1. Konstitusi dan Saya

Sebutlah kata konstitusi dan kebanyakan orang akan mengerutkan kening dalam-dalam. Sebagian lainnya mungkin mengangguk, tanda pernah mendengar kata tersebut, tapi jika mereka diminta menjelaskan, kebanyakan menggeleng pasrah.

Saya dan anda mungkin pernah bereaksi seperti itu. Oleh karena itulah perjalanan mengenali konstitusi kita ini akan dimulai dengan berkenalan terlebih dahulu dengan pengertian konstitusi dan apa hubungannya dengan saya?

Mari kita mulai dengan satu pertanyaan. Apakah anda warganegara dari suatu negara? Umumnya, orang akan menjawab, ya. Jawaban “ya” inilah yang akan membawa kita berjumpa dengan konstitusi. Konstitusi merupakan dasar yang mengatur hubungan antara kita – sebagai warganegara – dengan negara. Ia bisa tertuang dalam bentuk sebuah dokumen tertulis, maupun tidak. Di Indonesia, konstitusi kita tertuang dalam sebuah dokumen tertulis, yaitu Undang-undang Dasar 1945.

Konstitusi adalah ibarat Surat Tanda Kenal Lahir suatu negara. Di dalamnya, terekam perjuangan suatu bangsa di masa lalu, dan dinyatakan apa yang ingin dicapai oleh bangsa tersebut. Nanti, di bab berikutnya, kita akan membahas bagaimana hal ini tertuang dalam konstitusi kita.

Konstitusi bukanlah sebuah dokumen yang memuat aturan-aturan yang biasa, Ia memuat aturan tertinggi dari suatu negara. Idealnya, Ia mengatur hubungan (hak dan kewajiban) negara dengan warganegaranya, pembagian kekuasaan dalam negara, dan pokok-pokok pemerintahan suatu negara.

Dari pengertian-pengertian di atas, ada dua jenis konstitusi yang bisa kita temukan. Pertama, konstitusi yang dipaksakan kelompok yang berkuasa saja, di mana segala sesuatu kemudian ditentukan oleh pemerintah. Konstitusi seperti ini menjadi dasar suatu pemerintahan yang otoriter. Rakyat hanya menjadi objek, menerima apa saja yang ditetapkan pemerintah.

Kedua, konstitusi yang dibentuk dengan semangat kebersamaan, di mana isinya menghargai hak-hak dasar manusia. Konstitusi ini akan menjadi dasar sebuah negara yang demokratis. Ada interaksi antara rakyat dan pemerintah. Pemerintah bertindak atas aspirasi rakyat dan rakyat mengawasi pelaksanaan aspirasi itu.

Konstitusi Indonesia termasuk dalam jenis konstitusi yang demokratis. Di dalamnya terdapat paham negara hukum (Rule of Law), pemisahan kekuasaan, kehakiman yang merdeka, dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Kita akan membahas hal-hal tersebut pada bab-bab selanjutnya di buku ini.

Konstitusi kita telah memberi perlindungan pada setiap warganegara dari kesewenang-wenangan pemerintah maupun sesama. Tapi perwujudan hal tersebut dalam kenyataan bergantung pada pemerintah dan kita, masyarakat Indonesia sendiri.

James Madison pernah mengungkapkan, “Kalau yang memerintah adalah malaikat, mereka tidak perlu diawasi. Demikian pula kalau yang diperintah adalah malaikat, mereka tidak perlu diawasi. Namun kita tahu bahwa baik pemerintah maupun yang diperintah bukanlah malaikat. Maka pengawasan adalah suatu keniscayaan.”

Pernyataan James Madison mengingatkan kita untuk mengawasi baik pemerintah maupun masyarakat. Pelaksanaan konstitusi – yang mengatur hubungan antara masyarakat dengan negara – perlu diawasi. Hidupnya konstitusi suatu negara bergantung pada masyarakatnya.

Di sinilah pemahaman setiap warganegara tentang konstitusi menjadi penting. Di dalam konstitusi tertuang hak dan tanggungjawab kita. Ia adalah ibarat “aturan main” dasar di sebuah negara. Apalagi dalam sebuah negara demokratis seperti Indonesia, masyarakat bukanlah objek, melainkan subjek yang berinteraksi dengan pemerintah. Ketika kita tidak memahami “cara-cara” yang benar dalam melakukan interaksi tersebut, maka kita sendirilah yang rugi.

Dalam Pemilihan Umum, misalnya. Banyak di antara kita yang memilih wakil kita di pemerintahan hanya karena ikut-ikutan. Jika kita paham bahwa siapa yang kita pilih akan menentukan “nasib” kita selama beberapa tahun ke depan, tentu kita tidak akan sembarang memilih. Sembaranglah memilih, dan tak aneh jika kita kecewa melihat kinerja mereka. Yang lebih menyedihkan, ketika kita menyampaikan kekecewaan kita, mungkin mereka akan berkata, “Kan Anda yang memilih saya?”

Contoh di atas menunjukkan betapa ruginya kita sebagai warganegara jika tak memahami konstitusi. Ini wajar, karena Konstitusi dibuat untuk kemaslahatan masyarakat. Jika tak paham, tentu masyarakatlah yang akan merugi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konstitusi adalah sesuatu yang tak bisa ditawar lagi.

Konstitusi bukan hanya menjadi urusan pemerintah, atau ahli-ahli hukum saja. Ia adalah urusan saya dan Anda sebagai warganegara Indonesia. Kenali konstitusi Anda, dan melaluinya mari kita bersama-sama membangun bangsa!

2. Indonesia Punya Cita-Cita!

Bangsa Indonesia lahir dari sebuah proses yang panjang. Ia tidak muncul begitu saja, namun melewati tahapan demi tahapan yang kompleks. Penjajahan, ironisnya, adalah hal yang mengentalkan rasa kebersamaan di antara sekelompok besar manusia yang nantinya akan menyebut diri mereka Indonesia.

Dalam tulisan ini kita akan bertualang sedikit ke masa lampau, menelusuri jejak-jejak pertumbuhan bangsa ini. Dari sana, kita akan melihat apa yang menjadi cita-cita bangsa ini dan keterkaitannya dengan kehidupan kita saat ini.

Sekitar abad ke-14 hingga abad ke-17 terjadi sebuah perkembangan di daratan Eropa yang dikenal dengan sebutan Rennaisance. Kita tidak akan membahas hal tersebut terlalu jauh karena ini bukan buku sejarah. Rennaisance membawa dampak yang besar bagi peradaban manusia, salah satunya mengenai prinsip-prinsip kemanusiaan.

Pemerintah Kolonial Belanda saat itu juga terkena imbas dari ide-ide kemanusiaan yang dibawa oleh era Rennaisance tersebut. Mereka kemudian mengembangkan apa yang disebut sebagai politik etis, suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan rakyat tanah jajahan.

Salah satu program politik etis adalah pendidikan. Di sanalah, terjadi transfer ilmu dari daratan Barat pada pemuda-pemuda di tanah jajahan. Keinginan untuk duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan “bangsa Barat” pun mulai bersemi di Hindia Belanda. Keinginan tersebut semakin teguh setelah melihat keberhasilan bangsa Jepang menang dari Rusia dalam peperangan yang berlangsung tahun 1904-1905. Kemenangan Jepang menggemparkan seluruh dunia. Melaluinya, sebuah mitos tua bahwa bangsa Timur tak akan bisa mengalahkan bangsa Barat, dipatahkan! Akibatnya, hati para pemuda di Hindia Belandapun semakin teguh untuk memperjuangkan kebaikan bagi kaumnya.

