Dulu Tidak Ada Jaminan HAM di Indonesia. Amandemen Ini Penyebab Perubahannya!

Mar 11, 2020

CARA LAIN MENDENGARKAN:

Budi Setiamarga

Education Specialist Institut Leimena

TRANSKRIP

Berdiri di tepi pantai Amsterdam 19 tahun lalu membuat perasaan campur aduk. Antara marah, sedih dan tidak terima. Saya berdiri di pantai buatan. Bukan pantai alami. Pantai ini dibuat lebih tinggi dari permukaan lautan. Negara itu begitu kecil namun rakyatnya sejahtera. Rakyatnya makan cukup, ada banyak susu, keju, mentega, daging. Rumah-rumahnya layak huni, jalanan rapi, bunga tulip bertebaran di mana-mana. Rakyat mereka tidak tampak seperti orang yang, kurang gizi apalagi stunting.

Kita, tanah air begitu kaya, begitu luas. Panjang wilayah Indonesia diperkirakan  5.110 km dan lebarnya 1.887 km dan luasnya 1, 905 juta km2. Hm.. coba hitung, berapa hari yang dibutuhkan untuk keliling Indonesia, jika kita gowes dengan kecepatan 40 km/jam? Lama … sekali.

Nah kalau Negara Indonesia begitu kaya, mengapa banyak orang merasa miskin, tak berdaya dan belum sejahtera? Mengapa banyak orang masih bermental fatalis, selalu berharap-harap bantuan?  Saat itu kesadaran baru menyentak saya. Bertahun-tahun, berulangkali  sejak kanak-kanak,  saya menyaksikan berita di televisi bahwa Negara Indonesia  mendapat bantuan dari negara-negara lain. Selalu bantuan. Yang timbul adalah perasaan bahwa kita selalu miskin, selalu butuh bantuan.

Kenyataannya, Negara  Indonesia luar biasa kaya. Apalagi jika dibandingkan dengan Belanda. Tanah tumpah darah begitu luas. Aneka kekayaan alam, mineral, air, pertanian, hutan dan kekayaan laut yang sulit dihitung.

Perasaan atau sikap miskin ini ternyata dialami banyak orang.  Setiap bicara tentang rencana membuat kegiatan sosial kemasyarakatan, selalu muncul pertanyaan tentang lembaga donor. “Siapa yang dekat sama donor?”  Seolah tanpa lembaga donor, kita bukan siapa-siapa, dan tak mampu berbuat apa-apa.

Dalam skala lebih kecil, fenomena yang sama berulang.  Banyak orang merasa miskin dan tak perlu berperan. Atau tepatnya, mereka berpandangan bahwa yang harus punya peran soal pendanaan itu hanyalah orang lain yang dianggap kaya. Orang yang dianggap kaya adalah pengusaha, advokat, aparat atau pejabat negara berpangkat tinggi. Mereka yang selalu disasar untuk menjadi penyandang dana.

Perasaan  kaya dan miskin ini subyektif. Namanya juga perasaan. Sikap murah hati atau pelit itu tidak bergantung pada jumlah harta seseorang.  Bagaimana bersikap sangat tergantung pada kesadaran akan identitas. Identitas ini bisa bersifat pribadi, kelompok, atau bangsa.

Perjalanan ke Jepang, Korea, Amerika, Jerman, dan banyak negara lain memperkuat kesadaran dan perasaan bahwa saya adalah bagian dari Negara Indonesia.  Masuk ke negara manapun,  permintaannya sama: Tunjukkan paspor! Tak ada pertanyaan tentang etnis apalagi genetika.  Identitas saya adalah Warga Negara Indonesia. Identitas nasional bagi bangsa Indonesia ditentukan oleh ideologi dan norma dasar pedoman perilaku, yaitu Pancasila dan UUD 45.

Banyak ahli  punya pendapat tentang apa itu identitas.  Tilaar menyatakan bahwa identitas nasional berkaitan dengan pengertian bangsa. Jadi bangsa adalah keseluruhan alamiah dari seseorang. Bangsa yang memberi realitas pada individu. Ide itu mirip dengan makna Wawasan Nusantara.  Jadi wawasan nusantara adalah cara pandang  bangsa tentang diri dan lingkungan.

Cara pandang bangsa ini yang menjadi dasar konsepsi ketahanan nasional. Hasil cara pandang bangsa adalah munculnya sistem tata negara, tata budaya dan tata hukum. Jadi seharusnya tak ada sistem yang boleh bertentangan dengan cara pandang bangsa kita. Ada pedoman nasionalnya: Pancasila, UUD 45 dan Bhinneka Tunggal Ika.

