Tahap awal proses reformasi Indonesia telah selesai dengan selamat. Bangunan politik demokrasi negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 telah dibangun. Selanjutnya kita sedang menjalani proses konsolidasi untuk menerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi agar kehidupan demokratis menjadi cara hidup dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila yang kuat, serta agar kemakmuran dan kesejahteraan yang adil sebagai sebagai perwujudan cita-cita kemerdekaan dapat dicapai.

Proses reformasi kita berakar jauh ke dalam sejarah Indonesia merdeka. Semula ia berupa gerakan di bawah tanah dan/atau sebagai bentuk pergumulan internal kelompok. Kemudian telah berhasil muncul ke permukaan dan menjadi bagian dari proses sah dan resmi kehidupan bernegara kita.

Dimulai pada SI-MPR 1998[1], proses reformasi telah menjadi bagian agenda politik bernegara. Pemilu 1999[2] sebagai pemilu demokratis pertama sesudah pemilu 1955 berhasil dilaksanakan dan diikuti dengan dibentuknya lembaga-lembaga negara DPR, MPR, Presiden, BPK dan MA. Selanjutnya lembaga-lembaga itu telah menyerap isu-isu dan gerakan reformasi masuk ke dalam kelembagaan negara. Tema-tema reformasi seperti tuntutan untuk membangun sistem politik check and balance, kebebasan pers, penghormatan terhadap HAM, supremasi hukum, dan sebagainya, menjadi agenda kerja lembaga perwakilan yang berwenang.

Selama proses amandemen dari tahun 1999 sampai tahun 2002, isu-isu peka dan pernah tabu untuk dibicarakan, seperti isu apakah Pembukaan UUD 1945 perlu diubah, isu untuk memasukkan kembali “7 kata: dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” seperti dirumuskan pada rancangan Piagam Jakarta akan dimasukkan kembali ke dalam pasal 29 UUD, isu apakah bentuk negara kesatuan akan dipertahankan atau diganti dengan bentuk negara serikat, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dibicarakan secara terus-terang dalam forum lembaga resmi dan dapat diselesaikan dengan baik.

Para anggota MPR hasil pemilu 1999 membahas isu-isu peka itu secara terbuka, penuh dengan rasa persaudaraan dan saling menghargai, jauh dari niat untuk memaksakan kehendak dan kemudian berhasil bersepakat untuk tetap mempertahankan rumusan yang ada dalam UUD 1945 (asli) dengan musyawarah mufakat[3].

Negara kepulauan yang begini besar dan majemuk, 300-an suku bangsa, besar dan kecil, dengan 500-an bahasa dan dialek, yang berdiam di 17,000-an pulau, dengan sejarah panjang kerajaan-kerajaan Nusantara masing-masing, berhasil menjalaninya dengan utuh, tidak terpecah-belah, terhindar dari kekerasan dan perpecahan. Kita jauh lebih beruntung dari negara-negara seperti Uni Soviet, Yugoslavia, dan Cekoslowakia yang masing-masing terpecah-belah ke dalam banyak negara merdeka sewaktu menjalani proses reformasi diri, yang kerap disebut sebagai proses balkanisasi.

Selesainya perubahan-perubahan itu bermakna bahwa sistem politik berdasar disain UUD 1945 telah dikonsolidasikan untuk mampu menerima dan mengarahkan beban dinamika politik seraya terus melandasi proses demokratisasi dan reformasi berkelanjutan tanpa harus terjerumus ke dalam situasi kacau-chaotic.

Sekarang kita masih terus menjalani lanjutan proses reformasi itu. Berbagai UU semakin melengkapi bangunan politik demokratis kita. Kita berkutat dengan upaya membangun supremasi hukum melalui pembenahan lembaga penegak hukum. Otonomi semakin memperoleh bentuk nyata sekaligus sedang mencari posisinya yang tepat dalam prinsip negara kesatuan. Kebebasan pers terus bergerak mencari bentuk yang pas sebagai bagian masyarakat demokratis. Banyak langkah yang telah dan sedang kita ambil untuk mengkonsolidasikan hasil reformasi dan untuk terus memberi isi kepada proses-proses demokratis yang telah kita bangun. Kita perlu bertekad untuk menjalaninya dengan arif agar terhindar dari perseteruan dan perpecahan.

Kita beruntung karena terlepas dari bencana perpecahan dan kekacauan selama menjalankan reformasi. Bila kita merenungkan keberuntungan kita itu, nurani kita tidak akan dapat melupakan jasa dan kebesaran para pemimpin kita.

Bung Karno, seorang pendiri utama negara ini, telah memberikan keteladanan. Walaupun beliau waktu itu mempunyai kekuatan pendukung yang cukup dahsyat tetapi tidak memaksakan kehendak. Beliau rela mengundurkan diri sebagai presiden sewaktu bangsa terancam perpecahan dan pertumpahan darah.

Pak Harto juga memberi keteladanan yang sama. Beliau, yang masih punya kekuatan pendukung yang kokoh, juga rela mundur demi mencegah perpecahan dan pertarungan antar sesama anak bangsa. Sejarah mencatat baik Bung Karno maupun Pak Harto adalah pribadi-pribadi yang kokoh dan telah terbukti keberaniannya.

Demikian pula Pak Habibie, yang bersedia menetapkan hasil pemilu 1999 walaupun sadar bahwa hasilnya adalah kekalahan bagi partai politik pendukungnya. Beliau menyadari kacau-balaunya negeri ini, bahkan bukan tidak mungkin negeri ini akan terpecah-belah, bila saja pemilu 1999 gagal!

Gus Dur, pribadi yang menghayati nilai-nilai demokratis, yang menghormati aturan main demokratis. Mbak Mega, yang tegar dan mantap melanjutkan proses reformasi dan demokratisasi serta mendukung penuh penyelesaian amandemen UUD 1945 dan pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung yang pertama dengan berhasil, aman dan damai. Demikian juga SBY yang konsisten berusaha menjalankan pesan-pesan reformasi dan prinsip-prinsip demokrasi.

Kepada mereka, dan juga kepada para pemimpin-pemimpin kita yang lain, termasuk para pimpinan partai politik, pimpinan ABRI-TNI/POLRI, para pemuka agama-agama dan masyarakat, dan para aktivis berbagai generasi, yang telah memberi teladan kearifan, baiklah kita memberi hormat dan penghargaan dan bertekad mewarisi kearifan itu.

Indonesia sekarang adalah negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Kebebasan berpendapat, HAM, supremasi hukum, dan sistem politik check and balance, telah dimeteraikan.

Tetapi kita sadar, walau prosedur berdemokrasi telah mulai lengkap, di hadapan kita terbentang tugas yang besar dan penting untuk mengkonsolidasikannya, menjadikannya demokrasi yang substansial, sebagai cara kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak sekedar demokrasi prosedural-formal. Membangun demokrasi substansial-prosedural seperti itu seyogianya senantiasa menjadi tujuan kita karena dengan itulah kesejahteraan dalam kualitasnya yang paling dalam akan dapat diwujudkan.

Kita semua terpanggil dan bertanggung jawab untuk mewujudkannya, baik yang berada dalam infrastruktur, seperti Presiden, DPR, MK, MPR, MA, BPK, DPD dan lembaga-lembaga resmi lainnya, seperti TNI dan POLRI, maupun yang berkiprah dalam supra struktur masyarakat, seperti partai-partai politik, organisasi masyarakat, media massa, LSM, dan sebagainya. Tanggung jawab mana dilakukan baik dengan membuat dan menegakkan aturan dan keteladanan, maupun juga dalam bentuk gerakan nasional pendidikan nilai dan praktek kehidupan berdemokrasi.