Pada tahun 1908, berdirilah Budi Utomo, organisasi politik pertama di Hindia Belanda. Namun bangsa Indonesia belum lahir di sini. Pergerakan pemuda saat itu masih berkutat dalam masalah jati diri kebangsaan. Pergerakan-pergerakan yang ada masih bersifat sukuisme. Sekat-sekat kesukuan itu baru melebur pada tahun 1928. Dalam Kongres Pemuda II tersebut, tanpa banyak perdebatan, para pemuda yang berasal dari rupa-rupa organisasi kesukuan tersebut sepakat untuk menjadi satu bangsa: Indonesia. Inilah kelahiran bangsa Indonesia. Indonesia bukanlah sekedar nama, di dalamnya terkandung cita untuk menjadi manusia yang setara dan utuh.

Setelah itu, bangsa ini terus bergulat untuk lepas dari belenggu penjajahan dan hidup bersama dalam sebuah negara merdeka. Negara yang akan berdiri nanti tentu harus memiliki tujuan bersama.

Proses persiapan kemerdekaan Indonesia saat itu menemukan ruang untuk dimatangkan karena mendapat “dukungan” dari pemerintah Jepang. Jepang memerlukan dukungan Indonesia untuk melawan Sekutu sehingga Ia perlu mengambil hati bangsa Indonesia – caranya, dengan berjanji akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia.

Para pendiri bangsa menyadari maksud di balik dukungan Jepang tersebut. Tak kalah cerdik, mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mematangkan rencana kemerdekaan Indonesia! Dasar negara dan rancangan konstitusi pun mulai dibicarakan dan dipersiapkan.

Meskipun proses persiapan kemerdekaan Indonesia sempat difasilitasi Jepang, pada akhirnya, kemerdekaan Indonesia bukan hasil pemberian Jepang! Pada tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda menculik Sukarno ke Rengasdengklok, mendesak agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Mereka menegaskan, kemerdekaan Indonesia tidak boleh atas pemberian penjajah, tapi harus berupa hasil perjuangan sendiri!

Tanggal 17 Agustus, proklamasi pun dilakukan oleh Sukarno-Hatta, ditandatangani atas nama bangsa Indonesia. Dengan proklamasi ini, teguh sudah, kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil pemberian, namun hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri! Dari tanggal 17 Agustus hingga 18 Agustus,

Panitia Persiapakan Kemerdekaan Indonesia berapat untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945, memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, serta membentuk Komite Nasional. Di sini ada sebuah kejadian menarik, yaitu penghapusan tujuh kata dalam rancangan pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Kata-kata tersebut adalah : “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya-pemeluknya.”

Penghapusan tersebut dilakukan karena keberatan yang diungkapkan oleh wakil-wakil dari Indonesia Timur. Jika kata tersebut tidak dihapus, mereka menyatakan keberatan untuk menggabungkan diri dengan Indonesia. Di sinilah teladan kebesaran hati para pendiri bangsa kita temukan. Cita-cita untuk hidup bersama yang telah lama dipupuk membuat para pendiri bangsa yang lain berbesar hati untuk menghapus ketujuh kata tersebut.

Rapat kemudian mengesahkan konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945. Pada alinea ke-4 bagian pembukaan tertuang tujuan bernegara kita, yaitu :

  1. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
  2. memajukan kesejahteraan umum;
  3. mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
  4. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Cara pencapaian cita-cita ini kemudian dijabarkan di bagian batang tubuh konstitusi kita. Cita-cita ini bukan saja menjadi tujuan bernegara, tetapi juga bintang penuntun dalam menyusun cara-cara mencapai tujuan tersebut. Cara-cara yang disusun tak boleh bertentangan dengan cita-cita itu sendiri misalnya: tak boleh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebagaimana tertulis juga dalam alinea ke-4 Undang-undang Dasar 1945, cita-cita bangsa ini dilaksanakan dengan berdasar pada Pancasila. Sukarno menyatakan bahwa Pancasila adalah suatu paham yang sejak awal ada di dalam masyarakat Indonesia. Pancasila bukanlah sebuah doktrin baru buatan penguasa yang kemudian mesti dihafalkan saja. Pancasila adalah karakter yang melekat pada bangsa Indonesia, pada manusia Indonesia. Dasar negara kita, Pancasila, adalah rambu-rambu dalam perjalanan bangsa ini menuju cita-citanya.

Dengan demikian, pernyataan mengenai tujuan dan dasar negara tertuang di bagian pembukaan konstitusi kita. Inilah sebabnya bagian pembukaan disebut bagian ideologis, sedangkan bagian batang tubuh menguraikan struktur dan prosedur untuk mencapainya. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa ketika amandemen Undang-undang Dasar 1945 dilakukan, semua sepakat untuk tidak mengubah bagian pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Dari pemaparan di atas kita dapat melihat bagaimana rangkaian perjuangan bangsa meraih kemerdekaan. Bagaimana cita-cita Indonesia bertumbuh, mengental, mengikat bangsa ini untuk hidup bersama. Proklamasi menjadikan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menemukan ruang untuk hidup, sebuah negara bernama Indonesia. Mengotak-ngatik pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berisikan dasar, dan tujuan mengapa negara ini dibentuk sama saja dengan mengotak-ngatik proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Dengan ini kita paham bahwa Indonesia bukan dibentuk tanpa tujuan. Kita juga bukanlah sebuah negara yang bersifat, Que sera-sera, “Apapun yang terjadi, terjadilah”. Tidak! Kita mempunyai tujuan yang jelas. Kondisi akan terus berubah, tapi cita-cita ini akan tetap demikian adanya. Cara pencapaian cita-cita tersebut mungkin harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, tetapi, lagilagi, cita-cita ini akan tetap demikian adanya. Indonesia punya cita-cita! Dan kini, bagian kita adalah mengetahui cara-cara untuk mencapainya!

Langkah Praktis
  • Membaca bagian pembukaan UUD 1945
  • Mengingat kembali sila-sila Pancasila
  • Mengamati berita, atau kejadian di sekitar lalu coba nilai apakah cita-cita negara yang tertuang dalam UUD 1945 masih diperjuangkan atau tidak. Bagaimana dengan Pancasila?
  • Bertanya pada beberapa orang apakah mereka tahu bahwa Indonesia punya cita-cita, atau masihkah mereka ingat Pancasila? Jika tidak, coba berbagi dengan mereka, tularkan rasa optimis untuk mengarahkan Indonesia kembali pada cita-citanya.
Bagian Konstitusi Terkait Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segengap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaa, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Inonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Demokrasi dan Nomokrasi : Dua Sisi Mata Koin yang Tak Terpisahkan
“…yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”

Kedaulatan rakyat atau demokrasi merupakan kata lain yang kerap kita dengar di era reformasi. Tapi sesungguhnya apakah demokrasi itu? Demokrasi seperti apa yang digariskan oleh konstitusi kita? Mengapa kita harus memilih corak demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Demokrasi, secara sederhana, dapat dipahami sebagai suatu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dari rakyat, berarti mereka yang menjadi penyelenggara negara berasal dari rakyat atau sekurang-kurangnya didukung oleh rakyat. Oleh rakyat, berarti mereka yang bertindak sebagai penyelenggara negara ditentukan oleh rakyat. Untuk rakyat, berarti mereka yang telah dipilih menjadi penyelenggara negara bertindak atas nama dan untuk kepentingan rakyat.

