Belajar Toleransi Dari Gusdur
Leader's Talk bersama Inaya WahidKita semua punya proses masing-masing untuk menjadi manusia yang toleran.
transcript
Kalau Gus Dur itu, dulu sering banget bilang begini, “Tidak ada yang namanya orang jahat, adanya orang yang berproses menjadi baik.” Dan saya juga merasa, itu salah satu hal yang saya rasakan dalam berproses menjadi toleran. Jadi, enggak saya lahir terus ujuk-ujuk jadi toleran. Itu enggak. ada proses panjang di situ.
Nah, dulu saya juga enggak suka sama yang ini, enggak suka sama yang itu. Tapi, lama-lama saya belajar dari Bapak. Belajar paling simple aja, Bapak selalu menerima tamu siapa aja, dalam bentuk apapun, dengan cara yang setara, dengan cara yang sama. Semua sama-sama.
Begini, Bapak sama-sama terbuka untuk semua kalangan. Nah, dari situ saya baru belajar. Oh, sebenarnya enggak apa-apa ya, enggak apa-apa beda ya. Lalu, saya baca dialek-dialeknya Bapak, dialog-dialognya Bapak dengan tokoh-tokoh lain. Misalnya ketika Bapak ngomong satu ide dan yang lain misalnya tidak setuju, kemudian menimpali, terus kemudian mereka berargumen. Saya pikir enggak apa-apa ya, kalau kita beda pendapat. Baik-baik aja ya. Asal kita memang tetap bersepakat bahwa kita enggak setuju itu tidak apa-apa dan tetap menghormati.
Jadi, lama-lama kemudian saya belajar dari situ. Saya sampai detik ini juga belum semuanya, kayak seakan-akan sudah sangat toleran. Enggak juga, kadang-kadang kesel dengan kelompok-kelompok tertentu atau kadang-kadang misalnya lagi ngapain terus muncul prejudice-prejudice juga ada. Tapi, paling tidak sekarang saya sudah lebih sadar sehingga ketika itu muncul, saya yang kayak … “Eh, gila gue prejudice banget. “Eh, gile gue ini … banget, gue menghakimi banget.” Paling tidak kesadaran itu ada sehingga kita bisa bergeser lebih cepat.