencari sesuatu dari sudut pandang beragam dan tetap terkoneksi dengan semua orang. Namun, James menyatakan kemudahan arus informasi tak berbanding lurus dengan kecerdasan. Mudahnya akses informasi  membuat generasi millennial cenderung mudah percaya dan kurang kritis.

Dampak paling buruknya, media sosial yang menyebarkan hoax, lebih banyak melemahkan nilai Pancasila, khususnya sila ketiga, Persatuan dan Kesatuan Indonesia. Pilkada Jakarta contohnya:  berita hoax cukup berhasil mengirimkan gelombang kebencian yang mengancam keutuhan bangsa.

Sebaliknya, media sosial terbukti ampuh memviralkan atau memomulerkan isu-isu kebangsaan; melawan berita hoax yang sudah tersebar. Seperti fenomena tagar #SayaIndonesia, #SayaPancasila yang dibuat dalam rangka menyambut Hari Pancasila.

Media sosial juga mendorong kaum millennial aktif menyuarakan opininya, dan ikut mengawal proses demokrasi. Seperti kawalpemilu.org yang diinisiasi oleh Ainun Najib. Situs ini memuat tabulasi dari hasil rekapitulasi data scan dari formulir C1 untuk Pilpres 2014, yang didapatkan dari situs web KPU.go.id.

Demikianlah bahwa media sosial bisa mendatangkan kebaikan, dan sebaliknya mendatangkan kutuk. Sebagai warga negra yang bertanggung jawab, mari kita menyaring informasi melalui prinsip-prinsip Pancasila, yaitu : Ketuhanan Maha Esa (kebebasan beragama), Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (adil sejak dipikiran dan dilaksanakan dengan cara yang beradab), Persatuan dan Kesatuan (tidak memecah belah), Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan (terbuka akan dialog), serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (terbukanya kesempatan yang sama bagi setiap orang). (EOS)

Sumber gambar: bigthink