Harapan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang demokratis dapat kita lihat dalam petikan alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 yang tertera di atas. Para Bapak Bangsa menyatakan dengan tegas, kedaulatan rakyat – bukan kedaulatan negara – yang akan menjadi corak dari negara Republik Indonesia. Hal ini merupakan satu hal yang tak boleh diganggu gugat.

Lantas kita masuk ke pertanyaan berikutnya. Demokrasi seperti apa yang digariskan oleh Konstitusi kita?

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan berdasarkan Pancasila: KeTuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bagian pembukaan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus didasarkan atau dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Demokrasi kita bukanlah demokrasi di mana pilihan-pilihan atau keputusan-keputusan didasarkan pada suara terbanyak (mayoritas) semata. Dalam sistem demokrasi yang demikian, kaum minoritas harus menerima apapun keputusan dari kaum mayoritas.

Demokrasi kita adalah demokrasi konstitusional yang artinya demokrasi yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Suara terbanyak yang menghormati, yang selaras dengan apa yang ditetapkan dalam konstitusi kita, itulah yang dapat diterima. Konstitusi kita menjunjung kesetaraan, keadilan, menghargai manusia, bukan “manusia kebanyakan”. Dengan demikian, demokrasi kita mengedepankan musyawarah dan dialog untuk menghasilkan suatu keputusan terbaik bagi setiap pihak.

Demokrasi, dalam pelaksanaanya, tidak dapat berjalan sendiri. Selalu terdapat kemungkinan terjadinya perlakuan sewenang-wenang terhadap rakyat baik yang dilakukan oleh penguasa maupun dari sesamanya sendiri. Negara berkewajiban untuk melindungi warganegaranya dari berbagai bentuk penindasan ini. Di sinilah kita berjumpa dengan paham negara hukum atau nomokrasi.

Paham negara hukum, mencakup empat elemen penting1 yaitu perlindungan hak asasi manusia, pemerintahan berdasarkan hukum, pemisahan kekuasaan yang saling mengawasi dan mengimbangi, dan peradilan tata usaha negara. Selain itu, suatu negara hukum juga menjamin adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka–meski bukan berarti ia bebas dari pengawasan sama sekali. Semuanya ini pada intinya diadakan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan hak baik oleh penguasa maupun rakyat.

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan demikian, prinsip-prinsip negara hukum yang kemudian terjabarkan lebih lanjut dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 menjadi “penjaga” berjalannya demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam tataran pelaksananya, demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) diwujudkan dalam dua hal: instrumen/alat-alat, dan prosedur-prosedur yang dasar-dasarnya diatur di dalam Konstitusi. Sebagai contoh, Konstitusi kita mengatur beberapa instrumen seperti pemisahan kekuasaan yang saling mengawasi dan mengimbangi, dan berbagai lembaga negara dengan kewenangan masing-masing.

Konstitusi kita juga mengatur prosedur-prosedur seperti pelaksanaan pemisahan kekuasaan, pelaksanaan kewenangan saling mengawasi dan mengimbangi antarlembaganegara, proses pembentukkan Undang-undang yang demokratis, dan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan Konstitusi. Dengan demikian, pembentukan setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh serampangan, melainkan harus selalu merujuk pada peraturan yang lebih tinggi.

(Pembaca hendaknya jangan kuatir kalau-kalau sejak tadi dahinya berkerut-kerut menemukan beberapa istilah yang kedengarannya asing. Kita akan mengurainya satu persatu nanti!).

Dari uraian di atas, dapat kita katakan bahwa demokrasi dan nomokrasi adalah bak dua sisi mata koin yang sama. Kita tidak bisa menjalankan yang satu dan meninggalkanya yang lain. Demokrasi tanpa hukum adalah kekacauan. Negara hukum tanpa demokrasi akan menjadi negara yang dikendalikan oleh hukum – sekalipun mungkin hukum itu tak berpihak pada rakyat.

Karena itu baik demokrasi maupun nomokrasi harus berjalan bersama-sama. Di Indonesia, kedua prinsip ini telah diakomodasi oleh Konstitusi kita. Di bab-bab ke depan, kita akan melihat bagaimana pelaksanaan kedua prinsip ini dalam tataran pelaksanaan sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita.

Langkah Praktis

  • Melatih kebiasaan bermusyawarah dalam mengambil keputusan. Bisa dilakukan di keluarga, tempat kerja, kelompok bermain, dsb. Dengar pendapat setiap orang yang terlibat, lalu coba cari keputusan yang dapat mengakomodasi aspirasi mereka. Usahakan untuk menghindari voting/pemungutan suara.
  • Meningkatkan pemahaman tentang hukum misalnya dengan mencari definisi hukum menggunakan mesin pencari di internet. Lalu coba membaca peraturan hukum (perundang-undangan) yang berkaitan dengan hidup kita sehari-hari, misalnya mengenai lalu lintas. Semua ini mudah dicari di internet. Kegiatan ini bisa terus ditingkatkan sesuai dengan profesi dan minat anda.
  • Biasakan taat hukum mulai dari hal-hal yang terkesan “kecil” seperti memakai sabuk pengaman, memakai helm, dsb.
  • Bagikan informasi-informasi ini pada rekan-rekan anda.
Pasal-pasal terkait Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar = demokrasi                                        = konstitusional →  Demokrasi konstitusional Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum

Pasal 20 ayat (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama = menunjukkan bahwa pengambilan keputusan tidak selalu didasarkan pada “suara terbanyak”, tetapi lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat (lihat alinea ke-8)

4. Negara Kesatuan Republik Indonesia : Rumah Kita Bersama
“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik…” (Pasal 1 ayat (1) UUD 1945)

Sebuah rumah nyaman ditinggali apabila dibangun dengan memerhatikan perasaan dan kebutuhan penghuni-penghuninya. Rumah yang dibangun dengan mengabaikan hal tersebut, tak peduli seindah apapun, akan terasa kurang nyaman ketika ditinggali.

Negara Indonesia adalah rumah kita. Seperti perumpamaan di atas, agar nyaman ditinggali, negara ini dibentuk memerhatikan kebutuhan para penghuninya, suatu kumpulan besar manusia yang begitu majemuk, tersebar dari Sabang sampai Merauke. Saat negara ini dibentuk, para pendiri bangsa memerhatikan sifat atau jiwa bangsa Indonesia. Inilah yang menentukan rumah seperti apa yang akan dibangun.

Untuk memahami jiwa seperti apa yang hidup di bangsa ini, kita perlu menelusuri kembali sejarah perjuangan bangsa kita.

Peristiwa Sumpah Pemuda menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukanlah ide suku atau kelompok tertentu. Pemuda-pemuda, yang berasal dari beragam suku, agama, dan budaya, saat itu satu suara mengumandangkan kerinduan bersatu di bawah satu tanah air, satu bangsa, dan bahasa: Indonesia.