Di sini kita mulai banyak masalah. Banyak orang merasa paham apa itu Pancasila. Namun setelah mulai mengkritisi begitu banyak pertanyaan muncul, apalagi kalau dikaitkan dengan konteks Indonesia saat ini. Negara kita punya lebih dari 300 kelompok etnis, 50 bahasa, 6 agama dan banyak kepercayaan. Ada juga banyak orang yang sebetulnya tak percaya lagi pada Tuhan atau  tak peduli Tuhan itu ada atau tidak. Ada banyak kepala, banyak perspektif berpikir dan banyak nilai. Bagaimana semua perbedaan ini diintegrasikan jadi satu?

Menurut Eka Darmaputra  masyarakat bisa berfungsi jika anggotanya mau  mengintegrasi diri di bawah norma dan nilai yang sama. Integrasi bukan persoalan mudah. Karena itu perlu mencermati potensi disintegrasi bangsa. Potensi itu  ada pada masalah kultural, norma, struktur, ketidaksepakatan tentang pengelolaan sumber-sumber bersama. Paling berat adalah kesepakatan nilai.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa awalnya ada banyak kerajaan di nusantara: Kerajaan Mataram, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Bugis dan masih banyak lagi. Kerajaan-kerajaan itu awalnya adalah kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Melalui berbagai peristiwa kerajaan-kerajaan ini menundukkan diri pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi Indonesia itu Negara Kesatuan ‘baru’ dengan  yang terdiri dari masyarakat-masyarakat lama. Identitas sebagai  Warga Negara Indonesia tak dapat dilepaskan dari identitas yang melekat dari sejarah sebelumnya, baik budaya, sistem nilai maupun genetika.

Saya ingat perjalanan tahun lalu ke Liwa, Lampung Barat. Di sana saya mengunjungi salah satu kerajaan. Namanya Kerajaan Sekala Brak. Saya pergi ke situs sejarah itu diantar oleh dua orang mahasiswi Lampung. Mereka ternyata belum pernah masuk ke dalam bangunan kerajaan itu. Tidak mudah untuk mendapat ijin masuk ke dalam kerajaan Sekala Brak. Namun karena para mahasiswi ini ditugasi oleh Bupati Lampung Barat, Pak Parosil, maka kami diijinkan masuk, melihat dan memotret bangunan Kerajaan dengan bebas.

Saya menyaksikan silsilah para raja, singgasana, aneka hiasan dengan dominasi warna emas dan merah tua. Kerajaan ini terlihat artistik dan sarat nilai budaya. Kedua mahasiswi itu terperangah kagum melihat aneka ukiran dan arsitektur Kerajaan Sekala Brak. Penjaga Kerajaan menjelaskan bahwa sampai saat ini rakyat Lampung masih sangat menghormati Kerajaan dan tradisi. “Kami jadi terima kasih sama Ibu, karna antar Ibu kami jadi tahu sejarah Lampung Barat”, ujar salah satu mahasiswi.

Dua mahasiswi ini menghabiskan sebagian besar hidup mereka di Lampung Barat. Mereka pernah ke Bandar Lampung sesekali. Saya membayangkan kesulitan yang mereka hadapi saat  bicara tentang wawasan nusantara, ketahanan nasional, identitas bangsa. Mungkin itu semua terlalu jauh, terlalu abstrak bagi mereka. Keseharian mereka adalah kampus, tempat kerja magang, tempat ibadah, kebun kopi dan rumah. Apa yang mereka alami, pasti dirasakan juga oleh sebagian besar masyarakat petani kopi di sana. Kisah tentang Meratus, lumpur Lapindo, budaya reog dan gemblak, kisah para pedagang Tanah Abang, pembangunan jalan di Papua, mungkin hanya seperti narasi yang tidak kontekstual.

Kita perlu membuka akses informasi seluasnya, terutama untuk masyarakat perdesaan. Koran, majalah, aneka buku dan akses informasi lain mesti hadir  untuk tiap warga negara. Orang tak mungkin mencintai sesuatu yang mereka tidak tahu, yang tidak dikenalnya dengan baik.

Jika kita bicara Pancasila, Negara perlu menyebarluaskan informasi selengkapnya tentang Pancasila. Sejarah, filosofi, nilai-nilai yang diajarkan.   Rakyat mesti membaca, paham, mendialogkan, mengkritisi. Tak mungkin semangat kebangsaan tumbuh, jika rakyat tak mengenal sejarahnya, identitasnya dan Pancasila. ***