Anak : Pa, ini gambar apa? Ayah : Itu jalan menuju kehidupan abadi. Anak : Berarti itu surga? Tapi, mengapa banyak cabang ya? Ayah : Nak, Tuhan kita hanya satu. Jalan bercabang ini ibarat guide untuk kita bisa sampai ke sana, seperti kita guide-nya Yesus. Kalau mama Tja, Tjia Loen. Om Musa, guidenya Nabi Muhammad. Kalau orang Buddha, guidenya Sidharta Gautama, dll. Anak : Jadi kita semua sama kan? Ayah : Ya, karena Tuhan tidak pernah mengajarkan perbedaan, tapi Tuhan mengajarkan saling menerima keberagaman. Percakapan dengan ayahku ini baru dapat ku mengerti ketika aku harus kehilangan om terkasih yang meninggal di Dobo, dan kakakku yang harus menglami cacat seumur hidup. Pesan terakhir omku kepada keluarganya sebelum meninggal, “jangan dibalas.” Ayah ku pun berpesan kepada keluarga kami ketika kakakku harus meregang nyawa antara hidup dan mati juga begitu, “jangan dibalas, karena hak menghakimi bukan hak kita.” Kehilangan terbesar dalam kekayaan hidupku dan bahkan keluargaku terjadi ketika bencana sosial berlangsung sepanjang 1999 – 2004, dimana cerita manis Pela Gandong tidak laku lagi. Saat itu manusia dibutakan oleh keangkuhan, kefanatikan simbol agama yang mengalahkan keimanan sejati. Semua ini membuat keluarga besarku harus meninggalkan Ambon untuk kembali ke Banda, Maluku Tenggara bahkan ke Sulawesi Tenggara (Buton). Kerinduan itu makin terasa ketika memasuki bulan puasa. Tidak ada lagi silahturahmi ke Air Puteri, Belakang Kota, Poka dan Tulehu pada saat Idul Fitri dan tiada lagi keriangan saat Natal. Dalam kesedihan, aku kembali terngiang pesan ayah : “Kamu jangan pernah terjebak dengan simbol damai. Semua orang meneriakkan dan menjual perdamaian. Padahal damai itu tidak jauh. Dia tidak butuh diteriakkan, hanya butuh dihidupkan. Jangan mencari kedamaian di luar, karena letaknya ada di dalam diri kita. Setiap satu tarikan nafas ada syukur, ada berkat, ada mukjizat. Dan disitu ada damai.”       Sumber : Damai itu, Hanya Sekali Tarikan Nafas (Penulis, Sandra Lakembe) Foto Ilustrasi : tintatiwi.blogspot