Nyong ora ngira bisa duwe kabeh, iki kabeh amargo kadi sang pangeran Gusti Allah[1],” demikian penuturan Endang. Kini ia sudah memiliki rumah sendiri, hasil kerja kerasnya. Meskipun masih beralaskan semen, namun rumah beton itu sudah berdiri kokoh. Di usia 15 tahun Endang sudah memberanikan diri, melangkah keluar dari rumahnya di Comal – Pemalang untuk mempertaruhkan nasibnya di kota besar – Jakarta. Meskipun belum berpengalaman, ia nekat menjadi seorang baby sitter (pengasuh anak). Banyak suka dan duka yang telah Endang lewati. Bahkan, ia pernah disekap oleh majikannya sendiri; tidak dapat menguhubungi keluarga, gajinya ditahan berbulan-bulan. Tetapi itu tidak mematahkan semangatnya untuk meraih masa depan yang lebih baik. Usai menikah dengan Syaiful, ia dan suami berniat membeli sebidang tanah di samping rumah emak dari hasil ‘uang kondangan[2]’. “Yo, nyong tuku tanahnya ndiset. Kanggo mbangune, njalok rewangi potangan kadi sadulur, konco pêrêk, lan tonggo seng gelem mbantu[3].” Potangan merupakan salah satu kebiasaan masyarakat di desa Endang untuk menolong orang yang sedang membangun rumah. Tetangga, saudara, maupun teman dekat dapat memberikan potangan berupa bahan-bahan bangunan seperti : semen, batako, pasir, keramik, genteng, paralon, dsb. Si penerima potangan harus mencatat semua barang dan jumlah potangan yang diberikan para anggota yang terlibat. Kelak jika si pemberi potangan membutuhkan, si penerima wajib mengembalikan sejumlah yang diberikan dengan syarat harus diberitahukan sebulan sebelum barang yang dibutuhkan itu hendak dipakai. Tidaklah heran jika di desa Comal tak dijumpai satupun gubuk reyot, semua rumah terbuat dari beton. “Adat potangan iku sanget ngrewangi warga deso. Alhamdullilah warga kampong biso duwe umah layak, walaupun cilik asal anggo boto. Nyong karo bojo lego rasane. Saiki saben ba’da nek mudik, wis bali maring umahe dewe[4].” Rasa syukur dan bahagia tergambar jelas melalui senyuman Endang sore itu. Betullah yang dikatakan pendiri bangsa ini, “gotong royong adalah perjuangan bantu-membantu bersama. Keringat semua buat kebahagiaan semua.[5]” (Foto Ilustrasi: Celoteh Brebes Membangun) [1] Saya tidak menyangka bisa seperti ini, ini semua pemberian Allah. [2] Uang yang diberikan dalam amplop oleh tamu pada acara pernikahan. [3] Untuk membangunnya saya meminta bantuan dari saudara, teman dan tetangga dekat yang ingin membantu. [4] Kebiasaan menerima/memberi potangan sangat menolong warga desa. Alhamdullilah warga kampong bisa memiliki rumah yang layak, walaupun kecil asalkan beton. Sekarang saya dan suami merasa lega, karena setiap kali lebaran, kami mudik ke rumah kami sendiri. [5] Pidato Ir. Soekarno dalam siding BPUPKI tanggal 1 Juni 1945