Hadits Larangan Memulai Salam kepada Orang Yahudi dan Nasrani?? (Part 2)

Aug 30, 2020

CARA LAIN MENDENGARKAN:

Transkrip

Suatu saat ada kelompok Yahudi yang datang menemui Nabi dan mengatakan, “assamu’alaikum”. Langsung serta merta istrinya Sayyidatina ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawabnya dengan, “wa’alaikumussam wa la’nah”.

Jadi, dia marah betul karena menyapa Nabi dengan “semoga Tuhan menjatuhkan kematian atau keterpurukan kepada kamu”, jadi ‘Aisyah menjawab bahwa bukan saja kematian bagi kamu tapi juga la’nah. Langsung ditegur oleh Rasulullah.

 

Interviewer:

Lanjut ke pertanyaan selanjutnya. Ada sebuah hadits yang artinya demikian, Pak, “Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka di jalan, desaklah mereka ke bagian yang paling sempit”. Apakah ada pertentangan antara hadits ini dengan mu’amalah atau sosialisasi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang baik terhadap kaum Yahudi dan Nasrani? Karena seperti kita tahu bahwa Nabi Muhammad juga pernah menengok orang yang sakit di antara mereka, menerima hadiah-hadiah dari mereka dan juga memberikan gamis Beliau untuk mengkafani Abdullah bin Ubai bin Salul. Dan, Al-Qur’an dan sejarah merekam hubungan baik dengan Ahlul kitab. Lantas bagaimana dengan nonmuslim selain Ahlul kitab, Pak? Karena yang seperti kita ketahui bahwa Nabi Muhammad tidak hanya juga berinteraksi sosial hanya kepada pedagang-pedagang ataupun masysrakat Ahlul kitab, tetapi juga pedagang dari Cina misalnya ataupun dari negeri lainnya. Bagaimana ini Pak?

 

Alwi Shihab:

Ya, yang pertama, hadits itu menunjukkan secara lahiriah seakan-akan Nabi melarang umat Islam untuk menyapa dengan baik kelompok Yahudi. Itu tidak ditujukan kepada kelompok Nasrani, itu kelompok Yahudi.

Nah, kalau ada hadits yang tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam atau ajaran Al-Qur’an, maka hadits itu harus ditolak. Jadi, ada hadits Nabi yang mengatakan, “kalau ada riwayat mengenai Saya, mengenai hadits Saya yan bertentangan dengan Al-Qur’an, maka tinggalkan hadits itu dan tetap berpegang kepada Al-Qur’an”.

Namun, hadits ini dianggap oleh para ilmuwan bahwa ini hadits yang benar. Nah, sehingga untuk kita merekonsiliasi, menghubungkan antara semangat Al-Qur’an yang begitu banyak menganjurkan agar kita berlaku adil, berlaku baik, dan tidak mencederai perasaan orang-orang nonmuslim, pasti ada sebab keluarnya hadits ini.

Dari itu, orang kalau mau berbicara tentang Al-Qur’an selalu dimulai dengan sebab turunnya ayat yang tertentu. Hadits juga begitu. Kalau ada hadits harus kita tahu konteksnya apa. Kalau kita melihat Al-Qur’an, Al-Qur’an mengatakan bahwa kalau ada orang yang menyapa, “iżā ḥuyyītum bitaḥiyyatin”, apabila ada yang menyapa kepada kamu maka kembalikan salam atau greetings itu, ucapan itu dengan baik atau paling tidak sama.

Dan, kita tahu Al-Qur’an mengajarkan kita bahwa ada di salah satu ayat, “Lā yan-hākumullāhu ‘anillażīna lam yuqātilụkum fid-dīni wa lam yukhrijụkum min diyārikum an tabarrụhum wa tuqsiṭū ilaihim”, Allah tidak sama sekali melarang kalian umat Islam untuk berlaku adil dan menyapa, berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangi agamamu dan tidak mengusir kamu dari negerimu.

Kita kembali ke hadits ini. Apa konteks hadits ini? Kita ketahui bahwa hubungan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan kelompok Yahudi di Madinah, itu mengalami semacam gangguan-gangguan dalam hubungan. Kelompok Yahudi yang dikenal dengan tribe Bani Quraizhah, itu menyalahi ketentuan perjanjian antara umat Islam, antara Nabi Muhammad dengan mereka orang-orang Yahudi. Karena di Madinah waktu itu tidak ada kelompok Kristen yang berarti, artinya sangat kecil kalaupun ada.