[1]      SI-MPR 1998 diselenggarakan atas desakan kaum reformis. SI-MPR, memutuskan a.l. untuk mempercepat pemilu yang dijadwalkan tahun 2002 menjadi tahun 1999 dan memutuskan TAP mengenai HAM.

[2]   KPU tidak berhasil menetapkan hasil perhitungan nasional hasil Pemilu 1999, tetapi PPI berhasil menetapkan perhitungan hasil pemilu 1999 untuk DPR, DPRD I dan DPRD II. Presiden B.J. Habibie menetapkan hasil resmi pemilu 1999 dengan Keppres no. 92 tahun 1999 berdasarkan hasil perhitungan PPI.

[3]     Seluruh perubahan UUD 1945 selama proses amandemen disepakati oleh MPR secara musyawarah mufakat kecuali satu, yaitu keputusan mengenai ditiadakannya keberadaan utusan golongan sebagai anggota MPR yang diangkat yang diputuskan melalui pemungutan suara.

Desakan untuk mengubah UUD 1945 semakin menguat selama masa kemelut politik dan krisis kepercayaan yang meledak karena dipicu oleh krisis moneter tahun 1997.

Luas dan dalamnya krisis yang terjadi waktu itu telah lebih menampakkan kelemahan sistemik UUD 1945 yang asli, yang telah menyebabkannya tidak mampu memberi jalan keluar mengatasi keadaan.

Pada dasarnya, ketidakmampuan itu bukanlah sekedar karena kesalahan kebijakan Pemerintah dan ketidakmampuan Presiden serta pejabat pemerintahan lainnya atau karena kurangnya “semangat para penyelenggara negara” waktu itu. Pemerintahan masa itu tidak mempunyai satu faktor penting untuk dapat mengatasi keadaan, yakni tidak adanya dukungan dan kepercayaan masyarakat luas.

Sistem MPR yang berlaku masa itu, di mana MPR adalah pelaksana tertinggi kedaulatan rakyat, pemegang kekuasaan tertinggi dan Presiden sebagai pelaksana kekuasaan tertinggi di bawah dan bertanggung jawab kepada MPR, tidak memberikan pilihan lain kepada Presiden Suharto kecuali harus melakukan rekayasa untuk menguasai MPR. Sebab, bila MPR tidak dikuasai, pemerintahan akan labil.

Sistem MPR hanya akan stabil, tetapi sekaligus otoriter, hanya apabila ada satu partai politik yang menguasai MPR, seperti maksud pendirian PNI (bukan PNI 1926) sebagai Partai Pelopor, untuk menjadi satu-satunya partai di masa awal kemerdekaan[1], atau bila hanya ada satu kekuatan politik dominan, seperti GOLKAR.

Gagasan membentuk partai negara itu ditentang oleh Sekutu, yang baru memenangkan PD II, karena menilai bahwa gagasan itu berasal dari pemikiran facisme militer Jepang[2]. Ini adalah sebuah aliran pikiran nasional-sosialis, yang menurut Prof. DR. Supomo sesuai dengan masyarakat Indonesia. Beliau menamakan aliran itu paham integralistik-totaliter: Presiden adalah Bapak bangsa, pemimpin sejati, penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur (prinsip Fuhrung sebagai Kernbegriff–ein totaler Fuhrerstaat).

Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pembukaan telah dieksplisitasikan ke dalam pasal dan ayat, dan juga ke dalam Penjelasan UUD 1945, dengan menggunakan cara pandang (world view) yang populer pada masa menjelang PD II, yaitu paham intregralistik-totaliter.

Presiden Suharto berhasil merekayasa sistem MPR dengan membentuk kekuatan 3-jalur, ABRI-GOLKAR-KORPRI yang menguasai MPR dan Pak Harto sendiri adalah pemimpin ke-3 jalur itu, yaitu sebagai Panglima Tertinggi ABRI, Ketua Dewan Pembina GOLKAR dan Kepala Pemerintahan.

Dengan demikian, walau Presiden bertunduk dan bertanggung jawab pada MPR namun pada hakekatnya Presiden (Suharto) yang mengendalikan MPR. Dengan konstruksi demikian Pak Harto berhasil mengokohkan kekuasaannya selama lebih dari 30 tahun dan berhasil membawa banyak kemajuan dalam pembangunan.

Tetapi sejalan dengan itu harga yang sudah dibayar untuk konstruksi demikian juga sangat mahal. Hilangnya kontrol dan hilangnya kebebasan, termasuk kebebasan pers, dan kenyataan bahwa kekuasaan itu tamak (power tends to corrupt), telah melahirkan banyak penyimpangan yang pada gilirannya telah menghilangkan dukungan yang ikhlas (genuine) dan kepercayaan rakyat pada kepemimpinan beliau.

Dari sisi lain, Pak Harto bisa juga dianggap korban dan sekaligus penikmat sistem itu. Apabila partai banyak, apalagi bila tidak ada partai dominan, dan karenanya Presiden tidak bisa menguasai MPR, seperti yang terjadi pada era Pak Habibie dan Gus Dur, maka sistem MPR itu akan merupakan sistem parlementer yang paling buruk. Dengan mudah dan sebentar saja baik Habibibe maupun Gus Dur dapat diturunkan dari jabatannya. Kelemahan sistemik ini mengakibatkan UUD 1945 yang asli tidak memberikan pilihan dan jalan keluar yang baik untuk mengatasi keadaan.

Dunia, terutama selama dua dekade terakhir, berubah dengan cepat. Kemajuan teknologi, khususnya IT dan transportasi, bagaikan revolusi yang mendesakkan perubahan yang melanda seluruh dunia. Informasi dengan cepat menyebar dan dapat merasuk kemana saja. Dalam hitungan menit, modal misalnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Disukai atau tidak, perkembangan ini telah semakin memperkokoh kedudukan pasar sebagai sentral kegiatan yang memberi dorongan kuat pada kreatifitas dan inovasi.

Negara-negara komunis, Cina dan Vietnam dan Laos, begitu pula negara sosialis-hijau (green socialism) seperti Lybia, atau negara non/semi demokratis lainnya, telah menerapkan politik ekonomi pasar untuk menakik kemajuan dunia guna membangun negeri dan mensejahterakan (fisik) rakyat. Paham sentralisasi untuk sebagian telah ditinggalkan. Tetapi kekuasaan politik tetap dimonopoli oleh partai tunggal/partai dominan, walau pembicaraan tentang perlunya demokrasi untuk Cina, but not now, telah mulai diperdengarkan oleh para pemimpinnya. Sementara kaum terdidik negeri itu juga mulai memperdengarkan pendapatnya yang sering berbeda dengan pendapat resmi negara. Mereka yang menginginkan memperoleh kesejahteraan yang tidak hanya materil-ekonomi saja semakin banyak bersuara, semakin banyak jumlahnya, dan semakin berani.

Lambat atau cepat negara-negara itu akan berhadapan dengan tekanan reformasi, dengan tuntutan warganya untuk didengar, untuk turut berpartisipasi, untuk diakui hak-hak dasarnya sebagai manusia. Bila saat itu tiba, bila tekanan itu telah menggumpal makin besar dan kuat, tidak terbayangkan rumitnya tantangan yang harus diatasi. Apalagi kalau tekanan itu akhirnya meletus.

Sejarah mengatakan, baik pada era perubahan monarki absolut menjadi monarki demokratis di Eropa pada abad-abad lalu, maupun perubahan di Jerman dan Jepang (melalui kekalahan dalam PD II), di Korea Selatan (era Park Chung-hee), di Taiwan, di Uni Soviet, Cekoslowakia, Yugoslavia, harga perubahan itu amat mahal, dan tidak hanya materil. Bahkan di 3 negara terakhir harga perubahan harus dibayar dengan berakhirnya eksistensi negara-negara tersebut dan terpecah-belah menjadi banyak negara baru.

