Menelusuri Lika Liku Ketuhanan Yang Maha Esa

May 11, 2020

CARA LAIN MENDENGARKAN:

Transkrip

Kawan-kawan,

Saya senang memperhatikan diskusi tentang agama atau kepercayaan. Saya lihat kemajuan teknologi, keluasan wawasan dan latar belakang pendidikan seseorang itu sangat mempengaruhi pemikiran seseorang tentang konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Banyak orang, terutama generasi muda yang merasa sudah muak dengan hal-hal terkait relijiusitas. Sebaliknya ada juga yang memilih tak mau memikirkan. Kalau ditanya, jawabannya biasanya “Tentu saya percaya Tuhan”, dilanjutkan penjelasan tentang agama apa yang dianut diri dan keluarganya secara turun temurun.

Banyak juga orang yang memberi jawaban sesuka hatinya. Pernah suatu sore saya jumpa dengan seorang siswi sekolah menengah atas. Kami jumpa di sebuah café di Jakarta. “Saya gak percaya agama. Saya Agnostik”, katanya datar. Rupanya ia sangat jengkel dengan para guru di sekolahnya. Di matanya mereka sangat munafik, mulutnya berbisa selalu menjelekkan agama lain dan perilaku tak menghargai para siswa. Ia kerap melawan guru-gurunya, orangtuanya jadi langganan dipanggil menghadap ke sekolah. Siswi ini sangat cerdas dan banyak prestasi. Ia menguasai banyak bahasa dan membaca banyak buku. Sehari-hari ia ketat menjalani ritual agamanya.

Wah… saya jadi ingat pandangan sempit beberapa kenalan. Mereka berpendapa bahwa pokoknya orang yang tak percaya agama itu Iblis. Saya tak yakin mereka paham apa itu agnostik. Mereka mungkin tak ingin tahu juga apa itu agnostik.

Wah… saya jadi membayangkan jika mereka jumpa siswi ini, apa ya reaksinya? Saya yakin mereka pun tak ingin tahu apakah siswi itu sungguh tak percaya agama atau ungkapan ‘agnostik’ itu karena ia sedang kesal saja. Emosi, bicara tanpa sungguh-sungguh tahu apa yang dikatakannya. Namanya juga remaja, masih mencari jati diri.

Saya pernah tanya seorang pemuda, ini dia seorang sarjana di bidang agama. “fresh graduate”. “Dek, apa kamu tahu apa itu agnostik?”, tanya saya.

Pemuda ini berpikir panjang. Dahinya berkerut-kerut. Dia malu jika tidak tahu jawaban pertanyaan saya. Jadi dia berusaha mengingat materi kuliahnya dulu. Tapi masalahnya … dia memang tak tahu. Mungkin lupa. Jadilah jawabannya ngalor ngidul tak jelas.

Seorang sarjana bidang agama, tidak tahu. Apalagi sejumlah besar orang yang pendidikan lebih rendah, tak suka membaca, tak punya akses pada literatur dan informasi. … itu baru satu istilah saja, agnostik.

Kawan-kawan,

saya lihat ada hal yang penting.

Kita bisa berbagi pengetahuan kepada masyarakat luas.

Kita punya akses Kita punya kemampuan lebih dalam membaca dan menganalisis data Kita bisa berbagi informasi dan pengetahuan pada masyarakat.

Kita bisa tuliskan kembali sejarah tentang agama, Kita bisa paparkan tentang kepercayaan-kepercayaan yang ada di Indonesia. Ini sangat berguna. Tidak banyak literatur tentang kepercayaan-kepercayaan yang ada di Indonesia.

Saya jadi ingat pengalaman di Jawa Timur, daerah Blitar. Waktu itu saya bertamu di rumah warga kampung. Saya menginap beberapa hari di kampung itu. Saya amati di rumah yang saya tempati ada beberapa benda yang tampak dihormati. Berbagai benda yang dibungku kain dan diletakkan di bagian atas rumah. Sewaktu hendak pulang meninggalkan kampung itu, pemilik rumah memberi pesan:”Nanti kalau keluar rumah, jangan pernah menengok ke belakang, kalau lewat laut, jangan turun dan main air”. Saya mengiyakan nasehatnya. Saya tahu pemilik rumah memberi nasehat pada saya dengan itikad baik, sesuai dengan apa yang ia percayai. Sehari-hari ia adalah penganut salah satu agama resmi yang diakui negara. Tapi dalam imannya ada hal-hal lain juga yang dipercayai. Tampaknya penduduk seisi kampung itu juga sama dengan dia. Mereka penganut agama sekaligus percaya pada sosok lain yang sangat berkuasa dalam hidup mereka.

Kawan-kawan kita lanjut ya,

Apa kalian tahu, ada berapa agama dan kepercayaan di dunia? Apa bisa sebutkan?