Memang ironis bahwa pada mulanya, penjajahanlah yang mendorong dan mempersatukan beragam suku bangsa dalam satu irama pergerakan menuju kemerdekaan. Tapi pada akhirnya proses panjang perjuangan bangsa Indonesia turut mengukuhkan keinginan untuk bersatu tersebut.

Jiwa bersatu ini kuat terlihat dalam peristiwa penghapusan tujuh kata dari rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Mengesampingkan kepentingan masing-masing, para pendiri bangsa saling merangkul satu dengan yang lain untuk dapat hidup bersama di republik yang baru saja lahir.

Jiwa bangsa yang demikian memerlukan ruang yang tepat untuk hidup dan bertumbuh. Setelah penjajahan tak ada lagi, bentuk negara kesatuan lah yang menjadi wadah bagi jiwa tersebut. Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara kesatuan memiliki sifat konvergen (memusat) dan dengan demikian selaras dengan jiwa bangsa Indonesia.

Dalam negara kesatuan, kekuasaan penyelenggaraan negara yang berasal dari rakyat terpusat pada suatu pemerintahan nasional/pusat. Pemerintah pusat kemudian dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan pada pemerintah daerah.

Pelimpahan kewenangan itu dilakukan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat di daerah. Inilah yang disebut sebagai desentralisasi. Desentralisasi inilah yang melahirkan otonomi daerah.

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk membuat aturan dan mengurus rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah memberikan kebebasan dan mendorong kemandirian daerah dalam mengelola potensinya. Sekalipun demikian, penting untuk dipahami bahwa otonomi daerah bukan berarti kemerdekaan.

Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari pelimpahan kewenangan oleh pemerintah pusat sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang.

Karena itu, pemerintah daerah tidak dapat berlaku seenaknya. Ia harus tunduk pada batas-batas yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Jika pemerintah daerah melanggar batas-batas tersebut, misalnya membuat peraturan daerah yang diskriminatif, ia akan berhadapan dengan ketentuan undang-undang mengenai hal tersebut. Dalam hal ini ia harus berhadapan dengan kemungkinan dapat dibatalkannya perda tersebut melalui mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan.

Praktek ini berbeda di negara yang berbentuk federal/serikat, misalnya Amerika Serikat. Dalam negara federal, setiap daerah/negara bagian memiliki kedaulatan penuh dalam mengatur daerah/bagiannya. Setiap negara bagian memiliki kekuasaan membuat dan membentuk undang-undang dasar sendiri (kecuali hal-hal yang disepakati diserahkan kepada pemerintah federal), kepala negara sendiri, parlemen dan kabinet sendiri.

Jika dalam negara kesatuan kewenangan daerah didapat dari pemerintah pusat, negara federal memiliki pola yang sebaliknya. Kekuasaan pemerintah pusat/pemerintah federal berasal dari negara-negara bagian. Pemerintah federal hanya mengatur hal-hal seperti angkatan perang, hubungan luar negeri, dan keuangan.

Bentuk negara federal/serikat bersifat divergen (memencar/menyebar), dan dengan demikian tidak selaras dengan jiwa bangsa yang hendak bersatu. Indonesia pernah berbentuk negara serikat, yaitu pada masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950).

Apa yang terjadi di masa itu sungguh menarik. Mr.Soenarko mencatat,“rakyat-rakyat secara spontan di sana sini mulai tak sabar dan bertindak sendiri-sendiri untuk menghapuskan negara-negara bagian dan menggabungkan daerah-daerah itu pada RI yang berpusat di Jogja.”

Konsep besar mengenai Indonesia yang telah kita bangun dari mulanya harus terus diingat. Apabila timbul isu-isu yang berkaitan dengan bentuk negara kesatuan, misalnya: mengubah bentuk negara kesatuan menjadi negara federal, kita perlu kembali pada konsep besar ini. Jangan sampai hal-hal taktis, keinginan untuk merengkuh kekuasaan lebih besar di daerah, mengaburkan penglihatan kita dan meruntuhkan apa yang telah dibangun dari mulanya.

Mengurai negara kesatuan adalah ibarat mengurai untaian benang sebuah pakaian. Kita mulai menarik lepas satu benang, pada akhirnya pakaian itu sendiri akan terurai sepenuhnya.

Kata “kesatuan” hendaknya tidak dimaknai sebagai keseragaman. Kata “kesatuan” menunjukkan jiwa bangsa yang hendak bersatu, bukan pada penyeragaman di segala bidang kehidupan. Sebaliknya, negara kesatuan Indonesia memberi ruang bagi kekayaan budaya, cara pikir, adat, dan tradisi dari setiap daerah untuk hidup dan bertumbuh.

Negara tidak boleh mencampuri atau membunuh kekayaan tersebut. Ia harus mendorong pertumbuhannya, membiarkan setiap potensi yang terkandung dalam keragaman budaya tersebut mewujud dalam kenyataan.

Demikian juga negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945). Ketentuan ini menunjukkan negara tidak berhak meniadakan satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa.

Negara hanya memberi pengakuan, sedangkan yang menentukan eksistensi dari satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus/istimewa tersebut adalah rakyat daerah itu sendiri. Artinya, selama rakyat menghendaki pemerintah daerah yang bersifat khusus/istimewa itu tetap ada, negara tidak bisa menghalangi. Jika rakyat tidak menghendaki pemerintah daerah yang bersifat khusus/istimewa itu tak usah ada lagi, negara juga tidak boleh menghalangi.

Tibalah kita di penghujung paparan bab ini. Semoga kini kita dapat melihat bangunan besar, “rumah”kita, negara kesatuan Indonesia. Setiap jengkal, setiap sudutnya dapat kita rasakan sebagai rumah kita. Seperti semboyan yang tak berhenti kita kumandangkan, “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi satu jua, jiwa bangsa yang hendak bersatu kiranya terus hidup di bangsa ini.

Pasal-pasal terkait
  • Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
  • Bab VI Pemerintahan Daerah (pasal 18) UUD 1945
  • Bab VIIIA Dewan Perwakilan Daerah (pasal 22C-Pasal 22D) UUD 1945
Langkah Praktis
  • Refleksi pribadi : Jika Anda berkunjung ke kota lain di Indonesia, apakah Anda merasa tempat tersebut sebagai bagian dari “rumah anda”?
  • Melihat lingkungan sekitar, apakah terdapat tetangga/kawan yang berasal dari latar belakang suku, agama, atau budaya yang berbeda,apakah Anda memandang mereka sebagai “keluarga” dalam rumah “Negara Kesatuan Indonesia” atau justru merasa mereka seperti orang asing? Jika Anda merasa “asing” dengan mereka, coba bangun relasi layaknya “keluarga” yang tinggal dalam satu “rumah”
  • Memerhatikan peraturan daerah di daerah tempat anda tinggal. Adakah perda-perda yang menyebabkan “rumah” Indonesia menjadi monopoli kelompok-kelompok tertentu saja? Jika ya, coba bertukar pikiran dengan rekan-rekan Anda mengenai hal tersebut.
  • Maksimalkan kesempatan yang ada untuk menumbuhkan keragaman budaya di komunitas Anda. Misalnya: melestarikan budaya tradisional, mendukung dan mengapresiasi kreasi tradisional/lokal. Jadikan indonesia lahan yang ramah terhadap keragaman.
5. Suara Kita Berharga

Pemilihan umum (Pemilu) tentu tak asing lagi bagi kita. Beberapa dari kita mungkin langsung terbayang iklan-iklan kampanye di televisi atau baliho-baliho raksasa bertebaran di seantero kota. Tapi Pemilu bukan cuma mengenai hal-hal itu. Pemilu mengandung makna yang sangat penting yang menyangkut setiap warganegara Indonesia.