Menghadapi perubahan tantangan yang demikian keras dan mendasar, dan agar tetap mampu melangkah maju, setiap bangsa haruslah berusaha melengkapi diri dengan sistem yang dapat membangun kepercayaan dan dukungan rakyatnya, yaitu melalui perubahan pasal dan ayatnya. Perubahan mana pada hakekatnya serupa dengan pengembangan organisasi (organizational development) biasa yang harus dilakukan manakala suatu organisasi ingin tujuannya tercapai sementara lingkungan telah berubah. Yang penting adalah kearifan untuk taat asas pada tujuan awal dalam situasi dan kondisi yang berubah. Nilai-nilai dalam Pembukaan, yang intinya adalah sila-sila Pancasila, harus diterjemahkan dan dieksplisitasikan dengan menggunakan cara pandang demokrasi berkedaulatan rakyat ke dalam struktur dan prosedur bernegara sebagaimana dirumuskan ke dalam pasal dan ayat UUD.

Dengan demikian proses reformasi kita mempunyai tujuan untuk membangun kehidupan berdemokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila yang adil dan makmur.

[1]    Rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 22 Agustus 1945 memutuskan untuk mendirikan PNI (waktu dikenal juga sebagai partai pelopor, tetapi bukan PNI 1926) sebagai partai negara, sebuah partai tunggal sebagai komponen disain sistem MPR. Tetapi pihak Sekutu yang menang PD II menentang keputusan itu karena menganggap gagasan itu diilhami oleh faham fasisme (Jepang). Kemudian Maklumat Komite Nasional tanggal 31 Agustus 1945 membatalkan keputusan PPKI tersebut. Selanjutnya, Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 3 November 1945 menerbitkan Maklumat no. X yang menganjurkan pembentukan 10 partai politik dan memulai sistim multi partai di Indonesia

[2]    Rancangan Pembukaan UUD 1945 disusun oleh sebuah Panitia 9 yang terdiri atas para pemuka gerakan kemerdekaan dan diketuai oleh Ir. Soekarno, Wakil Ketua Drs. Mohammaad Hatta, para anggota: Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Mohammad Yamin, K.H. Wahid Hasjim, Abdul Kahar Muzakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, dan Mr. A.A. Maramis. Rancangan pasal dan ayat beserta Penjelasannya disusun oleh Tim lain (Panitia Hukum Dasar) yang dipimpin oleh Prof. DR. Soepomo. Panitia tidak menyetujui gagasan separation of powers dengan mekanisme check and balance (seperti yang diusulkan Yamin), tetapi menggunakan mekanisme musyawarah kekeluargaan dari semua lembaga negara.

Semenjak reformasi menjadi agenda lembaga negara, terbentuk kutub-kutub yang menginginkan perubahan dan atau penyempurnaan UUD 1945 dan kutub yang ingin mempertahankan UUD 1945 sebagaimana aslinya.

Dalam kubu yang menghendaki perubahan ada yang menginginkan UUD 1945 diganti dengan sebuah UUD baru. Untuk mana perlu dibentuk Komisi Konstitusi, yang terdiri dari para ahli, seperti yang pernah dipunyai Afrika Selatan dan Thailand, sewaktu negara-negara itu menyusun kembali konstitusi mereka. Tetapi sebagian juga menghendaki agar Pembukaan UUD 1945 dipertahankan. Cukup pasal dan ayatnya yang dirubah dengan cara amandemen.

Di lain pihak tidak kurang juga mereka yang ingin tetap mempertahankan UUD 1945 sebagaimana aslinya. Yang terakhir ini berpendapat bahwa UUD 1945 sudah baik dan sempurna. Pelaksanaannyalah yang tidak baik karena kurangnya pemahaman atas UUD 1945 dan semangat para penyelenggara negara kurang kokoh.

Mengganti UUD 1945 dengan UUD yang sama sekali baru disimpulkan akan membawa konsekuensi politik yang amat mahal. Negara dalam keadaan rapuh. Kepercayaan masyarakat pada pemerintahan sedang rendah. Keadaan ekonomi lagi berat dilanda krisis moneter. Hubungan Pusat dan Daerah sedang meriang (panas-dingin). Negara kita yang amat majemuk ini sedang menghadapi gerakan separatisme di Aceh, di Papua, di Maluku dan embrio gagasan separatisme itu juga mulai terdengar di Riau dan di Kalimantan Timur. Di dunia internasional juga ada mereka yang tidak ingin melihat Indonesia yang besar, bersatu dan maju.

Menyusun UUD baru dalam keadaan seperti itu, yang berarti menyusun kembali kontrak politik antarwarga, merancang ulang disain dan konstruksi negara, amat tidak bijaksana dan bukan tidak mungkin akan mengakhiri eksistensi NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Sejarah juga membuktikan bahwa penyusunan konstitusi dengan pendekatan academic-heavy, seperti yang dilakukan pada zaman Republik Weimar-Jerman tahun 1920-an atau juga yang dilakukan oleh Thailand pada era tahun 1990-an, tidak menjamin bahwa konstitusi itu akan berjalan baik. Bahkan konstitusi Afrika Selatan, yang sering dianggap sebagai bentuk konstitusi paling ideal, mengandung kelemahan dalam penerapannya. Sejarah mencatat konstitusi Republik Weimar (Jerman) yang dirancang oleh para ahli telah membuka jalan bagi muncul dan berkuasanya Hitler dengan partai Nazi-nya yang anti-demokrasi. Demikian juga konstitusi Thailand tidak dapat mencegah terjadinya kudeta militer.

Membentuk UUD tidak dapat dilakukan hanya dengan pendekatan teknis hukum tata negara belaka. Harus dicermati aspek politik, aspek sejarah, aspek sosial budaya, dan aspek-aspek khas lainnya, agar tercapai penerimaan seluas mungkin. Ia harus dicapai melalui kesepakatan dan keputusan politik yang bisa diterima oleh kekuatan yang nyata, melalui pembahasan yang komprehensif dan dengan kompromi politik yang bertanggung jawab.

Mempertahankan UUD 1945 seperti aslinya akan mengulangi sejarah Orde Lama dan Orde Baru. Pada zamannya, hanya kebesaran Bung Karno yang memungkinkan beliau tetap lama memimpin, walau tidak efektif, karena harus selalu menjaga keseimbangan di antara partai-partai politik. Disain NASAKOM, Presiden seumur hidup, Pemimpin Besar Revolusi, Front Nasional, menempatkan pimpinan MPR dan DPR dalam kedudukan menteri di bawah Presiden, merangkul PKI dan merangkul TNI, yang dilakukan pada waktu itu tetap tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif. Beliau sendiri, Bung Karno, tidak mempunyai (satu) kekuatan politik yang kuat dan solid sebagai pendukungnya dalam sistem politik MPR. Pada waktu beliau sakit, kekuatan-kekuatan di sekitarnya khususnya antara TNI dan PKI berlomba untuk tidak di-fait accompli, untuk tidak saling didahului. Semuanya berakhir tragis dalam peristiwa G-30-S/PKI.

Sistem MPR menurut UUD 1945 yang asli hanya akan efektif apabila ada partai tunggal atau partai dominan ala GOLKAR, di mana Presiden adalah pemimpin dari kekuatan itu, seperti yang dilakukan kemudian pada era Orde Baru.

Pada akhirnya yang disepakati seluruh kekuatan politik waktu itu adalah untuk melakukan perubahan atas UUD 1945 yang asli melalui cara amandemen, dengan menggunakan tata cara yang diatur dalam pasal 37 UUD 1945.

