Suasana begitu mencekam, orang berlari kesana-kemari mencoba selamatkan diri. Malam itu desa kami, ‘Balinuraga’, diserbu oleh ribuan massa dari desa Agom. Bak orang yang kerasukan, mereka tak lagi memandang tua ataupun muda, semua dilibas dengan berbagai senjata tajam, termasuk senjata api rakitan.

Bahkan rumah-rumah warga pun dibakar. Jeritan dan tangisan terdengar di sana-sini, semua orang menjadi panik. Tanpa pikir panjang, Aku menggendong Aisah, Bang Rasman pun menggendong Maulana, kami berlari mencari perlindungan tanpa membawa apapun, hanya pakaian dibadan. Akhirnya, kami pun tiba di tempat pengungsian Sekolah Polisi Negara Kemiling, Bandar Lampung.

Entah apa yang melatar belakangi bentrokan malam itu, hingga kini berita yang kuterima masih simpang siur. Ada yang bercerita, bentrokan itu bermula ketika dua orang gadis asal Desa Agom yang tengah mengendarai sepeda motor diganggu oleh pemuda asal Desa Balinuraga hingga jatuh dan luka-luka. Tetapi, ada pula yang bercerita bahwa peristiwa ini dipicu oleh kesalahpahaman yaitu, sekitar 10 pemuda dengan mengendarai sepeda dari Desa Balinuraga melintas di jalan menuju ke desa.

Dari arah berlawanan, kemudian tanpa sengaja, rombongan ini menyerempet pengendara motor yang dinaiki oleh dua perempuan. “Karena terjatuh akhirnya ditolong. Kalau menolong mau tidak mau dipegang,” hal inilah yang menimbulkan persepsi keliru di mata warga lainnya. Mereka dianggap melakukan tindakan pelecehan. Kepala Desa Agom dan Balinuraga sebetulnya telah mengadakan perjanjian damai atas kejadian tersebut. Namun rupanya belum mencapai titik temu.

Satu bulan telah berlalu, Aku, Bang Rasman dan kedua anakku masih tinggal di penampungan Sekolah Polisi Kemiling. Was-was rasanya hati bila kembali ke desa. Aku tak tahu lagi bagaimana kondisi rumah dan harta benda kami. “Ikhlaskan saja dek, yang penting kita berempat masih bersama-sama,” itulah ucapan Bang Rasman berkali-kali yang menguatkanku. Memang tak sedikit warga kampung yang kehilangan sanak familinya akibat bentrokan kemarin.

Ku dengar, beberapa waktu lalu telah terjadi upaya perdamaian yang dilakukan di Mahan Agung. Bahkan peristiwa itu disiarkan langsung di salah satu stasiun televisi ternama di negeri ini. Tapi, perdamaian awal itu tidak membuat selesai, karena banyak orang tidak terima. Soalnya kenapa yang perang disini tapi yang di damaikan di Bandar Lampung. Dan orang-orang yang ikut berdamai itu bukan masyarakat yang ikut berkonflik.

Akhirnya pada tanggal 22 November 2012 diadakanlah deklarasi damai dan secara simbolik mengundang seluruh masyarakat lampung selatan dari pihak lampung, bali dan juga etnis lainnya. Deklarasi tersebut dihadiri oleh kurang lebih 15 ribu masyarakat Lampung Selatan.

Pemerintah dan Tokoh Adat menjadi saudara, dengan cara mengangkat pak bupati jadi keluarga dengan menggunakan adat Begawi, mereka memotong kerbau dan mengangkat bupati sebagai keluarga. Setelah potong kerbau, dagingnya di bagi-bagi. Hingga akhirnya terjadi pesta rakyat dan ditutup dengan saling menukarkan topi; warga Lampung memberikan topinya kepada orang Bali, begitu juga sebaliknya.

Perdamaian akhirnya bisa terwujud, karena semua sudah diangkat menjadi saudara secara adat. Melibatkan lebih banyak orang ternyata bisa lebih berhasil dan sukses.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber :

– Identifikasi ego dalam celah struktur pada proses perdamaian konflik etnis. Oleh : Melisa Arisanti (depok, 2014)
 Tempo.com

📷 : viva.com