Kelompok Yahudi ini, pada saat kelompok musyrikin–penyembah berhala– dari Mekkah datang menyerang Madinah, justru perjanjian yang sudah ditandatangani oleh kelompok Yahudi dengan Nabi bahwa siapapun yang menyerang Madinah sebagai kota kita yang penghuni di situ kita harus mempertahankan.

Ternyata mereka berkonspirasi dengan kelompok orang-orang penyembah berhala dari musyrikin, dari Mekkah dan memberikan informasi-informasi untuk bisa mengalahkan kelompok muslim di Madinah. Sehingga, ada alasan untuk kita tidak berbuat baik karena dia telah memerangi kita.

Dari itu, kita kenal di dalam sejarah bahwa orang-orang Yahudi itu, pada saat hubungan yang terganggu di antara mereka, antara mereka dengan orang-orang Islam, antara sahabat Nabi, mereka tidak mengatakan “assalamualaikum”, mereka mengatakan “assamu’alaikum”. Assam itu artinya kematian bagi kamu.

Diriwayatkan di dalam hadits Bukhari dan Muslim bahwa suatu saat ada kelompok Yahudi yang datang menemui Nabi dan mengatakan, “assamu’alaikum”. Langsung serta-merta istrinya Sayyidatina ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, itu menjawabnya dengan “wa’alaikumussam wa la’nah”.

Jadi dia marah betul karena menyapa Nabi dengan semoga Tuhan menjatuhkan kematian atau keterpurukan kepada kamu. Jadi ‘Aisyah menjawab bahwa bukan saja kematian bagi kamu, tapi juga la’nah. Langsung ditegur oleh Rasulullah.

Rasulullah mengatakan bahwa Allah mengajarkan kita ucapan yang lemah lembut dan karena Allah sebenarnya sangat lembut, Tuhan yang Maha penyayang dan sangat lembut, dan menegur. Nah, jadi hadits ini konteksnya adalah pada saat orang-orang Yahudi yang sengaja mau mengganggu Nabi dengan cara bukan mengatakan assalamualaikum tapi assamu’alaikum. Sehingga, Nabi mengatakan kalau ada orang-orang Yahudi yang lewat di satu jalan maka usahakan supaya dia dipinggirkan ke pojok, sehingga tidak bertatap muka dengan kalian, sehingga jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan oleh Rasulullah.

Jadi, hadits ini bertentangan dengan semangat Al-Qur’an yang mengajarkan kita berbuat baik, mengajarkan kita “qụlụ lin-nāsi ḥusnaw”, katakanlah hal yang baik-baik kepada manusia semuanya bukan saja Yahudi, Nasrani dan sebagainya, manusia siapapun dan siapapun yang mengajak kebaikan kita harus menjawabnya, meresponnya dengan kebaikan dan bahkan lebih dari itu.

Jadi, saya kira ini hadits, hadits ini memang sangat kontekstual. Konteks pada saat hubungan antara umat Islam di Madinah dengan orang-orang Yahudi yang sengaja ingin menjerumuskan umat Islam di sana dengan cara-cara yang kadang-kadang keji dan konspiratif yang mengganggu hubungan tersebut.

 

Interviewer:

Jadi, intinya kita ini anak-anak muda tidak boleh, Pak, ya memahami teks agama itu secara tekstual gitu, Pak ya, tapi kita juga harus mengetahui latar belakang historisnya dari kenapa ada teks itu, ya Pak.

 

Alwi Shihab:

Ya betul. Dari itu, kalau Al-Qur’an diberi judul Asbābun Nuzūl, sebab-sebab turunnya, kalau hadist Asbabul Wurud. Lahirnya hadits itu karena apa konteksnya. Jangan kita sepotong-sepotong!

Nah, kadang-kadang banyak di antara kita karena merasa tidak senang dari satu kelompok, dia lalu mencari hadits atau Qur’an yang digunakan pada masa perang atau pada masa konflik. Nah, itu tidak boleh. Kita harus menghindari hal itu.

 

Interviewer:

Nah, masalahnya kan sekarang banyak ustaz-ustaz populer misalnya, Pak ya, yang menggunakan trik-trik tersebut dan banyak juga yang termakan provokasi tersebut, Pak. Bagaimana langkah-langkah kita nih, Pak, untuk menyaring pendapat ulama mana yang bisa kita ambil rujukan atau ulama mana yang tidak gitu, Pak?