Pada awal proses disepakati untuk mempertahankan Pembukaan. Pembukaan dipertahankan karena mengandung nilai-nilai pokok, Pancasila, sebagai saripati perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia sejak lama dan sekaligus merupakan tujuan dan cita-cita kemerdekaan. Posisi Pembukaan melekat erat dan tidak terpisahkan dengan proklamasi 17 Agustus 1945 dan terwujudnya NKRI.

Proklamasi adalah pernyataan bahwa bangsa Indonesia yang terbentuk pada 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda itu merdeka. UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 menegaskan bahwa bangsa yang merdeka itu mempunyai negara kesatuan yang visi keberadaan dan tujuannya termaktub dalam Pembukaan.

Sebenarnya naskah Pembukaan dirancang oleh para pendiri negara sebagai naskah proklamasi yang akan dipergunakan “bila waktunya tiba[1]. Tetapi para pejuang muda tidak sabar dan bertanya, “kapan waktunya itu akan tiba? Apa harus menunggu sampai diberi?” dan mereka menciptakan momentum melalui peristiwa Rengasdengklok[2]. Dan jadilah kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Tetapi bentuk negara dan cita-cita kemerdekaan itu sendiri baru resmi mewujud sehari sesudahnya. Oleh karena itu keduanya, proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 itu satu kesatuan.

Proklamasi kemerdekaan tidak bisa tercabut kecuali bila bangsa ini terjajah kembali dan itu juga berarti hilangnya negara Indonesia merdeka, apapun bentuk negara Indonesia. Sedangkan membongkar Pembukaan berarti menghilangkan eksistensi NKRI yang terbentuk melalui kemerdekaan. Dalam hubungan itu SU MPR tahun 1999 bersepakat untuk mempertahankan cita-cita dan lightstar bangsa sebagaimana terkandung dalam Pembukaan dalam melakukan amandemen.

Dalam runut berfikir amandemen demikian anggota MPR tidak memandang perlu adanya satu naskah akademis sebagai acuan amandemen, cukup dengan melakukan kajian komprehensif aspek sejarah, ideologis-politis, sosial budaya, hukum tata negara, dan ekonomi UUD 1945.

Atas dasar pemikiran demikian itu pula SU MPR 2001 sepakat untuk tetap menamakan UUD hasil amandemen adalah UUD negara Republik Indonesia tahun 1945[3].

Keputusan MPR untuk melakukan amandemen sampai selesai adalah keputusan bijaksana yang menyelamatkan bangsa dan negara dari perpecahan dan sekaligus memungkinkan bergulirnya proses reformasi secara berkelanjutan dan damai.

[1]      Pada hakekatnya langkah para pemuda (Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, cs) ini amat penting, karena pada waktu itu sudah terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum). Jepang sudah kalah dan resminya tidak berkuasa lagi, sementara Sekutu sudah mengambil ancang-ancang untuk masuk dan mengembalikan Hindia Belanda ke tangan Belanda. Kalau tidak segera mungkin kesempatan akan hilang.

[2]      Keputusan MPR itu diambil dalam sidang paripurna ST MPR tahun 2001 atas usul sdr. Drs. Slamet Effendy Yusuf dan langsung disetujui secara aklamasi oleh sidang.

[3]   PAH adalah panitia kerja yang dibentuk oleh Badan Pekerja (BP-MPR) dengan arahan SU/ST MPR untuk melaksanakan tugas tertentu. Pimpinan PAH III adalah: Ketua: Harun Kamil, SH (utusan golongan); para Wakil Ketua: Drs. H. Slamet Effendy Yusuf (partai GOLKAR), Amin Aryoso, SH (PDI-Perjuangan); Sekretaris: KH Yusuf Muhammad, LLM (PKB).

Keseluruhan proses amandemen dari 1999 s/d 2002 adalah satu rangkaian, bukan kegiatan terpisah-pisah yang slordeg, ceroboh. Materi amandemen Oktober 1999 dipersiapkan oleh Panitia Ad-Hoc (PAH) III[1]. Karena waktu persiapan yang terbatas, materi yang dapat dihasilkan tidak banyak, tetapi SU MPR 1999 menetapkan untuk menyelesaikan amandemen dan cara kerja selanjutnya.

Bahan kajian PAH III dilanjutkan oleh PAH I. PAH I bekerja dari November 1999 sampai dengan Oktober 2000. Materi yang dibahas selalu menyeluruh, dalam keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Hal mana karena UUD 1945 adalah satu kesisteman. Materi yang dapat disepakati PAH I selanjutnya diselesaikan dalam SU MPR 2000. Selanjutnya bahan yang “tersisa” dilanjutkan pembahasannya oleh PAH I dari November 2000 sampai dengan Oktober 2001 dan diselesaikan pada SI MPR 2001. Demikian pula yang tidak dapat selesai pada masa itu dilanjutkan oleh PAH I dan diselesaikan pada ST MPR tahun 2002. Itulah sebabnya pada tahap permulaan hanya materi-materi yang telah “matang” di tengah masyarakat dan materi “kelas ringan” yang dapat lebih dahulu diselesaikan. Materi “kelas berat” baru selesai pada ST MPR 2001 dan ST MPR 2002.

PAH III mempunyai 25 anggota yang mewakili seluruh partai politik yang mempunyai anggota di MPR, anggota MPR utusan golongan dan TNI/POLRI yang diangkat. PAH III bekerja selama masa SU MPR 1999, dan berhasil memutuskan dasar-dasar perubahan UUD 1945 sebagai berikut :

  • Perubahan atas UUD 1945 dilakukan secara amandemen.
  • Pembukaan UUD 1945 tidak diubah.
  • Yang diubah adalah Batang Tubuh dan Penjelasan.
  • Hal-hal normatif dalam Penjelasan akan dimasukkan ke dalam pasal dan ayat UUD.

Berdasarkan hasil kerja PAH III, SU MPR tahun 1999 berhasil merampungkan beberapa perubahan pertama UUD 1945.

SU MPR 1999 memutuskan untuk melanjutkan amandemen sampai selesai. Badan Pekerja ditugaskan untuk merampungkan amandemen selambat-lambatnya pada tanggal 18 Agustus 2000. Untuk melanjutkan amandemen PAH III sepakat untuk melakukan pembahasan dan peninjauan atas setiap pasal dan ayat UUD dan notulasi rapat PAH III, termasuk materi yang belum selesai dan pemandangan umum fraksi-fraksi, menjadi bahan masukan bagi proses selanjutnya.

Guna melaksanakan tugas itu SU MPR 1999 membentuk BP-MPR yang pada gilirannya membentuk panitia Ad-Hoc I (PAH I). Kemudian ternyata BP MPR tidak dapat merampungkan seluruh amandemen sesuai tenggat waktu yang ditetapkan dalam SU MPR 1999. Kemudian ST MPR 2000 memutuskan untuk memperpanjang masa tugas BP-MPR sampai dengan selesai melaksanakan amandemen.

PAH I juga beranggotakan 25 anggota MPR dari seluruh fraksi melanjutkan tugas melakukan pembahasan materi amandemen[2].

Untuk membantu pelaksanaan tugasnya PAH I membentuk beberapa Tim Ahli, yang terdiri dari Tim Ahli Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Tim Ahli Bahasa Indonesia. Tim Ahli telah menunjukkan komitmen dan dedikasinya terhadap penyelesaian amandemen dengan baik. Baik PAH I maupun Tim Ahli telah bekerja sama dengan baik, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. PAH I menerima banyak masukan dan pertimbangan dari Tim Ahli, diminta ataupun tidak diminta. Walaupun demikian, keputusan ada di tangan anggota MPR dan tidak semua pendapat Tim Ahli dapat diterima.

