Merah Putih Memanggil

Nov 15, 2019

CARA LAIN MENDENGARKAN:

ESTER JUSUF

Aktivis sosial dan hukum. Pada tahun 2002, ia menerima Yap Thiam Hien Award, penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Saat ini beliau aktif dalam mengupayakan literasi di Indonesia melalui Yayasan Rebung Cendani.

TRANSKRIP

“Pokoknya, cari rumah dengan pagar hitam dan ada bendara Merah Putih di depannya, di Komplek Palad”, begitu kata seorang ibu dari Cileungsi pada saya. Suaranya di telepon terputus-putus.  Berbekal informasi yang terbatas itu kami mencari alamat rumahnya.  Mencari alamat Wisma Palad tidak sulit. Tapi mencari rumah berpagar hitam dengan bendara Merah Putih sungguh bukan perkara mudah.

Saat itu 17 Agustus. Jadi bendera Merah Putih berkibar di mana-mana di sepanjang jalan dari Margonda, Raya, Depok sampai ke Cileungsi, sampai ke Wisma Palad. Mungkin ada ribuan bendera besar dan kecil yang berkibar-kibar baik di jalan utama maupun gang-gang sempit di perkampungan.  Sungguh pencarian yang tidak mudah. Panas terik, jalan sempit, debu di mana-mana-mana, banyak keriuhan kegiatan 17-an.

Dan… akhirnya rumah sang Ibu berhasil kami temukan. Sekitar 500 meter di luar komplek Palad. Bendera Merah Putih berkibar di tengah kebun di depan warungnya yang mungil.  Ah… saya tak bisa marah saat jumpa dengannya.  Ibu ini sangat gembira berjumpa dengan kami. Tak ada niat membuat kami setengah mati berputar-putar keliling gang dan perkampungan di Cileungsi. Kemampuan komunikasinya memang terbatas.  Ia tak lulus SD. Seingat saya hanya kelas 2 SD. Saya ingat bagaimana ia bersusah payah menulis namanya pada formulir yang saya ajukan. Dia tak tahu alamat tempat tinggalnya. RT,RW, Kelurahan, nama jalan, — semua dia tak tahu. Tapi dia sangat bangga pada Bendera Merah Putih yang berkibar megah di depan warung mungilnya. “Pokoknya, cari saja rumah yang ada Bendera Merah Putih-nya” ujarnya lagi saat kami berpamitan.

Saya jadi ingat wajah-wajah riang anak-anak  kecil, remaja, pemuda dan orang-orang tua di sepanjang jalan di perkampungan. Teriakan riuh menyoraki peserta lomba panjat pinang,  bocah-bocah berlarian kian kemari di sekitar lomba makan krupuk dan balap karung serta sejumlah ibu-ibu yang sibuk mengatur penganan untuk para peserta. Saya tak tahu persis bagaimana tiap orang memaknai Bendera Merah Putih. Tapi yang terlihat nyata, semua gembira, semua menerima dan ada kebanggaan mengibarkan bendera Merah Putih.

Kerap saya diskusi serius dengan sejumlah politisi. Ada kata yang sering saya dengar dari para politisi ini: “Saya Merah Putih”. Biasanya dengan nada bangga sambil menepuk dada mereka.

Pernah juga saya bicara dengan Opung J. Purba, seorang veteran. Ia adalah opung dari putra-putra saya. Beliau tak banyak berkisah tentang perjuangannya di masa perang kemerdekaan. Kakinya cacat karena tertembak musuh. Tak bisa pulih, terlalu lama dibiarkan tanpa pengobatan di tengah hutan saat gerilya. Ketika saya  minta bercerita beliau hanya berujar: “Pokoknya kita maju terus! Yang penting Merah Putih berkibar!”.

 

Merah Putih. Itu jadi kebanggaan bagi banyak orang. Bukan hanya bendera yang dibuat warna merah putih. Taplak meja, sampul buku, cat warna dinding. Warna merah putih jadi jiwa banyak orang. Jendral Purnawirawan Teddy Jusuf  bahkan ingin menghias makam para korban Tragedi Kemanusiaan Mei 98 dengan bunga warna Merah dan Putih. “Kita bangsa Indonesia, hati kita Merah Putih”, tegasnya.

