Pendahuluan.

Aristotle (384 – 322 S.M.) mengatakan bahwa konstitusi adalah pengaturan kekuasaan dalam negara, dimana pembagian tugas-kewenangan ditentukan, pemegang kekuasaan itu ditentukan. Didalamnya juga tertanam tujuan akhir yang ingin dicapai oleh negara dan seluruh rakyatnya.

Ada yang mengatakan, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu Negara, berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara(K.C. Wheare1966). Peraturan disini merupakan gabungan antara ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak memiliki sifat hukum (non legal). Juga sering dikatakan bahwa konstitusi itu adalah sebuah sistem keyakinan dan hukum dengan mana sebuah negara dijalankan.

Konstitusi mempunyai dua sisi, yaitu sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Sebagai hukum dasar, konstitusiberisi aturan-aturan dan ketentuan tentang hal-hal yang mendasar dalam kehidupan suatu Negara, seperti pembatasan kekuasaan pemerintah dan jaminan akan hak dasar rakyat. Sebagai hukum tertinggi, konstitusi berada di puncak piramida peraturan hukum (supreme law of the land)serta mempunyai validitas yang lebih tinggi dibanding perundangan biasa.

Menurut peranannya dalam kehidupan negara, konstitusi dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu konstitusi yang normatif dan preskriptif, konstitusi nominal, dan konstitusi semantik atau konstitusi semu (pseudo-constitution).

  • Konstitusi yang normative itu merupakan resep yang diterapkan serta efektif mengatur dan mengendalikan proses kehidupan bernegara.
  • Konstitusi yang nominal adalah konstitusi dimana aturan dan ketentuan di dalam konstitusi itu tidak atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana harusnya. Berbagai kondisi setempat, termasuk tidak siapnya institusi pelaksana dan masyarakat menyebabkan konstitusi itu tidak efektif.
  • Konstitusi yang semu (pseudo-consitution) pada dasarnya berisikan ketentuan untuk meresmikan dan melegalisir monopoli kekuasaan.Sebaliknya daripada menjamin hak-hak rakyat, konstitusi ini memberi landasan danpembenaran bagi penguasa untuk bertindak menurut keinginanya sendiri. Konstitusi ini adalah milik negara-negara otoriter.

Dari sisi itu, konstitusi dapat dibedakan kedalam konstitusi demokratis dan konstitusi yang otoriter. Konstitusi juga dibedakan dalam kontitusi yang tertulis dan konstitusi tidak tertulis (Inggris dan Selandia Baru).

 

Konstitusi yang demokratis.

Yang akan dibicarakan lebih lanjut adalah konstitusi yang demokratis, yaitu konstitusi yang didasarkan pada kedaulatan rakyat dan supremasi hukum (rule of law).Dalam kaitan itu, penggunaan kekuasaan dibatasi oleh konstitusi, sehingga hukum merupakan pengendalian terhadap penggunaan kekuasaan agar tidak melanggar hak-hak rakyat. Tanpa pengaturan kekuasaan negara oleh sebuah sistim hukum, prosedur, dan peradilan, demokrasi tidak akan berdiri.

Atas nama demokrasi, kekuasaan yang dipilih rakyat sering memanipulasi hukum. Peraturan perundang-undangan dimanipulasi justru untuk memberi pembenaran kepada kebijakan atau tindakan diskriminatif.

Oleh karena itu, dalam suatu negara demokrasi, struktur pemerintahan, kekuasaan dan batas kewenangannya diatur dalam konstitusi. Bentuk demokrasi seperti ini, yang dikenal sebagai demokrasi konstitusional, percaya bahwa walaupun para wakil rakyat dan pejabat dipilih oleh rakyat tetapi mereka harus tunduk pada batasan yang diatur oleh konstitusi.

Jadi, dengan rule of law, demokrasi dapat diartikan sebagai penundukan kekuasaan negara pada konstitusi dan hukum. John Adam(1780) mengatakan ini adalah “a government of laws, not men.”

Dengan demikian, sebuah konstitusi yang demokratis mengandung prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip negara hukum (rule of law)dan keduanya saling terkait.

Prinsip kedaulatan rakyat (popular sovereignty)dinyatakan dengan penegasan bahwa kekuasaan pemerintah dibentuk dengan dan ditopang oleh persetujuan rakyat, baik langsung maupun melalui wakil-wakil rakyat.

Prinsip negara hukum, yang juga disebut nomokrasi (nomocracy), menegaskan bahwa hukum yang memerintah, bukan pembuat hukum dan/atau para penguasa.  Aristotle mengatakan “law should govern”. Tetapi, pengertian negara hukum itu berbeda dari satu negara ke negara lain, tidak seragam. Semua negaraberpendapat bahwa negara hukum mempunyai makna yang positif, sehingga negara otoriter juga menyatakan negara-nya adalah negara hukum. Sehubungan dengan itu, pengertian negara hukum (rule of law)perlu dibedakan dengan memperhatikan unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Berdasarkan unsur-unsur yang terdapat didalamnya, negara hukum dapat dibedakan mulai dari yang “tipis” (thin) sampai yang ‘tebal” (thick).