Di samping itu, bekerja sama dengan asosiasi keilmuan, seperti asosiasi ahli ilmu politik, asosiasi ilmu hukum, PAH I menyelenggarakan seminar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Mataram, Universitas Riau, dan sebagainya. Pada kesempatan itu berbagai rancangan perubahan pasal dan ayat diuji kesahihannya.

Dalam rangka menyerap pendapat umum dan sekaligus memasyarakatkan proses dan hasil sementara amandemen, tim-tim kecil PAH I berkunjung ke semua ibukota propinsi dan juga mengunjungi hampir semua ibukota kabupaten/kotamadya dan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU-public hearing). Peserta RDPU terdiri dari pimpinan daerah, tokoh partai dan pemuka lainnya termasuk alim ulama, unsur perguruan tinggi dan para aktivis. Banyak masukan dan aspirasi yang disampaikan kepada dan ditampung oleh PAH I. Di Jakarta juga dilaksanakan RDPU serupa dengan mengundang perorangan maupun kelompok-kelompok.

Dari berbagai pihak, PAH I memperoleh banyak literatur dan naskah konstitusi berbagai negara sebagai bahan perbandingan. PAH I melakukan studi banding keluar negeri, seperti ke Afrika Selatan, Jerman, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Korea Selatan, Austria, Australia, dan sebagainya. Kunjungan studi ini memberikan banyak masukan berguna kepada anggota PAH I dan melengkapi studi literatur yang dilakukan. Ternyata banyak hal yang digambarkan oleh literatur, yang baik atau yang kurang baik, berbeda dengan kenyataan prakteknya dilapangan atau terasa janggal. Penempatan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan yang berada di atas MA di Afrika Selatan ternyata membawa banyak kerumitan dalam menegakkan supremasi hukum di negara itu. Keputusan kasasi mengenai hukuman mati oleh MA telah dianulir oleh MK berdasarkan HAM. Anggota Hakim Agung MA Amerika Serikat, lembaga yang berhak melakukan judicial review atas UU terhadap Konstitusi, masa jabatannya seumur hidup.

Rapat-rapat PAH I pada dasarnya bersifat terbuka. Selalu ramai dihadiri oleh para wartawan dalam dan luar negeri, para peninjau, termasuk mahasiswa (pasca sarjana)[3], namun pada awalnya berita liputan media atas proses reformasi UUD tidak memadai.

PAH I sering dikritik dari berbagai pihak tentang cara kerja MPR yang dianggap tidak demokratis karena MPR tidak menampung seluruh aspirasi. Kritik itu tidak seluruhnya keliru. Sebenarnya MPR mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat, baik aspirasi mereka yang ingin agar UUD 1945 tetap dipertahankan sebagaimana aslinya atau mereka yang menginginkan agar amandemen segera diselesaikan, jangan diulur-ulur. Juga mendengarkan aspirasi mereka yang ingin memasukkan kembali “7 kata” ke dalam Pembukaan. PAH I juga mendengarkan aspirasi agar NKRI diubah menjadi negara serikat dan agar sistem perwakilan politik menggunakan sistem bi-kameral yang setara. Demikian pula mendengarkan “ancaman” daerah yang akan memisahkan diri dari Republik Indonesia apabila “7 kata” itu dimasukkan atau bila NKRI berubah menjadi negara serikat. Tentu ada juga aspirasi yang menghendaki agar Pembukaan dipertahankan, NKRI dipertahankan dan sebagainya. Anggota PAH I mendengar dan merekam semua aspirasi-aspirasi itu. Tetapi pada akhirnya PAH I harus mengambil keputusan dan tentu saja tidak semua aspirasi yang dicatat itu dapat disetujui. Kekuatan-kekuatan politik di Indonesia mempunyai landasan dasar perjuangan yang memberi arah dan koridor terhadap langkah-langkah dan keputusan-keputusan politik yang dapat diambil.

Secara bertahap PAH I berhasil merampungkan rancangan perubahan UUD 1945. Hasil PAH I kemudian dilaporkan pada sidang pleno Badan Pekerja. Selanjutnya BP melaporkan materi itu kepada sidang paripurna MPR untuk diputuskan. Seluruh materi perubahan UUD 1945 melalui amandemen dapat diselesaikan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002. ST MPR tahun 2003 dan SU MPR 2004, tidak lagi membahas mengenai materi amandemen UUD 1945.

[1]     Pimpinan PAH I adalah, Ketua: Drs. Jakob Tobing MPA (PDI-Perjuangan). Para Wakil Ketua: Harun Kamil, SH (Utusan Golongan), Drs. H. Slamet Effendy Yusuf (Partai GOLKAR). Sekretaris: Drs. Ali Masykur Musa (PKB). PAH I bekerja dari November 1999 sampai dengan Oktober 2004

[2]    Pada mulanya kurang sekali liputan media massa. Mungkin redaksi menilai beritanya kurang menarik dan ada kesan underestimate terhadap proses reformasi konstitusi yang berjalan. Kemudian Setjen MPR, bekerjasama dengan berbagai pihak, berhasil mendirikan stasiun TV khusus (TV Swara) untuk meliput dan menyiarkan kegiatan PAH MPR. Menjelang akhir masa kerja PAH I, liputan media massa mulai gencar mungkin karena PAH I telah memasuki bahasan materi pokok yang menarik

[3]    Pasal 37 yang mengatur perubahan UUD 1945 tentu dapat diubah sehingga memungkinkan Pembukaan UUD 1945 diubah atau diganti. Itu berarti yang menghendaki perubahan dan/atau penggantian Pembukaan telah masuk dan menguasai MPR.

Sebagaimana telah ditulis di bagian sebelumnya, MPR sepakat untuk mempertahankan Pembukaan, bukan hanya dalam arti formal keberadaannya di dalam UUD, tetapi juga posisinya sebagai nilai-nilai pokok keberadaan, cita-cita dan arah bangsa Indonesia merdeka. Pancasila yang termaktub di dalamnya adalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembukaan dengan demikian mengandung muatan ideologis yang memberi arah dan sebagai lightstar perjalanan bangsa. Di tengah perubahan lingkungan strategis dunia yang demikian mendasar bangsa Indonesia telah mempunyai pedoman bagi langkah perjalanannya, yaitu Pancasila.

Di lain pihak, pasal dan ayat seyogianya merupakan perangkat yang mengatur pokok-pokok cara untuk mewujudkan nilai-nilai pokok Pembukaan. Oleh karena itu pasal dan ayat, apalagi Penjelasan, tidak boleh memuat perangkat dan cara yang menyimpang dari nilai-nilai pokok.

Perubahan terjadi atas pasal dan ayat dan amat fundamental. Pembukaan disepakati untuk dipertahankan dan dinyatakan berada di luar jangkauan perubahan UUD. Aturan perubahan UUD hanya menyangkut pasal dan ayat, tidak dapat menjangkau Pembukaan[1]. Bentuk negara kesatuan dinyatakan dengan tegas sebagai tidak dapat diubah (non-amendable). Sistem MPR telah diganti dengan sistem politik check and balance, dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 5 tahun. Seseorang hanya boleh menjadi Presiden berturut-turut untuk 2 masa jabatan @ 5 tahun.

Amandemen menegaskan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (sistem presidentil). Pemilihan presiden dilakukan langsung oleh rakyat dimana calon presiden dicalonkan dalam 1 paket berpasangan dengan calon wakil presiden oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu. Pemenang adalah pasangan yang memperoleh suara 50% + 1 secara nasional dan suara yang diperoleh itu tersebar sebagai mayoritas di paling tidak 2/3 provinsi. Bila tidak ada yang memperoleh dukungan demikian maka digelar pemilihan ulang. Pemenang I dan ke II dalam putaran I akan bertanding dalam putaran ke II[2]. Kali ini pasangan yang memperoleh suara paling banyak dinyatakan sebagai pemenang.