Banyak sekali. Ribuan. Ada yang memperkirakan sekitar 4200 agama dan kepercayaan di dunia. Agama atau kepercayaan ini kemudian dikategorikan menjadi 20 besar: Kristen; Islam; sekular/agnostic/atheis; Hindu, Budha; Kepercayaan tradisi China, Primal Indigenous; tradisi Afrika dan diaspora; Sikhism; Juche; Spiritism; Judaism; Bahai; Jainism; Shirito; Cao Dai; Zoraostrianism; Tenrikyo; Neo Paganism; dan Unitarian Universalism.

Di Indonesia hanya diakui 6 agama. Ada ratusan kepercayaan yang diterima namun belum diakui sebagai agama. Keragaman ini memperkaya kita. Namun juga banyak hal seharusnya dibicarakan terkait kehidupan relijiusitas dalam masyarakat.

Masih banyak Warga Negara Indonesia yang mengalami pengucilan, yang kehilangan hak, mengalami kekerasan atau tindak diskriminasi lainnya karena agama atau kepercayaannya. Masih banyak juga yang sewenang-wenang memaksakan agama atau kepercayaannya.

Saya pernah dapat curhatan 5 orang yang tidak mendapat harta waris karena sang ayah berpindah agama. Ayahnya berpendapat jika isteri dan anak-anaknya tak mau mengikuti agamanya yang baru, maka mereka bukan lagi isteri dan anak-anaknya. Sang ayah punya posisi yang baik secara ekonomi. Karena isteri menolak pindah agama, sang ayah memilih meninggalkannya dan kawin lagi. Isteri pertama dan anak-anaknya tak pernah dinafkahi dan dianggap tak berhak mewaris. Wah… sedih ya… Urusan agama jadi memecah rumah tangga, jadi menyebabkan anak-anak yang tak mengerti apa-apa juga jadi kena imbasnya.

Apa Kawan-kawan punya cerita tentang agama atau kepercayaan? Jika ada, share dong pengetahuan atau pengalamannya.

===

Kita lanjut ya

Saya menyaksikan banyak diskusi tentang konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Biasanya nih… jika diskusi di kelompok yang homogen, yang agama atau kepercayaannya sama, wah dahsyat! Bisa sangat sengit dan berani. Terutama saat membahas kelompok lain yang dianggap pesaing atau bidat. Bisa detil banget menguliti kekeliruan-kekeliruan dari pesaingnya.

Ini biasanya jadi runyam kalau ada yang memposting pikiran-pikirannya di media sosial. Lupa bahwa namanya juga media sosial, banyak orang yang bisa ikut melihat, banyak juga yang bisa meng-capture dan menyebarluaskan. Jadilah bibit-bibit ketidaksukaan, perpecahan bangsa tumbuh karena sikap yang tak bijak.

Padahal nih, biasanya nih… sikapnya akan sangat berbeda kalau tatap muka, langsung jumpa --- membahas konsep Ketuhanan Yang Maha Esa bersama kelompok yang heterogen, yang beragam agama atau kepercayaan. Sikap jadi sopan, halus, bahkan memuji-muji agama atau kepercayaan lainnya.

Hmm…

Sopan santun bagus sekali. Idealnya juga disertai keterbukaan. Itu jalan membahas persoalan tentang Sila Pertama, musyawarah untuk mencapai mufakat. Namanya musyawarah, yang diutamakan adalah mencari kebaikan buat semua pihak, kontekstual, menjaga perasaan dan keseimbangan.

Menurut saya, hidup beriman dalam Negara Indonesia itu bukan sekedar soal ritual agama. Ritual itu penting. Tapi lebih penting bagaimana iman kita sebagai Warga Negara Indonesia, menggerakkan kita untuk rajin berbuat baik, berani melawan ketidakadilan, memperjuangkan hak-hak orang yang lemah, membuat masyarakat jadi sejahtera dan cerdas.

Iman seharusnya berdampak untuk kebaikan umat manusia, bukan untuk diri sendiri atau orang-orang yang seiman saja.

Saat diskusi tentang topik Ketuhanan Yang Maha Esa, kita mesti membedakan antara ranah privat dengan ranah publik. Antara sedang dalam kelompok yang seiman, seagama, satu kepercayaan atau tidak.

Dalam kelompok yang homogen, segala hal terkait benar salah secara iman pribadi atau kelompok sah-sah saja. Namun demikian saat membahas ajaran atau perilaku kelompok yang berbeda, jangan lupa: ada koridor hukum publik yang membatasi. Jangan jadi menabrak hukum pidana atau penistaan agama atau kepercayaan orang lain. Ruang privat bisa berubah jadi ruang publik.