 

Alwi Shihab:

Ya, sebenarnya kalau kita… saya anjurkan supaya kalau membaca Qur’an, jangan hanya membaca Qur’an saja, tetapi usahakan membaca tafsir Al-Qur’an. Di dalam tafsir itu akan dijelaskan bagaimana ayat ini turun, kenapa ayat ini turun, apa arti daripada ayat ini.

Jadi, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menimbulkan ragam interpretasi. Sayyidina Ali mengatakan bahwa Al-Qur’an ini memiliki wajah yang berbeda. Artinya apa? Ulama yang terpengaruh oleh keadaan konteks kehidupannya bisa menjadi ulama yang keras, yang tidak senang dengan keadaannya, sehingga dia mencari cantolan dari hadits atau dari Al-Qur’an.

Kita di Indonesia ini alhamdulillah tidak pernah ada masalah dengan hubungan kita dengan kelompok agama lain, sehingga kita harus mencari ayat yang betul-betul menciptakan hubungan yang harmonis tadi, cari titik temu. Lalu, kita juga ada ayat yang mengatakan bahwa Ahlul kitab itu tidak semuanya sama. Sama juga orang Islam juga tidak semuanya sama, ada kelompok yang baik ada kelompok yang tidak baik. ISIS itu umat Islam yang tidak baik, membunuh orang dengan menggunakan agama.

Nah, di dalam Al-Qur’an juga Ahlul kitab, ada “laisụ sawā`ā, min ahlil-kitābi ummatung qā`imatuy”, ada kelompok yang konsisten “yatlụna āyātillāhi ānā`al-laili” yang senantiasa membaca, merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an dan mereka bersujud.

Di dalam ayat ini, akhir dari ayat ini disebutkan, “wa ulā`ika minaṣ-ṣāliḥīn”, mereka itu yang Ahlul kitab  yang beda ini adalah orang-orang yang saleh.

Jadi, kita tidak bisa menggenaralisir bahwa semua kelompok Yahudi itu salah, semua keliru, tetapi ada di antara mereka yang menurut Al-Qur’an, ini bukan menurut ahli tafsir tapi menurut Al-Qur’an, mereka dari ṣāliḥīn. Sāliḥīn itu kelompok yang baik yang masuk surga. Jadi, kita hanya bisa mencari indikasi-indikasi dari Al-Qur’an kira-kira Ahlul kitab ini tempatnya di mana.

Qur’an sudah mengatakan bahwa mereka tidak semuanya sama, ada yang baik ada yang tidak, ada yang… kalau kita ke Amerika coba pergi ke Lancaster. Lancaster itu daerah dekat Philadelphia, ada kelompok Kristen yang Puritan. Dia jangankan mau hidup sekuler tetapi hidup secara orang modern saja tidak mau, dia tetap naik kuda, dia tetap membaca ayat-ayat suci Injil dengan baik dan behubungan dengan orang dengan baik. Jadi, tidak bisa dipersamakan.

 

Interviewer:

Jadi intinya sebagai kaum muda kita tidak cukup menjadi pasif dalam belajar ya, Pak. Kita juga harus aktif tidak hanya membaca Al-Qur’an, tetapi juga beserta tafsir dan ilmu lainnya, Pak, ya.

 

Alwi Shihab:

Ya, betul. Jadi dari itu kita harus pandai-pandai memilah dan memilih tafsir Al-Qur’an dan tafsir hadits-hadits yang penuh dengan petunjuk untuk kemanusiaan. Jadi, Al-Qur’an mengatakan bahwa kitab Qur’an ini bukan saja “hudan lil muttaqin” tetapi juga “bayyinat” penjelasan-penjelasan dan “hudan lin nas” petunjuk bagi seluruh manusia. Jadi bukan saya orang Islam, tapi orang nonmuslim pun bisa mendapatkan petunjuk.

Sama halnya dengan Injil dan Taurat juga petunjuk bagi manusia. Dan kembali lagi bahwa kitab yang dari Tuhan ini banyak sekali, ada “ṣuḥufi ibrāhīma wa mụsā”, ada lembaran-lembaran kitab dari Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, selain Taurah, ada Zabur dan banyak yang tidak disampaikan di dalam Al-Qur’an.

 

Interviewer:

Bagaimana hukum menikah dengan Ahlul kitab, Pak? Apakah kita boleh menikah dengan mereka? Bagaimana dengan penjelasan mengenai pernikahan muslim dengan nonmuslim yang mutlak dilarang Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221 yang artinya “dan janganlah kamu menikah dengan wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walapun dia menarik hatimu”?