Pagi itu aku tiba di Ciboleger, kampung yang berbatasan dengan kampung Kadugketug (Baduy Luar). Disinilah perjalananku dimulai untuk mengeksplor ekowisata masyarakat Baduy. Pemandangan di tempat ini bisa dikatakan masih sangat virgin. Udara yang segar, kicauan burung, gesekan ranting yang diterpa angin, dan suara gemericik air yang mengaliri sungai … ah, indah betul!
 
Masyarakat Baduy sangat menjaga kelestariaan lingkungan. Alam bisa diibaratkan sebagai teman bagi mereka. “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang di rusak (Gunung tak boleh diratakan, lembah tak boleh dirusak),” demikian penggalan Pikukuh[1], aturan adat, yang mengisyaratkan bahwa masyarakat Baduy mengupayakan keseimbangan dari lingkungan hidup mereka.
 
Dalam perjalanan ini, aku ditemani oleh seorang Jaro[2] yang akan memandu menyusuri kampung baduy luar. Namanya Ujang. Sebelum perjalanan dimulai, dengan ramah ia mengingatkan “sererea ka ulinan di dieu mah bebas we, asal ulah ngalakukeun kalakuan teu paruruguh. Teu aya hargaan ka dieu mah, datang nya datang wae. (Siapapun boleh datang ke sini, asal tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Tidak ada biaya yang harus diberikan, kalau mau datang … ya, datang saja).
 
Menjelang malam, saya pun bertanya-tanya mengapa tidak ada cahaya sedikit pun yang menerangi pemukiman ini? Mengapa tidak ada aliran listrik? Mengapa pemerintah tidak memperhatikan nasib mereka? Dari penjelasan Ujang, saya pun menyadari bahwa masyarakat Baduy sendiri memang belum dapat mengadopsi infrastruktur listrik. Hal ini berkaitan dengan pikukuh yang mereka pegang, “lojor teu menunang dipotong, pendek teu meunang disambung” (Segala sesuatu telah memiliki aturannya tersendiri, jika sesuatu tersebut menyalahi aturan, maka tak ubahnya sesuatu itu tidak pernah ada).
 
Bukan berarti masyarakat Baduy menolak perkembangan teknologi. Sebagai masyarakat adat, mereka masih bisa menerima keberadaan “teknologi penerangan” yang memanfaatkan matahari sebagai sumber energi. Suku Baduy memang memiliki keunikannya tersendiri, pikukuh yang ditaati masyarakat lokal senantiasa menjadikan mereka hidup berdampingan dengan budaya dan alam secara harmonis.
 
[1] Aturan adat dalam masyarakat Baduy yang memiliki nilai-nilai ekologis di dalamnya.
 
[2] Orang yang diberi tugas secara khusus untuk menemani tamu/wisatawan yang berkunjung ke Baduy.
 
Disadur dari : Ekowisata Baduy, Ahmad Zaenudin (Universitas Indonesia, Antropologi, 2015)
 
Foto Ilustrasi : wisatalebak.blogspot.com