Tantangan Pluralitas Masyarakat Indonesia

Nov 27, 2019

CARA LAIN MENDENGARKAN:

ESTER JUSUF

Aktivis sosial dan hukum. Pada tahun 2002, ia menerima Yap Thiam Hien Award, penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Saat ini beliau aktif dalam mengupayakan literasi di Indonesia melalui Yayasan Rebung Cendani.

TRANSKRIP

Myron Weiner, pakar Ilmu Politik Amerika berpendapat bahwa integrasi  politik adalah  penyatuan masyarakat dengan sistem politik. Menurut Weiner integrasi politik terdiri dari integrasi budaya, integrasi wilayah, integrasi nilai; integrasi elit dan massa, serta integrasi perilaku.  Biar fokus kita kali ini hanya membahas integrasi budaya.

Budaya, kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat. Kebudayaan Nasional Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi antar kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Itu adalah definisi  kebudayaan menurut Undang Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan

Integrasi budaya, atau  kerap disebut integrasi kultur adalah proses penyatuan berbagai kelompok budaya. Program integrasi budaya biasanya muncul dalam bentuk kegiatan seni atau formalitas yang simbolik. Tampilan tari-tarian aneka suku, pameran produk khas dari tiap daerah, upacara adat dan kegiatan semacam itu. Budaya Indonesia seperti identik dengan batik, rendang, songket, Bali, Malioboro, dodol… segala sesuatu yang terkait pariwisata. Semua yang enak, semua yang indah, semua yang cantik. Pendeknya ini adalah penonjolan semua hal positif dan ekonomis yang ada di Indonesia.

Namun kita tak dapat tutup mata pada pertentangan nilai antar budaya. Korbannya banyak, orang yang terpaksa menerima budaya yang tak disukainya pun banyak. Integrasi budaya ini ibarat banyak titik api dalam sekam. Membicarakan masalah ini pun orang tidak suka. Namun ada kesadaran bahwa ada masalah intregrasi budaya.

Orang masih terbiasa menandai orang lain berdasar suku, etnis, budaya, agama atau kepercayaannnya. Fenomena cluster, pengelompokan dengan yang sama dan penolakan pada yang berbeda terlihat jelas, apalagi dalam ekonomi. Ada banyak jaringan dagang yang didasari persamaan agama, ras, etnis atau golongan. Kita mudah mendeteksi ooo… ini tempat penjual spare part mobil dari kelompok Minang,  ini dari kelompok Tionghoa. Tiap anggota kelompok saling membela. Kerap dengan meniadakan kelompok yang berbeda.

Di lapangan, ikatan etnisitas kuat sekali. Seperti ada aturan tidak tertulis tentang pembagian lahan usaha. Lahan parkir dan  debt collector pun ada penguasaan berdasarkan etnisitas. Juga agama. Berulangkali terdengar kasus di mana orang ditolak untuk menyewa rumah karena agamanya tidak sesuai dengan pemilik rumah dan komunitasnya. Sekarang lebih tersamar praktek-praktek semacam ini, namun sebetulnya tak ada yang berubah. Pemilik rumah biasanya tak menjelaskan kepada calon penyewa alasan sesungguhnya menolak. Alasan sebenarnya mungkin perbedaan agama, tapi yang disampaikan adalah “oh …sudah tersewa, sudah ada yang DP”.

Di zaman modern seperti ini saya masih kerap mendengar curhatan teman yang patah hati karena masalah SARA. ”Mbak, aku gak mungkin menentang orangtua. Wah… orangtuaku masih ketat banget megang bibit bobot bebet. Agama mesti sama, suku mesti sama”.

Saya jadi ingat pengalaman seorang suku Dayak yang jatuh hati pada seorang perempuan Tionghoa. Segala sesuatu awalnya tampak ideal di mata pemuda ini. Sampai satu hari ia mendengar  bahwa  nenek buyut perempuan Tionghoa ini ternyata seorang Madura. Masih garis ke 4. Kerumitan perbedaan nilai budaya jelas terbentang di depan mata.

Guru Besar Universitas Diponegro, Djuliati Suroyo  menyampaikan bahwa integrasi nasional itu mencerminkan proses persatuan orang-orang dari berbagai wilayah yang berbeda, atau punya berbagai perbedaan. Perbedaan ini beragam hal: etnis, sosial budaya, ekonomi.  Proses penyatuan itu tujuannya agar semua orang itu menjadi satu bangsa (nation).