Pengertian negara hukum yang paling tipis menempatkan hukum sebagai pelayan kekuasaan pemerintah, bukan untuk membatasinya. Kelompok negara hukum dalam pengertian tipis seperti ini umum terdapat di negara-negara otoriter. Sebenarnya ini bukan rule of law tetapi rule by law.Versi “tipis”lebih mementingkan sumber hukum yang jelas dan bentuk hukum yang tepat, tetapi tidak pada kandungan substansi. Oleh karena itu dalam pengertian yang sempit, kekuasaan bisa melanggar hak asasi manusia tanpa melanggar hukum.

Pada pengertian yang “tebal”, negara hukum itu mengandung makna bahwa negara, termasuk para pejabatnya, tunduk kepada hukum.

Bisa dikatakan bahwa versi “tebal” adalah versi “tipis” yang dilengkapi dengan isi-kandungan hukum, seperti prinsip-prinsip demokrasi, hak-hak asasi, moral dan rasa keadilan.

Dengan demikian sesungguhnya, pengertian negara hukum bergerak dari yang paling “tipis”, dimana hukum itu melayani kekuasaan, dan lebih tepat disebut sebagai rule by law,sampai  pada ujung yang lain, negara hukum yang memasukkan hak asasi, demokrasi dan hak-hak dasar kesejahteraan sosial (social welfare rights) (Brian Z. Tamanaha, 2010).Tetapi, perlu diperhatikan bahwamemasukkan sekaligus seluruh aspek filsafat sosial politik kedalam penerapan hukum dapat mengurangi daya-guna supremasi hukum (Randall Peerenboom, 2004).

Namun, umum disepakati bahwa dalam konstitusi yang demokratis, rule of law itu mempunyai peran ganda, yaitu untuk melindungi rakyat dari tindakan sewenang-wenang kekuasaan dan untuk melindungi rakyat dari tindakan semena-mena sesama rakyat.

Untuk tujuan itu, maka konstitusi juga harus memastikan bahwa kekuasaan kehakiman adalah sebuah kekuasaan yang independen.

Selanjutnya, dalam kedudukannya sebagai hukum tertinggi, konstitusi adalah merupakan rujukan dari semua peraturan perundangan dan kebijakan dibawahnya. Dengan demikian peraturan perundang-undangan tersusun secara berjenjang-hierarkis dengan Undang-Undang Dasar dipuncak. Untuk itu maka konstitusi yang demokratis memiliki cara untuk menguji konstitusionalitas peraturan perundangan terhadap konstitusi (judicial review).

Dengan wacana diatas, konstitusi yang demokratis seyogianya mempunyai kelembagaan dan prosedur tertentu untuk membatasi kekuasaan pemerintah.

Yang pertama adalah pemisahan dan sekaligus saling berbagi kekuasaan (separated and shared of powers). Setiap cabang kekuasaan mempunyai fungsi tertentu seperti legislatif, eksekutif, dan judikatif. Tetapi tiap cabang itu juga berbagi fungsi dengan cabang kekuasaan lain.

Yang kedua adalah checks and balances. Saling mengawasi dan saling mengimbangi. Cabang kekuasaan memiliki kewenangan yang cukup untuk mengimbangi kewenangan cabang (-cabang) yang lain. Judicial review misalnya, adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji dan dapat membatalkan karya cabang lain bilamana karya itu (dhi undang-undang) disimpulkan berlawanan dengan konstitusi.

Yang ketiga adalah proses hukum yang adil (due process of law). Dengan prinsip ini, perlindungan atas hak-hak asasi, seperti perlindungan hak milik, kebebasan berpendapat, dan sebagainya terjamin.

Yang keempat adalah jaminan pergantian kekuasaan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum menjamin bahwa posisi kunci dalam pemerintahan, seperti presiden, anggota DPR, akan di pertandingkan secara berkala dan peralihan kekuasaan dilakukan secara dami dan teratur.

Pada sisi lain, konstitusi juga memuat tujuan yang ingin dicapai oleh rakyat yang membentuk negara.Oleh karena itu, konstitusi sebagai hukum tertinggi memberi landasan dan arah bagi peran hukum sebagai instrumen perubahan sosial untuk mencapai suatu keadaan yang ingin dituju atau untuk mengubah keadaan keadaan yang ada (Mochtar Kusumaatmadja, 1970; Satjipto Rahardjo,2009) atau sebagai sarana perekayasa dan pembaharuan masyarakat.

Di samping itu konstitusi juga mengandung peran simbolik yaitu sebagai sarana pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation) serta center of ceremony; sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit yaitu bidang politik dan dalam arti luas mencakup bidang sosial ekonomi (Jimly Asshidiqqie, 2008).

 

[1] Bahan pada Johannes Leimena School of Public Leadership, Institut Leimena, Jakarta, 18 Agustus 2014.

Drs. Jakob Tobing, MPA.

 Jakob Tobing adalah Presiden Institut Leimena. Beliau pernah menjadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004–2008); Ketua PAH I BP-MPR: Amandemen UUD 1945, 1999–2004; Ketua Komisi A: Amandemen UUD 1945 pada ST MPR 2000, ST MPR 2001, SI MPR 2002, dan ST MPR 2003; Anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) 1999-2002; Ketua PPI (Panitia Pemilihan Umum Indonesia) 1999