Di bab ini, kita akan belajar mengenai apa itu pemilu, apa pentingnya pemilu bagi kita, warganegara Indonesia, mengapa kita perlu berpartisipasi aktif dalam pemilu dan bagaimana cara melakukannya.

Pemilihan umum merupakan salah satu unsur perwujudan demokrasi langsung. Pemilu yang dilakukan secara berkala memungkinkan pergantian kekuasaan secara damai, dan karenanya menjadi penting untuk dilaksanakan.

Di Indonesia, kita dapat berpartisipasi setidaknya dalam tiga rezim pemilu yaitu pemilu untuk memilih Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD, dan yang terakhir, kepala daerah (pemilukada).

Melalui pemilu, rakyat memilih wakilnya yang akan duduk di pemerintahan. Wakil yang terpilih ini yang nantinya akan mengolah dan menuangkan aspirasi para pemilihnya ke dalam peraturan hukum maupun kebijakan-kebijakan. Pemilu adalah kesempatan bagi rakyat untuk menghubungkan dirinya dengan pemerintahan.

Hal ini mungkin tidak terlihat di masa lalu. Kita mungkin pernah mendengar bagaimana orang bergurau bahwa di era Orde Baru, sebelum hasil pemilu keluar pun rakyat sudah tahu siapa pemenangnya.

Tindakan rakyat datang ke bilik suara guna menentukan pilihan, di masa itu, tak memiliki arti seperti sekarang. Saat itu, pemilu hanya menjadi “stempel” bagi para pembuat kebijakan publik untuk mengklaim kebijakannya itu memperoleh dukungan rakyat. Pemilu hanya jadi formalitas belaka.

Praktek pemilu yang demikian di masa lalu masih terekam jelas di benak sebagian masyarakat kita. Ada pandangan di tengah masyarakat bahwa pemilu saat ini pun hanyalah formalitas. Rakyat berpartisipasi/tidak tidak akan ada dampak yang signifikan.

Padahal zaman telah berubah. Dulu, pemilihan umum sama sekali tidak diatur oleh UUD 1945. Namun setelah perubahan, UUD 1945 menetapkan secara tegas bahwa presiden, anggota DPR, dan anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum. Perihal pemilu bahkan diatur dalam satu bab khusus dalam UUD 1945 setelah perubahan. Jadi, pemilihan umum bukanlah formalitas atau alat penguasa. Pemilu adalah perintah konstitusi dalam kerangka kedaulatan rakyat.

Konstitusi juga mengamanatkan agar pemilu dijalankan dengan prinsip “Jujur dan Adil” (Jurdil), dan “Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia” (LUBER) dan dilaksanakan oleh sebuah badan yang independen. Artinya, rakyat benar-benar diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi dalam pemilu. Kita bebas memilih siapa yang akan menjadi wakil kita dan dijamin kerahasiaannya dalam pelaksanaan pemilu.

Di era reformasi, dengan diakomodasinya paham kedaulatan rakyat dalam konstitusi kita, pemilu merupakan salah satu momen terpenting bagi rakyat menentukan seperti apa kebijakan yang akan diterapkan terhadap dirinya. Kita akan mencoba mengupas pernyataan ini di alinea-alinea berikut.

Dalam pemilu akan selalu ada pihak yang menang dan kalah. Secara sederhana dapat kita katakan bahwa pihak yang menang akan memegang kekuasaan dominan dalam pemerintahan.

Dengan demikian, tentu kebijakan-kebijakan yang berasal dari pihak pemenang pemilu,sebagai pemegang kekuasaan dominan di pemerintahan, akan mendapat tempat lebih besar dibandingkan pihak yang kalah. Padahal, kebijakan ini akan diterapkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tak peduli apakah rakyat tersebut termasuk pendukung pihak yang menang pemilu atau tidak.

Siapapun yang kita pilih berpotensi menjadi pemegang kekuasaan yang nantinya akan membentuk rupa-rupa aturan dan kebijakan. Suara kita berharga, suara kita ikut menentukan!

Ini berarti kita harus memilih baik-baik orang-orang yang pantas, yang dirasa dapat memperjuangkan aspirasi rakyat. Dengan demikian diharapkan aturan dan kebijakan yang nantinya dibentuk juga dijiwai semangat memajukan kesejahteraan rakyat.

Dalam kesempatan berpartisipasi yang sangat luas inilah rakyat harus mampu menempatkan aspirasinya pada orang yang tepat. Hak untuk memilih maupun dipilih memang dimiliki oleh semua warganegara namun hak ini tidak bekerja secara otomatis. Perlu sikap aktif/partisipasi warga untuk menggunakan hak ini. Sikap aktif yang pertama adalah keinginan dalam diri warga untuk memilih atau dipilih.

Pelaksanaan dari “hak untuk dipilih” diatur lebih lanjut oleh beragam ketentuan teknis. Kita tidak akan membahasnya pada bagian ini. Di bab ini, kita akan memfokuskan pembahasan terhadap hak untuk memilih.

Undang-undang menentukan bahwa warganegara yang dapat berpartisipasi dalam pemilu adalah : yang sudah berumur 17 tahun, dan yang sudah menikah. Warga perlu mengambil sikap aktif untuk memastikan dirinya telah terdaftar sebagai pemilih.

Andaikata ia belum terdaftar, ia perlu bersikap aktif mendaftarkan dirinya dengan membawa dokumen-dokumen pendukung. Umur 17 tahun dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk, sedangkan status “sudah menikah” dapat dibuktikan dengan akta perkawinan.

Setelah memastikan dirinya terdaftar, warga perlu mencari tahu hal-hal apa yang ia inginkan untuk nantinya diperjuangkan oleh pemerintah. Caranya bisa dengan mengamati masalah-masalah yang terjadi di sekelilingnya.

Masalah-masalah ini tidak selalu harus berupa hal bombastis seperti yang selalu disiarkan di televisi. Bisa jadi justru masalah-masalah tersebut adalah sesuatu yang jarang dibahas di media namun sesungguhnya sangat penting bagi masyarakat sekitar, misalnya kelayakan jalan, masalah pelayanan publik di daerah tersebut, kesejahteraan warga sekitar, dsb.

Selanjutnya, warga perlu mencari tahu mengenai orang-orang yang mencalonkan diri untuk dipilih dalam pemilu tersebut. Siapa mereka? Bagaimana rekam jejak mereka? Apakah mereka orang-orang yang bisa dipercaya untuk memperjuangkan kebaikan bagi rakyat / tidak? Apa target, usulan, yang mereka berikan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat apabila mereka terpilih?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tentu kita perlu memberi usaha ekstra. Warga tidak cukup hanya duduk diam atau sekedar menonton iklan-iklan di televisi mengenai para calon. Kita mungkin perlu melakukan pencarian pribadi untuk menemukan jawabannya. Kita juga mungkin perlu berdiskusi dengan warga lain untuk mendapatkan bertukar informasi sekaligus menggodok aspirasi bersama.