Proses  integrasi nasional terjadi karena pengalaman sejarah dan politik yang relatif sama. Ini masalah baru. Pengalaman sejarah tiap orang berbeda. Saya pernah mewawancarai seorang nenek di Kabupaten Bogor. Sulit sekali komunikasi karena gap bahasa. Seperti kebanyakan perempuan usia lansut di desanya, mereka tak bisa berbahasa Indonesia. Bisa, sangat sedikit.  Topik wawancara saya adalah sejarah desanya. Nenek ini berkisah  bahwa sejarah desanya itu dimulai dari pohon kapuk yang tak pernah mati dan tapi tak berdaun. Desa itu lahir ditandai dengan adanya 2 batu besar di sungai. Wah wah… saya rasa tidak nyambung saat ia bicara tentang pohon kapuk dan batu kali. Begitu juga kisah-kisah lanjutannya.

Kisah yang masih menempel di  sejarah Indonesia adalah si nenek ini mengalami jaman Jepang,  Belanda, Orde Lama dan DI TII. Namun pengalaman itu sebatas dari mendengar saja. Nenek ini, mulai dari lahir ke bumi — sampai usia lanjut, tak pernah keluar dari desanya, tak pernah melihat orang Jepang atau Belanda, tak pernah juga berurusan dengan pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, ia tak pernah juga jumpa dengan DI TII. Kisah lain semuanya sulit saya integrasikan ke sejarah bangsa. Hmmm… realitanya Nenek itu adalah orang yang ditunjuk oleh warga sebagai orang yang dihormati dan paling tahu.

Memang masalah budaya ini jika dibedah akan menimbulkan banyak masalah baru. Pada budaya Jawa ada tradisi slametan, atau ‘pesta komunal’. Tujuan slametan adalah hilangnya perasaan agresif dan gangguan emosional, slamet, tidak ada apa-apa yang terjadi pada siapapun.  Biasanya slametan ini dihadiri oleh semua orang dalam komunitas, apa pun agamanya atau kepercayaannya.

Kelompok abangan akan menerima kelompok santri tanpa membahas perbedaan krusial antara mereka. Kelompok agama selain Islam pun biasanya dengan senang hati hadir dalam slametan, ikut serta dalam kegiatan doa dan prosesual lainnya. Fanatisme seperti langsung meleleh dengan budaya itu. Orang yang fanatik dianggap ‘durung Jawa’.

Proses integrasi nasional, jika mau berhasil sampai ke akarnya, mesti berani menggali masalah budaya juga sampai ke akarnya. Sayangnya sampai sekarang perlindungan pada para ilmuwan, mediator atau para pekerja sosial masih terbatas. Seorang dosen saya dulu berujar pada mahasiswa: ”Pikir dulu resiko sebelum mulai riset”. Ia mengajak kami berpikir  bagaimana jika kesimpulan riset ternyata ada masalah dengan budaya atau agama tertentu yang diteliti, sanggupkah menghadapi ancaman kekerasan fisik atau tuntutan hukum pidana dan perdata?  Ini jadi masalah klasik. Apalagi kalau data riset berdasar penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif. Informan atau saksi kunci sering tak mau diungkap jati dirinya. Artinya jika ada masalah hukum sudah terprediksi bahwa para pemberi informasi itu akan menolak untuk bersaksi baik di kepolisian, kejaksaan atau pengadilan.

Nah, beda lagi jika kita melihat generasi anak-anak kita sekarang. Mereka kelihatan tak tertarik sama sekali dengan hal-hal yang dianggap tradisional atau masa lalu. Anak-anak lebih fasih bicara Bomba Legend, Crayon Sinchan, Marvel atau Final Fantasy. Kisah Majapahit, Hayam Wuruk,  Cut Nya Dien, Arjuna, Semar, Sengkuni itu sepertinya tak terkait sama sekali dengan pemikiran anak-anak itu. Pahlawan nasional yang masih agak dekat mungkin hanyalah RA Kartini, itu pun dengan pemaknaan yang sangat direduksi menjadi sebatas acara berpakaian tradisional saja. Konteks perjuangan RA Kartini atau pemikiran-pemikirannya sepertinya belum menjadi bagian integral dalam pemikiran dan perilaku anak.

Kondisi ini jauh dari ideal untuk proses integrasi bangsa.  Jalan untuk mempercepat proses integrasi adalah meningkatkan kualitas pendidikan dan literasi anak dan masyarakat. Mereka semua harus paham wawasan nusantara, yaitu cara pandang bangsa Indonesia tentang dirinya, Anak dan masyarakat harus terbiasa banyak menggali informasi tentang setiap budaya yang ada di Indonesia, bagaimana nilai-nilai budaya terbentuk dalam keseharian masyarakat. Bagaimana pun tak mungkin menyelesaikan masalah  jika tak tahu apa itu masalahnya. Tak mungkin proses integrasi yang sejati terjadi jika kita menyembunyikan semua masalah di balik karpet. ***