Ayu Kartika Dewi, sosok di balik suksesnya program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia yang dikenal dengan Sabang Merauke. Lahir dari keluarga yang sederhana, Ayu sudah dilatih mandiri sejak kecil oleh orang tuanya. Perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya, membuat Ayu terbiasa dengan perubahan.

Kemandirian itu juga yang membuat karir Ayu melesat tinggi hingga bekerja di (P&G) Singapura. Pada puncak karirnya, Ayu memiliki kerinduan berbuat sesuatu bagi Indonesia. Ia memutuskan keluar dari tempat kerjanya dan bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar. Ia ditempatkan mengajar di di SDN Papaloang, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Niat mulia Ayu, membukakan matanya tentang masalah yang terjadi di negeri ini, yakni toleransi dan keberagaman. Desa Papaloang merupakan salah satu bekas wilayah kerusuhan Maluku tahun 1990-2000. Meski sepuluh tahun telah berlalu, dampak-dampak kerusuhan masih tampak. Mulai dari bekas- bekas bangunan gereja yang terbakar, hingga desa-desa yang tersekat-sekat berdasarkan agama.

Bukan hanya itu. Dampak kerusuhan juga menyelinap masuk pada hubungan dan interaksi warganya. Ayu yang mengajar di desa beragama Islam, melihat warga di lingkungannya tumbuh homogen; tak pernah berinteraksi dengan orang beragama lain.

Hingga suatu waktu, isu kerusuhan di Ambon muncul kembali. Anak-anak kelas 2 dan 3 SD terlihat panik. Mereka berlarian mendekati Ayu seraya berkata, “Hati-hati, Bu Ayu! Kerusuhan sudah dekat.”   Saya bilang saja, ‘Nak, kerusuhan itu masih jauh.

Letak Ambon ke desa sekitar 2 hari kalau naik kapal. Lalu mereka menjawab, “Kerusuhan datang pakai pesawat”. Mereka menambahkan, “Bu Ayu, hati-hati dengan orang Kristen. Mereka jahat,  nanti mereka bakar-bakar kita pe rumah,“ cerita  Ayu.

Mendengar jawaban anak-anak itu, Ayu merasa sangat terkejut dan gelisah. Ia membayangkan apa yang akan terjadi pada Indonesia, jika sejak kecil, anak-anak sudah menyimpan prasangka.

Setelah menyelesaikan tugas mengajar, Ayu kembali ke Jakarta dan menceritakan kegelisahan itu kepada teman-temannya. Kemudian, tercetuslah ide pertukaran pelajar antardaerah dalam program “Seribu Anak Merantau Untuk Kembali” (Sabang Merauke). Pertukaran pelajar ini bertujuan untuk menciptakan interaksi positif guna menghilangkan banyak streotip-streotip yang telah ada.

Mengusung semangat “toleransi tidak bisa hanya sekedar diajarkan, tetapi harus dialami”, Ayu menjelaskan bahwa gerakan Sabang Merauke bertujuan untuk menjadikan anak-anak sebagai duta toleransi, bercita-cita tinggi, dan melakukan sesuatu  bagi negeri.

Saat ini Sabang Merauke sudah berada di tahun kelima (2017). Dari total 835 orang yang mendaftar, yang lolos seleksi sekitar 15 orang peserta pertukaran pelajar usia 13-14 tahun.

Di masa mendatang, Ayu berharap Sabang Merauke makin berkembang dan berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang lebih damai.

Perdamaian, penerimaan kebhinekaan, dan toleransi, ada karena diperjuangkan. Sebagai warga negara bertanggung jawab, kita juga bisa terlibat dalamnya. Menghilangkan prasangka, berteman dengan siapa saja termasuk yang berbeda, dan melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan yang mempromosikan toleransi.