Tanpa keaktifan warga melakukan hal-hal di atas, pemilu akan menjadi formalitas belaka. Pemilu, yang harusnya menjadi salah satu sarana utama warga untuk memperjuangkan kemajuan bagi kehidupannya dapat menjadi bumerang. Kekeliruan memilih orang-orang yang tak bertanggungjawab untuk menyandang posisi di pemerintahan dapat membawa penderitaan bagi rakyat untuk waktu yang tak singkat.

Karena itu dalam pemilu, kita mesti jadi pemilih yang cerdas. Bersikap acuh, tak peduli, atau golput harusnya tidak menjadi pilihan lagi. Sikap-sikap demikian menunjukkan bahwa kita bukan warganegara yang bertanggungjawab.

Ingatlah bahwa zaman sudah berubah dan kedaulatan telah berada di tangan rakyat. Kitalah yang menentukan mau dibawa ke mana bangsa ini dengan menentukan siapa-siapa yang layak memegang kemudi pemerintahan. Mari menjadi warganegara yang bertanggungjawab dengan menjadi pemilih-pemilih yang cerdas. Suara kita berharga!

Pasal-pasal terkait

  • Pasal 6A ayat (1) – ayat (5) UUD 1945– Pemilu bagi Presiden dan Wakil Presiden
  • Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 – Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum
  • Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 – Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum
  • Bab VIIIB Pemilihan Umum (Pasal 22E) UUD 1945

Langkah praktis

  • Berlatih bersikap aktif dalam pemilu, misalnya dalam pemilukada di daerah Anda. Carilah informasi mengenai para calon kepala daerah: bagaimana rekam jejak mereka, kebijakan-kebijakan apa yang pernah mereka keluarkan jika sebelumnya mereka pernah menjabat. Diskusikan hasil temuan Anda dengan tetangga atau kawan-kawan komunitas.
  • Pastikan nama anda telah terdaftar sebagai pemilh, ingatkan juga rekan-rekan Anda untuk mengecek apakah mereka telah terdaftar.
  • Perhatikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, lalu coba untuk sampaikan itu pada calon kepala daerah jika ada kegiatan-kegiatan dengar pendapat atau debat publik.
  • Datanglah untuk memilih di hari yang telah ditentukan. Ajak rekan-rekan Anda untuk memilih juga.
6. Pemisahan Kekuasaan Negara dan Pengawasan
Mencegah Terjadinya Kesewenang-wenangan dan Optimalisasi Fungsi Lembaga-lembaga Negara

If men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controls on government would be necessary. – James Madison

(Jika manusia adalah malaikat, kita tidak memerlukan pemerintah. Jika yang memerintah manusia adalah malaikat, kita tidak memerlukan pengawasan internal maupun eksternal terhadap pemerintah)

Lazim kita dengar bagaimana seluruh kekuasaan penyelenggaraan negara terpusat di tangan seorang raja atau diktator. Dalam kondisi demikian, raja atau diktator memegang kekuasaan membuat hukum, melaksanakan, dan mengadili.

Sejarah mencatat bahwa sistem seperti ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya kesewenangwenangan. Penguasa bebas membuat hukum apa saja dan melaksanakannya meski rakyat menolak. Ia bebas mengadili, bahkan memasukkan siapapun yang tidak ia sukai ke penjara.

Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut, demikian ungkap Lord Acton. Karenanya, kekuasaan pemerintahan tidak boleh terpusat pada satu pemegang kekuasaan, melainkan harus dipisahkan.

Inilah yang akan kita bahas pada bab ini, pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dan kewenangan mengawasi-mengimbangi (checks and balances) dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.

Kekuasaan negara terbagi ke dalam tiga cabang kekuasaan. Yang pertama adalah kekuasaan pembuatan undang-undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif), dan kekuasaan mengadili (yudikatif).

Ajaran pemisahan kekuasaan mengatakan bahwa ketiga kekuasaan ini tidak boleh dipegang oleh satu organ, melainkan harus dijalankan oleh organ-organ yang berbeda. Tapi, pemisahan kekuasaan saja tak cukup untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.

Organ-organ yang saling terpisah ini dapat menjadi eksklusif dan bertindak semaunya. Karena itu, diperlukan kewenangan saling mengawasi dan saling mengimbangi antarorgan ini.

Tindakan suatu organ dimungkinkan untuk di”cek” oleh organ lainnya melalui kewenangan tertentu yang diberikan oleh konstitusi. Jika suatu organ berlaku semaunya, organ lain dapat “mengganggunya” untuk “memperingatkannya” agar tak berlaku sewenang-wenang. Dengan kedua sistem ini, diharapkan potensi terjadinya kesewenang-wenangan dapat diminimalisir.

Hal kedua yang hendak dicapai dengan sistem ini adalah manajemen potensi konflik yang ada pada masyarakat. Masyarakat yang majemuk, seperti di Indonesia, memiliki dinamika yang sangat tinggi. Potensi terjadinya konflik di tengah masyarakat selalu ada. Ia tidak bisa dihilangkan, namun bisa dikendalikan.

Pengendalian potensi konflik ini dapat dilakukan oleh sistem di atas: pemisahan kekuasaan, dan tersedianya kewenangan saling mengawasi dan mengimbangi. Jika sistem ini berjalan, potensi konflik dapat diserap bahkan diolah menjadi kemajuan. Namun sebaliknya, jika sistem ini tidak berjalan, potensi konflik akan meletus dalam berbagai bentuk seperti kerusuhan, bahkan revolusi.

Untuk dapat memahami hal ini, kita coba mengambil sebuah contoh. Seperti telah kita bahas di atas, pemerintah, dalam mengambil kebijakan tidak dapat berlaku semaunya sendiri. Misalnya suatu waktu, pemerintah berencana untuk menaikkan harga BBM. Rencana tersebut mengalami penolakan dari masyarakat. Penolakan dari masyarakat ini kemudian “diserap” oleh DPR dan mewujud menjadi “pernyataan tak setuju” dari DPR.

Di sini terjadi dua hal. Pertama, terjadi pengawasan oleh DPR terhadap kebijakan pemerintah. Kedua, potensi konflik yang ada pada masyarakat diserap sehingga potensi konflik tidak meletus menjadi konflik.

Perihal mengenai pemisahan kekuasaan dan pengawasan ini tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan. Saat itu terdapat lembaga tertinggi negara, yaitu MPR. Kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh MPR sehingga MPR memiliki kekuasaan yang begitu besar. Demikian juga presiden, apabila berhasil menguasai kekuatan politik di MPR (yang terdiri dari DPR, utusan daerah, dan utusan golongan) menjadi sangat kuat kedudukannya.

Setelah perubahan UUD 1945, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasarkan konstitusi. Setiap lembaga negara mendapat kewenangannya dari konstitusi. Konstitusi memberi garis yang tegas mengenai batas kewenangan suatu lembaga dan lembaga lainnya.

Di Indonesia, cabang kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR, cabang kekuasaan eksekutif oleh Presiden, dan cabang kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan masing-masing lembaga negara ini ditentukan dalam Undang-undang Dasar 1945.

