Perkenalkan namaku Clara, aku anak pertama dari 3 bersaudara. Ayahku berasal dari Saparua – Maluku Tengah dan ibuku berasal dari Manado. Terlahir dalam budaya patrilineal, sudah otomatis aku akan membawa nama keluarga Ayah di belakang namaku. Clara Silahooy, itulah yang menjadi kebanggaanku ketika bertemu dengan sesama orang Ambon di tanah perantauan. Nama marga yang kami emban akan membuat kami akan merasa seperti saudara kandung, meskipun terlahir dari keluarga yang berbeda. Satu Gandong itulah sebutan kami bagi sesama orang Ambon di perantauan. Sebagai anak tertua, tentunya ayah senantiasa memberikan banyak petuah bagi anak-anaknya untuk hidup kami kelak. Satu petuah yang sering Ayah ucapkan sejak kami masih sangat kecil, yaitu Pela Gandong[1]. “Ingat nak, apa yang koe[2] rasa, saudaramu juga harus rasa. Kalau koe makan ikan, jangan lupa buang tulangnya. Kalau koe makan kacang, jangan lupa buang kulitnya.” Ayah sering mengingatkan petuah ini bahwa jika kelak aku merasa bahagia dikehidupan, jangan lupakan saudaramu. Meskipun kebahagiaan itu hanya sedikit yang kau rasakan. Sekarang ayah telah tiada. Petuah dan semangat Pela Gandong tetap kami jaga. Kami bertiga terus belajar untuk baku[3] sayang, baku mengerti, baku lia[4] satu deng lain. Bahkan di tengah-tengah konflik sekalipun, Pela Gandong mengingatkan kami bahwa kita ini satu. Apa yang Ale[5] rasa, Beta[6] pun rasa. Betapa manisnya pesan Pela Gandong ini, meskipun satu dan lain berbeda tapi kita tetap satu jua. [1] Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata “Pela” dan “Gandong”. Pela adalah suatu ikatan persatuan, sedangkan Gandong mempunyai arti saudara. Jadi Pela Gandong merupakan suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara. [2] Koe: kamu. [3] Baku: saling. [4] Lia: Lihat (logat Ambon) [5] Ale: kamu, Anda (logat Ambon) [6] Beta: Saya (logat Ambon)   Foto Ilustrasi: Cdns.Klimg.com