Keterangan foto: Vlog Kaesang #Bapak Minta Proyek /Sumber : Youtube
Pelaporan Kaesang, Putra Presiden Jokowi atas tuduhan melakukan penodaan agama serta penyebaran kebencian menjadi berita terhangat di Ibukota. Seseorang bernama Muhammad Hidayat S. Hidayat melaporkan video blog (vlog) Kaesang yang berjudul #BapakMintaProyek, ke Polres Bekasi Kota, Minggu (2/07/2017).
Muhammad menganggap ada ujaran kebencian dalam kata ‘ndeso ’ di konten vlog yang berjudul ‘Bapak Minta Proyek’. Vlog yang diunggah Kaesang pada tanggal 27 Mei 2017, bercerita tentang anak-anak pejabat yang meminta proyek pemerintah, serta ungkapan kegelisahannya terhadap generasi muda dan toleransi beragama.
Berikut rincian vlog #BapakMinta Proyek yang dilaporkan ke Polisi :
Berdurasi 2 menit 40 detik, 42 detik pertama, vlog berisi adegan percakapan antara Kaesang dan tokoh Bapak.
“Pak, bapak, mbok Kaesang minta proyek triliunan bapak yang ada di pemerintahan,“ungkap Kaesang. Kemudian, Kaesang menirukan suara jokowi untuk menjawab permintaannya.
“opo tho le, mau sukses dan kaya ya kerja keras, mosok pengen penake thok (masak kamu enaknya saja), “ujar Jokowi.
Selanjutnya, Kaesang menyebut orang yang minta proyek kepada orangtuanya yang ada di pemerintahan sebagai perilaku “ndeso” (kampungan).
98 detik berikutnya, Kaesang mengkritik kondisi sosial anak-anak pejabat atau yang orangtuanya yang kuliah di luar negeri.
Selanjutnya, 15 detik berikutnya, berisi perkataan “Bukan malah saling menjelek-jelekkan, mengadu domba, mengkafir-kafirkan orang lain. Apalagi, ada yang enggak mau mensalatkan, padahal sesama muslim, karena cuma perbedaan dalam memilih pemimpin. Apaan coba? “dasar ndeso.”
Menurut Muhammad Hidayat , penggunaan kata “ndeso” berulangkali merupakan salah satu bentuk ujaran kebencian (hate speech) dalam video yang diunggah ke Youtube.
Apakah kata “dasar ndeso ” merupakan ujaran kebencian? Yuk, kita telisik sama-sama.
Ujaran kebencian sendiri adalah tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu Pasal 310 KUHP dan Pasal 315 KUHP, dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, Surat Edaran (SE) Kapolri SE/06/X/2015, yang bentuknya : penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, serta menyebarkan berita bohong.
Semua tindakan itu bertujuan atau berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Mengacu pada Pasal-pasal di KUHP dan SE/06/X/2015 tentang ujaran Kebencian (Hate Speech), konten vlog Kaesang mesti dipahami komprehensif.
Apabila merujuk pasal 157 KUHP, kata “dasar ndeso ” tidak menghujat subjek tertentu baik orang atau kelompok, sehingga tidak spesifik ada golongan tertentu yang menjadi korban penghinaan.
Sebaliknya, konten Kaesang bermaksud mengkritisi pemikiran dan sikap anak-anak muda yang mulai melenceng dari nilai-nilai pancasila dan kerukunan antar umat beragama. Ungkapan “dasar ndeso” yang tidak juga mengandung unsur menghasut, melainkan sindiran halus berupa kritik berbentuk komedi.
Kata “dasar ndeso” merupakan sebuah frasa yang kerap digunakan pelawak di televisi dan sudah sangat “ndeso” berarti tingkah laku yang kampungan, ketinggalan zaman atau belum modern. Apabila kata “ndeso” merupakan bentuk penghinaan terhadap seseorang atau kelompok tertentu, sudah pasti pelawak-pelawak itu telah dilaporkan ke polisi juga.
Berdasar SE/06/X/2015, kata “dasar ndeso” juga harus bisa dibuktikan bertujuan atau berdampak pada diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa atau konflik sosial. Memang, kata “dasar ndeso” bisa berpotensi menyinggung warga Negara di desa.
Namun, perlu saksi ahli bahasa dan budaya yang bisa membuktikan ada relasi yang kuat antara subjek dan objek “dasar ndeso” sebagai ujaran kebencian yang berdampak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa atau konflik sosial.
Belajar dari kasus Kaesang, kita sebagai masyarakat demokratis mempunyai pemikiran yang dewasa menanggapi hal ini. Vlog Kaesang hanya menggambarkan potret kehidupan masyarakat terkini.
Kalau boleh jujur, kritik Kaesang merupakan kondisi kebangsaan yang kita lihat, dengar, alami hari-hari ini. Ungkapan Kaesang melalui vlognya merupakan bagian dari proses demokrasi yang dianut Negara kita, yang kita kenal sebagai kebebasan berbicara atau berpendapat.
Menurut Jimly Asshiddiqie, kebebasan berpendapat di Negara demokrasi seperti Indonesia, merupakan salah satu roh dan pilar tegaknya sistem demokrasi. Untuk itulah, kebebasan berpendapat menjadi salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara yang dijamin Konstitusi. Tentu saja, kebebasan berpendapat yang tidak kebablasan dan tetap diatur Konstitusi.
Sayangnya, kebebasan berpendapat sekarang justru sering menjadi perangkap dari tuduhan penghinaan atau penodaan agama. Ironi memang, proses demokrasi yang tak bisa lepas dari adanya kritik dan saran, malah menjadi anti-kritik dan anti-dialog.
Ujung-ujungnya, masyarakat kita tidak lagi terbuka akan saran, dialog atau pendapat, tetapi malah membuat trend baru, yaitu tren pelaporan. Tak heran, kasus intoleransi mencuat kembali di negeri yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila. Padahal intoleransi merupakan musuh utama terwujudnya nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Belajar dari kasus Kaesang, kita kaum muda dan yang berjiwa muda sepantasnya adil dalam pikiran dan beradab dalam sikap. Yuk, kita hindarkan prasangka melalui musyawarah dan dialog, demi menggali ide dan solusi, daripada hanya sekedar memancing emosi dan memantik benci. (EOS)