Sistem saling mengawasi dan mengimbangi seperti yang telah kita bahas di awal tulisan juga diakomodasi oleh ketentuan UUD 1945. Kehadiran Mahkamah Konstitusi memberikan nilai lebih dalam penerapan sistem ini. Mahkamah Konstitusi disebut juga penjaga Konstitusi. Sesuai namanya, lembaga negara ini berwenang untuk menguji apakah suatu undang-undang sesuai dengan konstitusi atau tidak (tentu MK memiliki kewenangan lainnya, tapi tidak akan kita bahas di tulisan ini).

Kewenangan ini penting, karena konstitusi, seperti telah kita bahas di bab pertama buku ini, merupakan landasan hukum tertinggi. Di dalamnya terkandung ide dan cita kebangsaan yang menjadi bintang pemandu kita dalam kehidupaan berbangsa dan bernegara.

Dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi, terdapat saluran untuk memastikan undang-undang, yang dibuat oleh Presiden bersama-sama dengan DPR, agar selaras dengan konstitusi. Di sini, MK melakukan “pengawasan” terhadap dua lembaga negara tersebut. Tadi kita telah membahas bagaimana sistem pengawasan di antara organ-organ negara (pengawasan internal). Kini kita akan membahas apa yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat Indonesia terkait dengan hal ini?

Tentunya kita tidak boleh duduk berpangku tangan, melainkan harus ikut serta mengawasi penyelenggaraan negara. Inilah yang disebut sebagai pengawasan eksternal. Pers yang merdeka, akademisi-akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) merupakan kekuatan-kekuatan yang ikut serta mengawasi pemerintah.

Masyarakatpun memiliki kewajiban untuk mengawasi, dan ini tidak bisa dilakukan apabila kita diam saja. Mulailah dengan peduli terhadap hal-hal yang terjadi di sekeliling kita. Perhatikan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Jika ada peraturan atau kebijakan yang merugikan rakyat, kita dapat menyampaikan aspirasi kita secara langsung ke institusi terkait maupun melalui saluran-saluran lain seperti media, dan LSM yang bergerak di bidang tersebut. Lebih jauh lagi, kita jangan berhenti pada tahap menyampaikan aspirasi. Kadang kita perlu mendesak pemerintah untuk mendengarkan dan menanggapi aspirasi tersebut.

Inilah yang bisa kita lakukan sebagai rakyat untuk menjagai jalannya pemerintahan kita. Ingatlah peringatan Madison, kita tidak dipimpin oleh malaikat-malaikat, sehingga pengawasan terhadap pemerintah baik secara internal maupun eksternal adalah keniscayaan.

Pemisahan kekuasaan dan sistem saling mengawasi dan mengimbangi antarlembaga negara saja tidak cukup untuk mencegah kesewenang-wenangan. Diperlukan partisipasi dan pengawasan dari rakyat guna mewujudkan cita mulia ini! Mari cegah terjadinya kesewenangwenangan dan bantu bantu pengoptimalan fungsi lembaga-lembaga negara dengan ikut serta mengawasi kinerja mereka!

Pasal-pasal terkait
  • Bab II Majelis Permusyawaratan Rakyat
  • Bab III kekuasaan Pemerintahan Negara (Presiden dan Kekuasaannya: Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7C, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasl 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16
  • Bab V Kementerian Negara
  • Bab VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR dan kekuasaannya : Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22)
  • Bab VIIA Dewan Perwakilan Daerah (DPD dan kekuasaannya: Pasal 22C, Pasal 22D
  • Bab IX A Kekuasaan Kehakiman (MA: Pasal 24A, MK: Pasal 24C)

Langkah-langkah praktis

  • Pelajari kewenangan masing-masing lembaga negara secara bertahap dari konstitusi, misalnya satu minggu untuk satu lembaga negara.
  • Perhatikan berita-berita di koran mengenai lembaga negara terkait. Coba bandingkan berita di surat kabar dengan ketentuan konstitusi. Misalnya: ada kebijakan yang dipandang bermasalah, ada pelaksanaan kewenangan oleh lembaga-lembaga negara tersebut, bandingkan dengan ketentuan dalam konstitusi.
7. Keluarga Besar Di Rumah Indonesia

Jumlah manusia yang tinggal di bumi Indonesia ini cukup fantastis: 240 juta jiwa, membuat Indonesia menjadi negeri dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia. Ratusan juta jiwa ini merupakan penduduk Indonesia, keluarga besar yang menempati “rumah” Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dalam bab ini, kita akan berbicara mengenai penduduk dan warganegara Indonesia yang diatur dalam pasal 26 UUD 1945.

Penduduk Indonesia terdiri dari warganegara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 26 ayat (2) UUD 1945). Jadi, penduduk tidak sama dengan warganegara. Warganegara Indonesia dapat menjadi penduduk suatu negara lain tanpa kehilangan kewarganegaraan Indonesia.

Dalam UUD 1945, bunyi pasal 26 ayat (1) adalah sebagai berikut: “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.“

Dalam pengaturan tersebut, kita dapat menemukan dua istilah: “orang-orang bangsa Indonesia asli” dan “orang-orang bangsa lain”. Mungkin terlintas di benak kita, siapakah yang dimaksud orang “bangsa Indonesia asli” dalam pasal ini?

Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 sebetulnya merupakan rekaman atas kondisi dan cara berpikir yang ada saat pasal tersebut dirumuskan. Untuk menyelami hal ini, kita perlu bertualang sebentar ke masa penjajahan Belanda.

Di zaman Pemerintah Kolonial Belanda, penduduk Hindia Belanda dibagi-bagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah golongan Eropa yang terdiri atas orang-orang kulit putih. Golongan kedua adalah orang Timur Asing (Tionghoa, Jepang, Arab, dsb.). Golongan ketiga adalah golongan Bumiputera.

Pembedaan golongan ini diikuti dengan pembedaan tempat tinggal, bahkan pembedaan perlakuan dari pemerintah Kolonial Belanda. Golongan Timur Asing misalnya lebih banyak diuntungkan dalam bidang perekonomian. Akibatnya, saat terjadi pergolakan menentang pemerintah Kolonial Belanda, tak sedikit golongan Timur Asing yang memihak pada penjajah. Ini, jelas menimbulkan ketegangan tersendiri di antara golongan yang satu dengan yang lain.

Paradigma berpikir inilah yang terekam dalam pengaturan pasal 26 ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut membedakan antara “orang Indonesia asli”, yaitu mereka yang dahulu disebut golongan bumiputera, dan “orang bangsa lain”, secara sederhana merujuk pada orang-orang di luar golongan bumiputera.

Sangat disayangkan bahwa pengaturan yang demikian justru membuka celah bagi perlakuan diskriminatif bagi mereka yang tak dianggap sebagai “orang Indonesia asli” (biasanya disebut warga keturunan). Sebelum amandemen UUD 1945, kita menyaksikan terjadinya perlakuan-perlakuan diskriminatif pada warga keturunan.

Cara pandang yang demikian juga mempengaruhi ketentuan Pasal 6 UUD 1945 sebelum amandemen mengenai siapa yang dapat menjadi presiden. Ayat (1) pasal tersebut menetapkan bahwa presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli.

