Kalu rasa malu tu pasti ade, minder, tertekan, tapi makmane ole tubo dak katek pilihan lain, nak ngurusi wong tue, nak negakke jurai dibetine, yang tambah berat lagi ole tubo ni urang dak katek nian. Ade rasa sedih jugelah. Segale rase ade gale tapi idak dinabeke ole nak mikirkan anak ni. Aman urang ngatake aku dikampi tu idak pule neman, biase bae mereka tu, mungkin juge ngerti amn kate-kate tekampi itu dak ilok diucapkan[1]. Terenyuh aku mendengar curahan hati Pak Jumaidi, salah satu pria ku temui di desa Lematang – Sumatera Selatan. Awalnya, tidak mudah bagiku mendekatinya. Sebab ia memiliki perasaan rendah diri dan mudah tersinggung bila ada yang bertanya tentang tradisi perkawinan Tekampi[2] yang dilakoninya. Jumaidi yang dulu dikenal sebagai pribadi yang ceria dan pekerja keras, kini berubah menjadi pria yang murung dan tak suka bergaul. Ia lebih suka menyendiri di gubuk kecilnya. Siti Julaiha merupakan wanita pertama yang ia cintai. Sejak kepulangan Jumaidi dari tanah Jawa, ia tak sabar ingin menikahi Julaiha. Tapi apalah daya, Jumaidi datang dari keluarga tak berada, sementara Julaiha berasal dari keluarga kaya dan terpandang di desa. Namun, keluarga Julaiha yang tak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan tak lantas menolak pinangan Jumaidi. Ada syarat yang diajukan. Jumaidi harus menjalani tradisi perkawinan Tekampi. Apa boleh buat, Jumaidi pun menerima syarat itu sangking cintanya pada Julaiha. Akhirnya, Jumaidi menikah dan semua biaya ditanggung oleh keluarga Julaiha. Dalam hitungan bulan saja, cinta yang dulu menggebu-gebu kini berubah menjadi sendu dan kehilangan rasa. Julaiha berubah sikap, ia mengambil alih kepemimpinan dalam keluarga. Ia yang menentukan semua keputusan dan Jumaidi harus menuruti semua perintahnya. Jumaidi tak dapat berbuat apa-apa atas sikap istrinya itu karena aturan adat yang diembannya. Itu sebabnya, masyarakat sering beranggapan bahwa laki-laki Kampi sama halnya dengan kerbau yang dicucuk buling, bubu diambin[3]. Kini Junaidi merasa dirinya sudah tidak berharga lagi di mata keluarga istrinya, termasuk di mata masyarakat. Nasib ini diterimanya. “Demi anak-anak saya bertahan”, ujarnya dengan wajah sendu. ——– [1] Kalau rasa malu itu ada, minder, tertekan, tapi bagaimana lagi kita tidak ada pilihan lain. Harus mengurus orangtua, harus meneruskan garis keturunan di keluarga perempuan. Hal yang membuat tambah berat lagi karena kita ini orang miskin, ada rasa sedih juga. Semua rasa ada, tapi tidak lagi saya rasakan karena mikirkan anak. Kalau orang menyinggung saya karena kampi tidak juga banyak. Mereka sebenarnya tidak peduli, atau mungkin juga mengerti kalau kata-kata kampi itu tidak baik untuk diucapkan. [2] Perkawinan Tekampi merupakan perkawainan dimana pihak perempuan memiliki kekuatan penuh untuk memberikan biaya perkawinan (mahar) kepada laki-laki yang dikampinya. Laki-laki hanya diminta menyiapkan mas kawin alakadarnya saja untuk syarat ijab kobul, sedangkan untuk biaya perkawinan dibebaskan. Setiap laki-laki yang melakukan kawin kampi terikat oleh perjanjian adat yang dilakukan ketika ia menikah dulu. Mereka tidak melanggarnya, karena memiliki kepercayaan apabila dilanggar maka mereka akan mengalami celaka atau kutukan dari leluhur. [3] Kerbau yang dicucuk hidungnya, kemanapun istri memerintah, ia harus mengikuti tanpa membantah sekalipun. Disadur dari : “Lanang Belaki” Kajian Sistem Afilasi Orang Lematang Pada Perkawinan Matrilokal, Ari Kurniawan (UI Depok, 2017) Foto : mensline