Aturan ini ditetapkan demikian untuk menghadapi kenyataan bahwa masyarakat Indonesia itu tersebar dan amat majemuk. Menjadi Presiden kiranya jangan hanya dengan dukungan jumlah suara 50 % + 1 yang terpusat di daerah tertentu saja tetapi Presiden bagi segenap bangsa dan tanah air. Alasan lain adalah karena jumlah partai politik peserta pemilu cukup banyak bahkan terlalu banyak, sementara sistem presidentil (sebagai sistem pokok) hanya bisa bersesuaian/kompatibel dengan sistem kepartaian sederhana (sebagai sistem penunjang). UUD menegaskan agar parpol peserta pemilu yang tidak cukup kekuatannya bergabung[3] dalam mencalonkan Presiden dimaksudkan agar terjadi “koalisi partai-partai” sehingga peta politik riil di pemerintahan dan di DPR menjadi sederhana, yaitu hanya terdiri dari kubu Presiden dan kubu non-Presiden (oposisi) ditambah kelompok-kelompok kecil yang tidak berada di kedua kubu itu. Sangat disayangkan UU yang mengatur pemilihan Presiden tidak menguraikan ketentuan ini secara konsisten dan dengan lebih rinci sehingga gabungan partai pendukung calon presiden tidak memenuhi hakekat sebuah gabungan. Jika saja ketentuan itu diterapkan maka sistem presidensil akan efektif, tidak seperti sekarang[4]. Sekarang tidak jelas kedudukan partai-partai yang menjadi pendukung Presiden di kabinet tetapi bisa menjadi seteru di DPR.

Supremasi hukum ditegaskan dengan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan sekedar negara berdasar hukum. Prinsip itu menegaskan bahwa tidak ada pihak, termasuk Pemerintah, yang tidak dapat dituntut berdasarkan hukum. Kekuasaan kehakiman ditegaskan merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan Komisi Yudisial diperintahkan sebagai sebuah lembaga semi-pemerintahan, yang berfungsi sebagai dewan kehormatan untuk semua hakim, termasuk hakim konstitusi, justru untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, tanpa mencampuri proses peradilan itu sendiri.

MPR memutuskan untuk membangun sistem kepresidenan yang kokoh dengan masa jabatan yang tertentu (fixed term) dan tidak mudah dimakzulkan di tengah masa jabatannya. Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan hanya dimungkinkan dengan cara yang ketat dan sangat tidak mudah.

Ada kritik bahwa bahasa rumusan UUD sering bukan bahasa/istilah hukum, seperti istilah “tindak pidana berat” atau “perbuatan tercela”. Proses dan dialog sewaktu menyusun rumusan itu menunjukkan bahwa semua kasus di luar pengkhianatan terhadap negara, korupsi dan penyuapan, harus tergolong dalam kriteria tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dengan konotasi pada istilah “high-crime dan misdemeanors[5] yang digunakan di Amerika Serikat. Sehubungan dengan itu sangat disayangkan sekarang ada saja aktivis politik atau pengamat yang dengan mudah menginginkan Presiden dimakzulkan padahal tidak ada dasar untuk itu.

Bentuk negara sebagai negara kesatuan diperkokoh. Tetapi sekaligus dengan itu, memahami kemajemukan bangsa dan luasnya negara, otonomi ditegaskan dan diberikan menurut kekhasan daerah (asymmetrical) kepada daerah tingkat I dan tingkat II. Kalimat yang digunakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”, menegaskan bahwa kewenangan otonomi daerah tk. I dan tk. II (menurut ayat (2) daerah tk. I dan tk. II dapat mempunyai kewenangan otonomi) berasal dari pelimpahan kedaulatan nasional melalui undang-undang. Rumusan itu sekaligus menegaskan posisi hierarkis pemerintahan nasional dengan pemerintahan daerah tk. I dan daerah tk. II. Daerah juga ditegaskan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, di samping tugas dekonsentrasi sebagaimana dijabarkan dari pasal 17 tentang kementerian negara. Di sisi lain UUD 1945 memerintahkan perlunya dijaga keseimbangan kemajuan (daerah) dan kesatuan ekonomi nasional.

Hak membentuk undang-undang dipindahkan dari Presiden ke DPR. Sumber asal RUU bisa (anggota) DPR, Presiden dan DPD (RUU tertentu). Proses penyelesaian RUU adalah proses antara DPR dengan Presiden. Sebuah RUU bisa menjadi UU bila disetujui oleh bersama DPR dan Presiden. Pada dasarnya kedudukan Presiden dan DPR sama kuat. Itu sebabnya sebuah RUU yang telah disetujui bersama tidak dapat diveto kembali, baik oleh Presiden maupun oleh DPR. Jika dalam waktu 30 hari Presiden tidak mengundangkan UU baru itu maka UU itu otomatis berlaku sebagai UU dan Presiden wajib mengundangkannya. Walaupun hak membentuk UU ada di tangan DPR tetapi kewajiban mengundangkannya ada di tangan Presiden sebagai Kepala Negara.

Ada kesan bahwa sistem sekarang parliament heavy, karena terlalu sering Presiden seolah disandera oleh DPR. Dengan menyimak keterangan di atas dan ketentuan-ketentuan dalam UUD jelas sekali bahwa kedudukan Presiden paling tidak sama kuat dengan DPR, atau kewenangannya saling mengimbangi. Dalam hubungan itu, baik DPR maupun Presiden kiranya saling menegakkan wilayah kewenangannya masing-masing dengan teguh.

Kehadiran DPD sebagai lembaga negara baru sering mendapat sorotan. Bahkan pernah ada usaha untuk melakukan amandemen khususnya untuk menguatkan peran DPD. DPD adalah sebuah bentuk lembaga khas Indonesia, sebuah sui generic. Wilayah negara kesatuan begitu luas dan masyarakatnya amat majemuk. Pengalaman mencatat bahwa hubungan Pusat dan daerah sering tidak mulus. Daerah sering merasa dianaktirikan dan kekayaan yang berasal dari daerah dinilai telah disedot untuk kepentingan pusat. DPD dimaksudkan untuk menambah mekanisme guna memperbaiki hubungan Pusat dan Daerah dan antar daerah. Lembaga ini, yang anggotanya sama jumlahnya dari setiap provinsi, diharapkan berperan sebagai clearing house terhadap berbagai isu kepentingan daerah.

Tidak ada niat untuk menjadikannya sebagai senat di AS atau Australia, ataupun sebagai embrio sistem politik dengan sistem strong bi-cameral strong. Tidak ada negara kesatuan di dunia yang menggunakan sistem strong bi-cameral, namun juga tidak ada negara kesatuan yang besar dan majemuk yang tidak memiliki sejenis second chamber yang lebih lemah dibanding first chamber (parliament).

Yang mungkin perlu diperhatikan untuk sekarang ini adalah untuk menyusun tata cara pemilihan anggota DPD agar lebih proporsional dengan beban tugas lembaga dan menata kembali kedudukan DPD dalam undang-undang tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga perwakilan.

Proses pembuatan UU pada dasarnya adalah proses politik, tidak lepas dari tawar-menawar atau dominasi mayoritas, yang mengandung kemungkinan terjadinya inkonsistensi UU terhadap UUD. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai mahkamah uji konsistensi undang-undang terhadap UUD dan putusannya bersifat final dan mengikat. Ada mekanisme untuk menegakkan UUD sebagai hukum dasar yang harus ditaati peraturan perundangan dibawahnya. Dengan demikian proses politik pembentukan UU mempunyai mekanisme koreksi, yaitu 9 orang hakim konstitusi yang berasal dari 3 sumber, DPR, Presiden dan MA[6].

