Lina coba kau bantu ibu  menyusun dan menghias buah-buahan ini. Ibu masih harus mengurus kue-kue yang akan kita bawa besok.” Sejak kemarin ibu dan para tetangga lainnya menyiapkan segala seserahan yang berupa hasil ladang untuk dibawa ke ibukota kesultanan. Aneka sayuran, padi, buah-buahan, dan hasil bumi lainnya dihias sedemikian rupa dengan kain yang berwarna-warni. Semuanya disiapkan untuk menyambut pesta rakyat yaitu Festival Erau.

Fajar pun menyingsing di ufuk timur. Semua kebutuhan dan perlengkapan pesta sudah siap. Bersama-sama, kami dengan warga kampung menuju pusat kota Tenggarong. Disanalah Festival Erau dilaksanakan selama 40 hari 40 malam. Dan hari ini merupakan hari pembukaan festival. Festival Erau merupakan warisan leluhur yang terus kami lestarikan, konon festival ini diadakan sejak 12 Masehi yang lalu ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi sultan pertama Kutai Kartanegara.

Sebentar lagi Sultan akan datang,” ibu berbisik kepadaku. Seketika itu juga mataku mencari-cari dimanakah gerangan Sultan yang selama ini hanya kulihat dilayar televisi rumahku. “Dimana bu? Aku tak melihatnya,” tanyaku. “Shuuuuuut! Jangan berisik! kita ikuti dulu ritual ini,” ibu memperingatiku.

Ternyata, dibalik semua kemeriahan festival ini, ada satu ritual yang warga Kutai nanti-nantikan. Tanpa ritual ini, maka festival takkan pernah dimulai. Bisa dibilang, ritual ini adalah pembuka acara, yaitu ritual mendirikan Tiang Ayu.

Memang sejak memasuki arena festival, aku dan para peserta diperlihatkan berbagai pusaka milik kesultanan yang disiarkan diatas layar lebar.  Dalam sebuah yang disebut Ruang Stinggil (Siti Hinggil) disanalah semua pusaka itu diletakkan. Dari semua pusaka tersebut, ada satu pusaka yang menjadi fokus ritual ini yaitu Tiang Ayu. Menurut cerita ayah, Sangkok Piatu atau yang sering disebut Tiang Ayu adalah sebuah tombak pusaka milik sultan pertama Kutai.

Aku benar-benar tak sabar melihat ritual ini dimulai.

Seperti biasanya, sebelum ritual dimulai Tiang Ayu direbahkan menghadap ke arah singgasana Sultan disertai dengan beberapa pelengkap ritual. Dalam ruangan itu, para dewa (wanita pengabdi ritual) dan belian (pria pengabdi ritual) telah bersiap-siap untuk menjalankan tugas mereka.

Dalam suasana yang hening, Sultan pun memasuki ruangan ritual, semua hadirin ikut berdiri dan kemudian Sultan berdiri menghadap Tiang Ayu. Selanjutnya, para dewa melakukan besawai (berkomunikasi dengan mahluk gaib agar mereka hadir selama festival Erau), kemudian Tiang Ayu diangkat oleh beberapa orang keluarga keraton dan diletakkan dalam penyangganya. Setelah Tiang Ayu berdiri, seluruh hadirin berdoa bersama untuk kelancaran Festival Erau. Selanjutnya, seluruh rakyat bersorak gempita menyambut pesta rakyat ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disadur dari : Indonesiakaya

Foto ilustrasi : Indonesiakaya