Saya membaca kisah Ibu Fatmawati tentang Bendera Merah Putih.  Waktu itu  Oktober  1944 ada seorang Perwira Jepang datang. Namanya Chairul Basri. Dia membawa kain 2 blok. Satu blok warna merah dan  satu blok warna putih. Kain itu berasal dari Hitoshi Shimizu, Kepala Sendenbu (Departemen Propaganda Jepang). Kain itu berasal dari gudang Jepang di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat, di depan bekas bioskop Capitol. Ibu Fatmawati lalu menjahit kain itu menjadi sebuah bendera. Sang Saka Merah Putih. Bendera yang pertama kali dikibarkan menandai bangkitnya kedaulatan baru: Bangsa Indonesia.

Aturan tentang Bendera Negara Indonesia diatur dalam UUD 1945 pasal 36C. Selain itu ada pengaturan mengenai ukuran bendera, penggunaan, penempatan, hingga aturan pidana terhadap pihak yang menghina Bendera Negara, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Undang-Undang itu mengatur bahwa setiap orang dilarang:

  1. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;
  2. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
  3. mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
  4. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
  5. memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.

Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial; dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam; mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara  dan orang yang dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat merendahkan kehormatan Bendera Negara.

Aturan hukum ini sepertinya belum tersosialisasi untuk masyarakat luas. Sebagian besar masyarakat tampaknya hanya merasa bangga dan merasa memiliki Bendera Merah Putih. Banyak orang mungkin melanggar aturan ini tanpa paham bahwa mereka melanggar hukum. Antusiasnya mereka dan rasa bangga yang membuat mereka sangat suka memakai Bendera Merah Putih atau warna merah putih.

Bukan hanya aturan hukum, sepertinya banyak orang juga tak paham sejarah Bendera Merah Putih. Menurut data dari kitab Pararaton, bendera Merah Putih telah ribuan tahun berkibar di nusantara. Tahun 1292 saat pasukan Jayakatwang berperang bertempur melawan Kerajaan Kertanegara, Singosari  Bendera Merah Putih telah berkibar.

Bendera Merah Putih  telah dikibarkan pada upacara-upacara Kerajaan Raja Hayam Wuruk pada tahun 1350  sampai 1389. Ini tercatat pada literatur Negarakertagama karangan Mpu Prapanca. Warna Merah Putih dianggap sebagai warna yang mulia di Kerajaan Majapahit.

Di Sumatera Utara, di tanah Batak, di Aceh dan di Pulau Jawa bendera Merah Putih  telah dikibarkan  rakyat saat bertempur melawan Belanda. Bendera Merah Putih secara resmi diperkenalkan sebagai bendera bangsa Indonesia pada 28 Oktober 1928 saat Kongres Sumpah Pemuda dan disahkan pada pada sidang PPKI 18 Agustus 1945.

Namun, walau sebagian besar bangsa kita bangga dengan Bendera Merah Putih, kita kerap melihat banyak bendera lain berkibar di Indonesia. Ada bendera OPM, bendera GAM, bendera Palestina, bendera yang mirip bendera Israel atau bendera-bendera lainnya.

Ada aturan hukum tentang ini, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1958 tentang Penggunaan Bendera Kebangsaan Asing. Isinya antara lain bahwa Warga Negara Asing dapat menggunakan bendera kebangsaannya pada hari kebangsaan dan hari berkabung kebangsaan negaranya atau  saat kepala negara, wakil kepala negara atau perdana menteri negaranya berkunjung di Indonesia, di tempat-tempat yang didatangi. Pengibarannya hanya  di rumah,  kantor dan halaman, dan korps diplomatik. 

Warga Negara Indonesia boleh mengibarkan bendera negara asing hanya atas anjuran atau izin Kepala Daerah, misal untuk pertemuan internasional. Kepala Daerah dapat melarang penggunaan bendera negara asing jika dapat menyebabkan  gangguan ketertiban atau keamanan umum.  Nah, bagaimana jika Kepala Daerah yang justru melanggar aturan ini? Yang bersangkutan dikategorikan sama dengan pelaku kejahatan.

Mengapa aturan tentang Bendera Negara begitu ketat? Ini terkait tujuan. Bendera Negara dapat memperkuat integrasi bangsa; menjaga kehormatan dan kedaulatan bangsa. Jadi mesti tertib, pasti, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan.