Ingin Tinggal di Luar Negeri

Nov 19, 2019

CARA LAIN MENDENGARKAN:

ESTER JUSUF

Aktivis sosial dan hukum. Pada tahun 2002, ia menerima Yap Thiam Hien Award, penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Saat ini beliau aktif dalam mengupayakan literasi di Indonesia melalui Yayasan Rebung Cendani.

TRANSKRIP

“Bu, kalau anak saya – enggak banget deh sekolah di Negeri”, ujar salah satu orangtua calon murid saya. “Pokoknya nih, di keluarga besar saya,  sama: semua kerja keras di Indonesia supaya bisa kirim anak untuk selamanya hidup di luar negeri”, katanya menambahkan.

 

Bapak ini usianya sekitar 40 tahunan. Dari latar belakang formulir saya lihat ia berasal dari keluarga yang secara ekonomi biasa-biasa saja. Masa kecilnya ia tinggal dengan ayah ibu dan saudara-saudara di rumah kontrakan yang merangkap menjadi toko. 

 

“Saya tidur di sofa bareng adik, di antara barang dagangan” ujarnya. Ayah ibunya bekerja keras luar biasa, sangat berhemat. Dia pun dididik dengan keras untuk harus selalu dapat nilai 100, terutama di pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Orangtuanya ingin dia berhasil dan  hidup di Amerika.

 

Didikan yang keras itu membentuknya jadi manusia yang sangat cerdas. Hidupnya sekarang lebih dari cukup. Sama persis seperti orangtuanya, dia bekerja keras luar biasa agar anak tunggalnya bisa studi di luar negeri. “Finland sepertinya bagus.” Tapi anaknya sangat berbeda dengan dirinya. Bocah kecil itu sama sekali tak suka bekerja keras. Otak mungilnya seperti hanya terisi keinginan main gadget dan berfoya-foya. Bapak ini sangat cemas. Ia ingat betul cerita turun temurun keluarganya tentang sejarah rasis di Indonesia. Dia pun berulang kali mengalami perlakuan tak menyenangkan semasa masih harus ke mana-mana naik angkot atau bergelayutan di bis kota. Berkali-kali dipalak dan mendapat sikap permusuhan.

 

Kasus seperti teman saya ini banyak. Orang-orang yang lahir dan besar di Indonesia, sah sebagai WNI, namun orientasi berpikir untuk anak-anaknya adalah pergi dari Indonesia. Anak-anak mereka pun biasa disekolahkan di lingkungan yang homogen dan sangat berorientasi pada kecerdasan kognitif individu. “Membentuk siswa yang  berkarakter dan unggul” seperti jadi sebuah keharusan.

 

Sahabat saya adalah seorang  guru sekolah semacam itu. “Susah Mbak, saya setengah mati mendorong anak-anak untuk punya rasa kebangsaan, peduli lingkungan, tapi orangtua mereka yang menghalangi. Saya berkali-kali menawarkan anak-anak ikut program pendidikan sosial. Orangtua pasti nyap-nyap.” Murid-murid di sekolahnya nyaris tidak bergaul dengan orang diluar komunitas homogen mereka: kelas ekonomi sama, agama sama. Murid-murid bukannya tidak mau, namun mereka hanya bisa mencari tahu dari googling.

 

Narasi kebangsaan lebih terasa seperti hapalan, pelajaran yang tak lekat dengan dirinya. Narasi yang dianggap nyata adalah narasi dalam keluarga. Narasi kebangsaan di sekolah dipahami untuk sekedar mendapat nilai bagus. Itu mudah bagi mereka, secara kecerdasan mereka adalah siswa unggul. Jadi tidak heran jika Pemerintah keras berusaha mencari jalan untuk integrasi nasional. Integrasi nasional ini meliputi semua orang, tiap pribadi dengan identitas individu, kelompok yang sangat heterogen.

 

Integrasi menurut  Saefudin Bahar adalah upaya menyatukan semua unsur bangsa dengan pemerintah dan wilayah. Wah… saya langsung lihat masalah integrasi ini berat sekali. Heterogennya bangsa Indonesia ini luar biasa. Kita lihat saja masalah suku. Saya baca data BPS. Begini:

 

Tahun 1930 Belanda pertama kali membuat sensus penduduk di nusantara. Hasilnya pasti tak maksimal. Saat itu situasi politik di nusantara tidak kondusif untuk kegiatan penelitian atau sensus. Ketika bangsa Indonesia merdeka, Negara tidak fokus pada masalah sensus penduduk. Masalah Negara baru lahir dengan gelombang besar politik, keamanan, ekonomi dan budaya jadi masalah besar. Negara kita sangat dinamis saat itu.

 

Bukan hanya urusan dalam Negeri, urusan ‘Ganyang Malaysia” sempat menggelorakan bangsa. Presiden kita saat itu penuh kharisma. Saya sempat baca cuplikan pidatonya tanggal 27 Juli 1963: Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya. Serukan serukan ke seluruh pelosok negeri …. Wuah… keren banget deh!

 

Riset itu  berhenti pada masa Pemerintahan Orde Baru. Pemerintah Orde Baru waktu itu melihat bahwa membahas masalah suku dapat mengancam keutuhan bangsa. Jadi Pemerintah saat itu mengeluarkan kebijakan terkait keamanan negara untuk tidak membicarakan masalah SARA. Jadi urusan sensus, penelitian tentang SARA ikut terhenti.

 

Tahun 2000 dan 2010 BPS baru dapat melakukan sensus penduduk. Menurut mereka mengumpulkan data suku itu sulit. Persoalan pertama, bagaimana mendifinisikan suku?  Nah, awalnya dibuat definisi berdasar identifikasi keturunan, kebiasaan hidup, bahasa, hubungan kekerabatan dan unsur politik. Tahun 2010  tercatat 1331 kategori suku!

 

Rumit! Misal proses pengkodean Suku Batak.  Ada Batak Alas Kluet, Batak Angkola, Batak Dairi, Dairi,Pakpak,Pakpak Dairi, Batak Pak-Pak, Batak Karo, Batak Mandailing , Batak Pesisir, Batak Samosir, Batak Simalungun, Simelungun Timur, dan Batak Toba. Itu baru pengelompokan berdasar pengakuan responden, belum berdasar analisa hukum adat, genealogis atau hukum kewarganegaraan.

 

Dari cara pikir, ini yang sangat luas urusannya, dan pengaruhnya langsung pada proses integrasi bangsa. Manusia berpikir sangat ditentukan oleh latar belakangnya, konteks di mana dan bagaimana dia hidup, serta falsafah hidupnya. Orang-orang yang pernah hidup pada masa perang merebut kemerdekaan pada umumnya masih sangat kental ‘darah juang’, nasionalisme dan semangat kebangsaan. Murid-murid  TK sampai SMA, yang masih sering ikut upacara bendera dan rutin belajar pendidikan kebangsaan,  masih terbiasa dengan ide dan semangat kebangsaan.

 

Tapi untuk orang yang tidak pernah atau jarang bersentuhan dengan nilai kebangsaan, tak ada pengalaman pribadi, tak ada relasi personal dan emosional dengan peristiwa kemerdekaan, sedikit kemungkinannya mereka bisa punya rasa kebangsaan. Proses integrasi kebangsaan mungkin hanya formalitas buat mereka. Mungkin juga sampai sekarang mereka belum pernah tersentuh urusan-urusan integrasi bangsa.

 

Saya pernah ingin membuka Taman Baca untuk suku-suku di pedalaman Kalimantan. Saya tanya pada sahabat saya Budi Dayak, berapa waktu tempuh untuk bisa mengantar buku-buku itu langsung ke lokasi di mana suku-suku itu tinggal. Jawabannya: Waktu tempuh dari Banjarbaru, tempatnya tinggal menuju lokasi sekitar 5-6 jam jika naik mobil. Ini untuk Dayak Meratus, Kampung Kiyu dan Desa Datar Ajab. Tapi untuk jumpa dengan suku-suku yang tinggal di pedalaman, bisa butuh waktu 4 hari jalan kaki. Medannya pegunungan dan hutan. Wah!  4 hari jalan kaki itu untuk ukuran orang lokal yang memang sehari-hari menempuh medan gunung dan hutan.

 

Di wilayah Kampung Kiyu dan Desa Datar Ajab tidak banyak buku, koran atau literatur yang dapat diakses oleh penduduk perdesaan. Apalagi di wilayah pedalaman yang butuh waktu 4 hari jalan kaki! Sudah pasti tak ada toko buku, tak ada agen koran yang mau mengantar koran tiap hari ke lokasi pedalaman.

 

Riza Noer Arfari berpendapat bahwa integrasi meliputi proses pembentukan identitas nasional dan penyatuan  berbagai kelompok sosial dan budaya ke dalam satu kesatuan wilayah. Ramlan Surbakti menggambarkan integrasi sebagai sebuah proses penyatuan berbagai kelompok sosial  budaya dalam kesatuan wilayah dan identitas nasional.

 

Nah coba kita bayangkan proses integrasi nasional, untuk suku-suku di pedalaman, yang butuh 6 jam  waktu tempuh dari kota ditambah 4 hari jalan kaki. Itu baru waktu tempuh. Belum termasuk interaksi yang harus terjadi agar proses integrasi nasional bukan sebatas formalitas. Prosesnya harus menyentuh dan bicara tentang penggundulan hutan,  kepemilikan atas hutan adat, perusakan pegunungan Meratus, pertambangan batu bara, terbatasnya akses pendidikan,  dan stunting.  Bagaimana proses integrasi nasional bisa sungguh-sungguh kuat, jika ada bagian dari suku bangsa yang merasa belum mendapat keadilan, dan hak-haknya terus menerus diabaikan?

 

Integration, artinya kesempurnaan, keseluruhan. Dalam bahasa Latin: Integer.  Secara etimologis disebut pembauran hingga jadi utuh, bulat. Bangsa kita sangat heterogen. Semboyan kita: Bhinneka Tunggal Ika  selalu mendapat tantangan yang berat. Banyak orang dari bangsa kita belum mampu membedakan masalah individu dengan masalah kelompok. Kesalahan 1 individu dapat dianggap sebagai kesalahan 1 suku, kesalahan 1 orang bisa dianggap kesalahan 1 umat beragama. Dari konflik sosial yang ada banyak yang disebabkan konflik antar individu. Data dari BPS tahun 2018 telah terjadi konflik massal di perdesaan sejumlah 3100 kasus! Data itu belum termasuk yang tidak dilaporkan dari wilayah pedalaman.

 

Jadi bagaimana kita menyikapi masalah integrasi nasional? Dari kita sendiri mesti paham siapa kita, siapa bangsa Indonesia. Paham kita ini adalah bagian  dari bangsa Indonesia. Menerima orang lain berbeda sebagai bagian dari bangsa Indonesia juga. Ini bagian yang berat. Kelompok yang berteriak dan agresif memecah belah bangsa, menyerang rumah ibadah, membakar rumah, toko atau hutan kita juga adalah bagian dari bangsa Indonesia. Orang-orang yang aktif mengintimidasi anak-anak kita untuk benci pada agama atau suku yang berbeda pun adalah bagian dari bangsa kita.

 

Kita butuh mengakui dan melihat realitas di kedalaman. Menyentuh masalah dan penyakit sosial di masyarakat seadanya.  Menyentuh untuk menyembuhkan, merangkul untuk Kebinnekaan kita.