Atas dasar itu UUD menegaskan persyaratan menjadi hakim konstitusi amat berat, yaitu harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Walau bisa berasal dari latar belakang politik ataupun dunia akademik, seorang hakim konstitusi harus non-partisan dan bijaksana. Persyaratan yang dituntut UUD ini harus ditaati dengan seksama oleh lembaga DPR, Presiden dan MA dalam memilih calon hakim konstitusi.

Pada sisi lain, kewenangan MK yang demikian besar mengundang kritik, seolah 9 orang hakim konstitusi dapat begitu saja menganulir kerja 550 anggota DPR dan Presiden. Karena itu ada pemikiran agar putusan MK juga dapat diuji ulang. Persyaratan anggota MK yang begitu ketat dan latar belakang asal mereka yang berbeda (DPR, Presiden dan MA) dimaksudkan untuk meminimalisir kelemahan yang bisa terjadi. Tetapi membuat simpul dimana hasil uji konstitusionalitas oleh MK dapat diuji lagi oleh lembaga lain, yang kemudian tentu harus dapat diuji pula kembali, akan menciptakan lingkaran setan (vicious cicle) yang berbahaya. Oleh karena itu MK perlu cermat dalam mengambil sikap atau putusan. Untuk materi yang imperatif-eksplisit dinyatakan oleh UUD, putusan membatalkan sebuah atau sebagian UU relatif mudah dibuat. Namun untuk materi yang tidak imperatif-eksplisit dinyatakan, seperti tata cara pilkada yang dinyatakan oleh UUD harus demokratis[7], MK tidak dapat memerintahkan DPR dan Presiden untuk mengatur semua cara pilkada yang demokratis itu dalam UU, walaupun MK bisa menyatakan bahwa di samping pencalonan kepala daerah oleh partai politik ada cara lain yang juga demokratis[8]. DPR dan Presiden dapat membentuk undang-undang yang hanya mengatur salah satu atau beberapa tata cara pilkada yang demokratis dan tidak mengatur tata cara lainnya, sepanjang tidak menyatakan melarang bentuk pilkada lainnya (misalnya calon perorangan, pemilihan oleh DPRD) yang juga demokratis. Kewenangan mana masih berada dalam wilayah diskresi politik DPR dan Presiden.

Pasal 33 UUD 1945 mengenai perekonomian dipertahankan tetapi judulnya diubah dari “Kesejahteraan sosial” menjadi “Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial” dan dilengkapi dengan ayat (4) dan ayat (5) dan ditegaskan bahwa ketentuan pelaksanaan pasal 33 diatur dalam undang-undang. Ayat (1), (2) dan (3) tidak lagi dapat dijabarkan terlepas dari ayat (4) dan ayat (5) yang memberikan kualifikasi atas ayat (1), (2) dan ayat (3). Ringkasnya, dengan perubahan itu, perekonomian tidak dapat lagi dijalankan dengan pendekatan etatisme dan sentralistis di satu pihak dan di lain pihak tidak juga lepas-bebas menurut hukum dan kekuatan pasar. Efisiensi berkeadilan merupakan salah satu ciri pengembangan ekonomi nasional yang menggunakan kekuatan pasar yang diintervensi secara demokratis untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan guna mewujudkan keadilan dan kemakmuran.

Memahami apirasi rakyat, MPR 1999-2004 menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi nation and character building. Tanpa sumber daya manusia yang berkarakter dan trampil tidak mungkin bangsa ini maju menjadi bangsa yang maju dan tangguh. Di samping menegaskan bahwa pendidikan dasar adalah wajib dan dibiayai Pemerintah, UUD 1945 juga menegaskan agar negara (Pemerintah, lembaga-lembaga negara dan seluruh masyarakat) harus memprioritaskan alokasi 20% APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Memang UUD tidak langsung memerintahkan Pemerintah (eksekutif) untuk memenuhi ketentuan itu, tetapi perintah UUD itu mendorong semua pihak untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Anggaran 20 % itu harus menjadi komitmen semua pihak.

Sebagai bangsa besar yang majemuk tetapi bersatu, kebudayaan Indonesia amat banyak ragamnya dan merupakan kekayaan bangsa dan sebagai dasar berpijak bagi perkembangan bangsa selanjutnya. Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Ketentuan itu merupakan penegasan bahwa budaya Indonesia itu majemuk, terbuka dan terus berkembang.

Keberadaan Bank Sentral dalam UUD 1945 mendapat perhatian mendalam dalam rapat-rapat PAH I. Pembahasan mengenai topik ini dibayangi oleh tekanan krisis moneter dan wacana sistim CBS (Currency Board System – sistem dewan kurs), sebagai pengganti bank sentral sebagaimana diusulkan oleh Steve Hanke atau kurs tetap diambangkan dan dikaitkan dengan nilai sekeranjang mata uang asing sebagai bagian sistem bank sentral. Pada waktu itu Bank Indonesia sangat aktif melakukan lobi dengan PAH I, baik agar Indonesia tetap menggunakan sistim bank sentral dan agar UUD 1945 memberi independensi yang luas pada bank sentral maupun agar UUD 1945 menegaskan bahwa bank sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia. PAH I berpendapat bahwa sistem yang dipakai adalah sistem bank sentral, independensi bank sentral akan diatur dengan undang-undang, bukan oleh UUD dan nama Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak perlu dicantumkan untuk menghindarkan komplikasi konstitusional[9]. Bila Bank Indonesia merupakan lembaga tertentu yang menerima kewenangannya langsung dari UUD akan timbul kerumitan bila kebijakan bank sentral berbeda dengan kebijakan Pemerintah. Persoalannya akan menjadi permasalahan konstitusional. Selain itu sebuah bank sentral sebagai sebuah legal entity bisa dilikuidasi seperti isu mengenai pembubaran bank sentral Filipina (Banco de Pilipinas) karena pailit dan diganti dengan Bangko Central ng Pilipinas sebagai bank sentral. Menjadi pertimbangan juga bahwa bank sentral yang independen sepenuhnya dapat menjadi jalan masuk berbagai kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional.

 

Selanjutnya

Mengamandemen lagi UUD 1945 bukan suatu hal yang tabu. Demi kepentingan yang lebih luas, sepanjang untuk meluruskan kekurangan yang ada dengan berpegangan pada nilai-nilai Pembukaan, pada waktunya perbaikan tentu dapat dilakukan.

Sekarang prioritas baiknya ditujukan untuk membenahi perangkat perundang-undangan dan melaksanakannya agar memenuhi ketentuan dalam UUD dan mengajak semua pihak, pejabat dan masyarakat luas memahami nilai dan aturan main dalam demokrasi. Pendidikan kesadaran rakyat atas hak-haknya sudah cukup maju walaupun belum selesai. Rakyat sudah mau dan berani menyatakan pendapat dan perasaannya. Untuk hal mana LSM, media-massa, partai politik, pemuka dan pemerintah telah banyak berjasa. Tetapi memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai rambu-rambu hukum dan budaya dalam memperjuangkan haknya juga harus diupayakan. Jangan sampai demonstrasi misalnya dengan merusak pot kembang, merusak fasilitas umum, merusak kantor ataupun menteror rekan-rekannya yang tidak mau ikutan demonstrasi. Situasi seperti itu adalah demokrasi-semu yang akan menghancurkan demokrasi itu dan sekaligus membawa kehancuran bagi negeri. Demokrasi tanpa ketaatan hukum sebagai bagian dari supremasi hukum bukanlah demokrasi. Ini pekerjaan besar yang memerlukan ketekunan, juga dari LSM, media massa, partai politik, pemuka dan pemerintah. Kita semua harus berbenah diri. Jangan ada “LSM siluman” yang kerjanya memeras pejabat yang korup. (Pejabat yang lurus tentunya tidak takut diperas oleh LSM siluman). Jangan juga ada “wartawan gadungan” merusak citra wartawan karena memeras pejabat nakal. Pendeknya semua, LSM, media massa, ormas, partai politik, pemuka dan pejabat, harus introspeksi dan berbenah diri.