Misalnya tindak perekaman suara atau film dan menyebarkannya di media sosial. Tindakan dilakukan di ruang milik kelompok. Namun begitu dipublikasi dalam media apa pun, apa yang dibahas jadi masuk ranah publik. Masuk ranah publik artinya siap dengan segala reaksi, baik ketidaksukaan maupun tuntutan hukum.

Jadi, perhatikan apa saja yang baik dipublikasi untuk publik. Ingat ya, sesama kita, bangsa kita, itu sangat beragam. Agama, kepercayaan, budaya, tingkat ekonomi dan kepentingannya itu sangat berbeda.

Kawan-kawan, ...

Persoalan terkait sila pertama ini memang masih sensitif untuk banyak orang. Tapi menurut saya sih, kita tetap harus bahas lho.

Bagaimana mungkin kita jadi bangsa yang kuat, kalau sebetulnya dasarnya rapuh? Penerimaan dan dukungan satu sama lain hanya basa basi? Kalau kita bahas, kita akan jadi saling ngerti. Kalau itikad kita baik, saling menghormati, saya yakin pengertian yang tumbuh itu justru akan memperkuat relasi. Bisa mencegah konflik dan kesalahpahaman.

Saya pernah punya pengalaman dengan anak-anak di daerah Jakarta Selatan.

Ada 5 siswa kelas IV dari sebuah Sekolah Dasar. Mereka polos dan ringan saja membahas tentang Pancasila. Namanya juga anak-anak ya... Anak-anak sepertinya hidup tanpa banyak sekat dan prasangka buruk.

Pertanyaan mereka, sebenernya nih... Tuhan itu apa memang esa, cuma ada 1 di Indonesia? Anak-anak itu berpandangan.

Salah satu anak menjawab cepat dengan suara keras:”Lah iyalah, sudah pasti cuma ada 1 Tuhan. Namanya juga Ketuhanan Yang Maha Esa!” Tiga temannya membenarkan begitu saja.

Satu anak keningnya berkerut. Lalu anak ini komentar begini:”Jadi Tuhan di agama Katholik itu sama dengan Tuhan di agama Islam dan Budha?”

Kelima anak itu jadi berkerut bersama memikirkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang mendadak terlontar begitu saja, yang mereka tak pernah pikirkan sebelumnya.

Satu anak menjawab:”Kayaknya sama sih”. Nadanya terdengar ragu. Anak ini rupanya ingat gurunya di sekolah bilang bahwa Tuhan hanya ada 1, hanya namanya beda-beda. Ajarannya walau berbeda-beda tapi semuanya sama, semua tentang kebaikan.

Satu anak yang ragu-ragu akhirnya bersuara:”Gw rasa sih gak sama. Namanya aja lain-lain.” Mereka lalu membahas nama-nama Tuhan yang mereka tahu. Saya sesekali nimbrung ikut diskusi. Mereka juga membahas sedikit tentang sosok-sosok lain yang disembah oleh sebagian suku-suku di Indonesia.

Satu anak mendadak berkeras untuk tidak usah membahas sila itu. “Pokoknya Tuhan itu esa, gitu aja!”, katanya. Namun ia tak melarang yang lainnya bicara, ia hanya tampak semakin ragu saat teman-temannya membahas agak detil.

Jika Tuhan itu satu, mengapa namanya berbeda-beda, mengapa ajaran agama-agama itu juga banyak berbeda. Dari cara ritual ibadah, sejarah agama, larangan dan perintah-perintah dalam ajaran agama atau kepercayaan itu jelas banyak perbedaan.

Diskusi anak-anak itu selesai tanpa ada kesimpulan. Kelihatannya mereka yakin bahwa Tuhan di Indonesia memang tidak hanya satu, Tuhan masing-masing agama dan kepercayaan berbeda. Tapi ya sudahlah , yang penting saling menghormati.

Anak-anak itu bukan ahli agama, kepercayaan, keyakinan atau ideologi. Mereka polos saja, bebas komentar ini itu. Tapi anak-anak pun merasakan persoalan bangsa kita tentang sila pertama.

Kesadaran bahwa ada persoalan ini penting. Persoalan mesti dicarikan solusi. Persoalan terkait ajaran agama atau kepercayaan, radikalisme, perasaan tidak adil, kekerasan atas nama ajaran agama, ini tidak mudah. Kita tak dapat sepenuhnya berharap Negara menyelesaikan semua persoalan dengan aturan hukum atau kebijakan. Kita pun mesti berperan menjaga perilaku masing-masing, menghormati yang berbeda dan mendorong penegakan hukum jika ada yang sewenang-wenang. ***

ESTER JUSUF

Aktivis sosial dan hukum. Pada tahun 2002, ia menerima Yap Thiam Hien Award, penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Saat ini beliau aktif dalam mengupayakan literasi di Indonesia melalui Yayasan Rebung Cendani.