Perlu membedakan mereka yang atas nama demokrasi menganjurkan kekerasan dengan mereka yang menganjurkan upaya non-violence. Pada hakekatnya mereka yang menganjurkan kekerasan adalah kaum anti-demokrasi, atau paling tidak kaum machiavellist yang menghalalkan segala cara walaupun cara itu bertentangan terhadap sasaran yang mereka dengung-dengungkan. Kita harus menanamkan bibit-bibit etika dan budaya demokrasi yang sehat agar kita menjadi bangsa besar, yang bermartabat dan maju.

Ringkasnya. Harus tegas untuk tidak memberi peluang bagi mereka yang jelas-jelas anti demokrasi untuk turut berdemokrasi. Kebebasan berpendapat tentu harus dijamin. Tetapi UUD 1945 menegaskan bahwa “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis[10]. Kita harus membangun aturan hukum secara demokratis untuk melindungi pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Pengalaman Republik Weimar-Jerman perlu dijadikan cermin. “Kebebasan ideal” waktu itu, untuk membolehkan siapa saja, termasuk kaum Nazi yang anti-demokrasi ikut dalam proses demokrasi telah membunuh demokrasi dan jutaan rakyat Jerman menjadi korban dalam PD II.

Ada beberapa faktor eksternal yang menyebabkan amandemen UUD 1945 tahun 1999–2002 dapat dilaksanakan dan diselesaikan. Pertama, tuntutan perubahan atas UUD telah terakumulasi di tengah masyarakat dan kondisinya matang untuk perubahan. Kedua, kekuatan politik dominan pada era itu menyerap tuntutan itu dan menjadikannya sebagai bagian dari tugas panggilan. Situasi ini memungkinkan terjadinya perdebatan substansial yang menghasilkan kompromi politik yang diperlukan. Ketiga, proses amandemen telah terjadi secara low-profile22. Kondisi seperti itu harus ada jika ingin mengamandemen lagi UUD. Jika tidak upaya amandemen itu hanya akan menambah hiruk-pikuk politik yang tidak perlu bahkan akan sangat tidak menguntungkan.

Akhirnya, UUD 1945 hasil amandemen sudah cukup kuat untuk menjadi landasan dan memberi arah bagi reformasi berkelanjutan. Reformasi kita bukan reformasi “que sera sera, what ever will be will be. The future is not ours to see”. Ada tujuan yang ingin dicapai. Bangsa ini jangan koyak, negara kesatuan jangan pecah. Kita ingin mewujudkan cita-cita kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

[1]     Putaran ke-2 pada hakekatnya adalah mekanisme darurat; hanya dilakukan bila putaran ke-1 tidak berhasil. Selama proses amandemen FPDI-P menghendaki agar pintu darurat (putaran ke-2) cukup dilakukan oleh MPR karena ongkos ketegangan dan perseteruan politik dan biaya lain-lain pilpres amat mahal, sementara putaran ke-2 hanyalah pintu darurat yang dipakai bila putaran ke-1 tidak berhasil. Di AS, bila suara hasil pilres putaran ke-1 sama besar, putaran ke-2 dilakukan oleh Kongres

[2]    Kata “gabungan” dipergunakan dalam rumusan pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kata ini mengandung arti tertentu, yaitu terikat menjadi satu, adanya ikatan kesatuan dari yang bergabung dan lebih dari sekedar kerjasama atau persekongkolan. Gabungan menyebabkan yang bergabung bergerak dalam satu kesatuan. Hasil kerja gabungan adalah milik bersama. Lihat kamus Poerwadarminta

[3]    Mendirikan partai politik tidak dilarang dan partai politik tidak dapat dibubarkan begitu saja. Tetapi mengatur persyaratan parpol untuk ikut pemilu dan ikut pencalonan presiden dapat dilakukan dan digunakan untuk menyederhanakan jumlah (efektif) partai. Di Malaysia, partai-partai pendukung pemerintah sekarang tergabung dalam UMNO. Kelihatannya UMNO satu partai tetapi sebenarnya koalisi dari beberapa partai

[4]      Kriteria ini sedikit banyak diilhami oleh praktek impeachment di Amerika Serikat berdasarkan konstitusi AS article II, section 4. High crimes bersangkutan dengan memberikan bantuan dan kemudahan bagi musuh, merusak negara untuk kepentingan perorangan atau kelompok, atau juga pidana mencoba mengubah hasil pemilu. Harus diakui bahwa dalam prakteknya pengertian ini sulit disepakati. Tetapi memang impeachment adalah sebuah proses yang sukar dan memakan waktu lama

[5]     3 dunia yang melatar belakangi anggota MK dimaksudkan sebagai penambah keseimbangan, sebuah jagad cilik, bagi MK dalam menimbang setiap kasus

[6]     PAH I membuat rumusan demikian pada tahun 2000, pada waktu belum ada kesepakatan mengenai tata cara pemilihan Presiden. Waktu itu wacana apakah Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh MPR masih terus berkembang sampai tahun ST MPR 2001 dan ST MPR 2002

[7]     Di negara-negara demokrasi seperti Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dll., dengan berbagai pertimbangan, pemilihan kepala daerah ada yang dilakukan dengan pemilihan langsung, pemilihan oleh dewan daerah, ataupun penunjukan oleh Presiden. Proses itu diterima sebagai demokratis sepanjang tata cara pilkadanya merupakan keputusan politik demokratis dan ada mekanisme check and balance untuk mengontrol kiprah kepala daerah

[8]     Pada awal masa kemerdekaan fungsi bank sentral juga pernah dilaksanakan oleh BNI 46 (de Javasche Bank)

[9] Dikutip dari BAB XA : Hak-Hak Asasi Manusia, pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang diputuskan dalam ST MPR tahun 2000

[10]     Cukup banyak yang mengira (under estimate) bahwa MPR (1999-2004) tidak akan mau dan tidak akan mampu mereformasi sistem politik secara bermakna dan karena itu tidak terlalu memberi perhatian. Situasi itu justru memberi peluang bagi MPR untuk bekerja. Tetapi ternyata MPR bahkan sampai memotong sendiri kekuasaannya yang tidak terbatas. MPR yang tadinya lembaga super dan powerfull telah mengubah dirinya menjadi sebuah lembaga negara biasa yang kekuasaannya jelas dan terbatas dan mengganti sistem MPR dengan sistem check and balance. Kalau amandemen dilakukan dengan cara high profile mungkin sekali amandemen akan gagal.

Drs. Jakob Tobing, MPA.

Seri Pengantar Amandemen UUD 1945, disusun berdasarkan paper yang berjudul “Amandemen UUD 1945 dan Reformasi” (Jakob Tobing: Institut Leimena, 27 Maret 2008).  Jakob Tobing adalah Presiden Institut Leimena. Beliau pernah menjadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004–2008); Ketua PAH I BP-MPR: Amandemen UUD 1945, 1999–2004; Ketua Komisi A: Amandemen UUD 1945 pada ST MPR 2000, ST MPR 2001, SI MPR 2002, dan ST MPR 2003; Anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) 1999-2002; Ketua PPI (Panitia Pemilihan Umum Indonesia) 1999.