Cara pandang yang demikian rasis jelas tidak tepat dan tidak sejalan dengan semangat yang menjiwai kelahiran bangsa Indonesia. Saat Sumpah Pemuda, kita melihat tidak ada pembedaan suku, maupun keturunan. Semuanya adalah bangsa Indonesia, tidak ada yang lebih “asli” dari yang lain.

Semangat serupa tampak jelas saat perundingan untuk perundingan amandemen UUD 1945. Para peserta berapat dengan satu kesadaran: kita adalah satu bangsa. Tidak ada yang mengedepankan sukunya untuk mengklaim kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain. Semua adalah sama, sama-sama warganegara Indonesia dan karenanya memiliki hak dan kedudukan yang setara pula.

Rapat kemudian bersepakat untuk mengubah cara berpikir mengenai kewarganegaraan Indonesia. Bunyi pasal 26 ayat (1) tidak berubah, tetapi bunyi Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 mengenai persyaratan menjadi presiden Indonesia berubah. Tidak lagi ditemukan kata, “orang Indonesia asli”, melainkan hanya “seorang warganegara Indonesia sejak kelahirannya…”

Perubahan ini menunjukkan bahwa setiap warganegara Indonesia—apapun latar belakang suku, agama, maupun keturunannya—memiliki kedudukan yang sama di negara ini. Setiap kita adalah bagian dari keluarga besar Indonesia! Tidak boleh lagi ada perlakuan diskriminatif terhadap anggota keluarga yang lain.

Sebagai warganegara Indonesia kita memiliki hak dan kewajiban terhadap negara Indonesia. Hak ini meliputi hak-hak konstitusional yang ditetapkan dalam konstitusi, termasuk juga hak untuk menerima pelayanan dan fasilitas publik yang disediakan bagi setiap warganegara. Warganegara Indonesia juga dapat menduduki posisi dalam pemerintahan Indonesia.

Selain itu, kita juga memiliki kewajiban ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30 UUD 1945). Yang dimaksud usaha pertahanan dan keamanan negara bukan semata-mata berbicara mengenai hal-hal yang bersifat militer. Tindakan-tindakan “sederhana” seperti taat hukum, tertib berlalu lintas, menjaga kebersihan lingkungan, dan sebagainya juga termasuk usaha pertahanan dan keamanan negara!

Di sisi lain, warganegara asing yang tinggal di Indonesia sebagai penduduk juga mendapat jaminan perlindungan hak asasi manusia. Hanya saja, ia tidak memiliki akses terhadap hal-hal tertentu. Seorang warganegara asing tentu tidak dapat mengajukan diri untuk menduduki posisi dalam pemerintahan Indonesia.

Demikianlah kita semua adalah keluarga besar yang tinggal di rumah Indonesia. Mari tinggalkan perasaan “asing-di-rumah-sendiri” atau sikap “mengasingkan-anggota-keluarga-yang-lain”. Sebaliknya, mari kita rajut ikatan persaudaraan yang kuat di rumah Indonesia.

8. Berkenalan Dengan Hak Asasi Manusia

Kehidupan bernegara terdiri dari manusia-manusia. Anda, dan saya adalah manusia, bukan benda. Manusia adalah makhluk yang berharga, bermartabat. Martabat ini melekat pada manusia, bukan pemberian orang. Inilah yang kemudian sering disebut sebagai hak asasi manusia.

Hak asasi manusia (HAM) adalah suatu prinsip yang amat penting. Melaluinya, warganegara terlindungi dari perilaku sewenang-wenang oleh pemerintah maupun warganegara lain. Kita diingatkan bahwa sesama kita, manusia, bukanlah barang yang dapat diperlakukan semau kita.

Meskipun penting, prinsip mengenai HAM tidak diakui secara tegas dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Perumusan UUD 1945 terjadi di tengah tarik menarik dua kutub pemikiran di dunia. Kutub yang pertama adalah pemikiran individualis-kapitalis yang mengedepankan kebebasan sebesarbesarnya bagi setiap individu. Kutub yang kedua adalah pandangan yang meyakini bahwa setiap individu tidak pernah bisa lepas dari komunitasnya (komunal).

Pemikiran mengenai HAM banyak berkembang di negara-negara yang berpikiran individualiskapitalis, negara-negara yang dicap kolonial. Karenanya, ide mengenai HAM kurang mendapat simpati dari negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia.

Selain itu, di Indonesia secara khusus, pola kerajaan-kerajaan di nusantara di mana penguasa menganggap rakyat sebagai “milik”nya juga masih kental terasa. Dalam situasi yang demikian, akhirnya UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengakui sebagian (kecil) HAM. Ada juga HAM yang diakui sepanjang ia diatur dengan undang-undang.

Seiring perjalanan kehidupan bangsa Indonesia, pemikiran-pemikiran mengenai HAM juga terus berkembang. Konstitusi RIS dan UUDS tahun 1950 sudah mulai mengakomodasi prinsip-prinsip HAM. Tapi dengan kembali diberlakukannya UUD 1945 sebelum perubahan, kita kembali pada kondisi minimnya pengaturan mengenai HAM dalam konstitusi.

Dalam diskusi perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002 mengenai HAM, semua pihak sepakat bahwa HAM perlu diakomodasi dalam UUD 1945. Hanya saja pertanyaan yang terjadi adalah seberapa detil pengaturan yang akan dilakukan? Hal tersebutlah yang didiskusikan selama rapat perubahan UUD 1945 hingga menghasilkan pasal 28 UUD 1945 yang sekarang.

Pengakuan HAM dalam konstitusi menjadi sumber dari pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang dapat dibuat oleh pemerintah. Di sisi lain, pengakuan terhadap HAM juga secara otomatis menimbulkan kewajiban. Sebagai contoh, ketika kita mengatakan kepada orang lain, “Saya memiliki hak untuk bebas menganut agama dan kepercayaan saya,” maka kita juga berkewajiban untuk menghormati hak orang lain untuk bebas menganut agama dan kepercayaannya. Jadi hak akan selalu diikuti oleh kewajiban.

Dalam hal ini, hendaknya kewajiban tidak dipandang sebagai sesuatu yang negatif, melainkan positif. Maksudnya, keberadaan kewajiban tidak menghilangkan hak, tapi justru dapat membuat hak menjadi tegak. Bayangkan jika semua orang hanya menuntut orang lain untuk mengakui haknya tetapi ia sendiri tak mau mengakui hak orang lain, tentu pada akhirnya tidak ada hak yang dapat tegak.

Karena itulah UUD 1945 setelah perubahan juga memungkinkan terjadinya pembatasan HAM (Pasal 28J ayat 2) oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya perilaku seperti yang dicontohkan di atas. Catatan penting untuk melakukan pembatasan HAM adalah: pembatasan tersebut hanya bisa dilakukan dengan menggunakan Undang-Undang.

Kini kita melihat zaman telah berubah. Pengakuan HAM dalam konstitusi membawa tanggungjawab baru bagi pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah sebagai pengurus negara dipilih agar penegakan HAM dapat terselenggara dengan baik. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi (to promote, to protect, to fulfill) HAM warganegaranya.

Namun ini bukan berarti penegakan HAM hanya menjadi tugas pemerintah. Masyarakat juga harus turut serta mengembangkan sikap saling menghormati HAM sesamanya. Dengan demikian, warganegara terlindung dari perlakuan sewenang-wenang dari pemerintah maupun dari sesamanya.

Jika terjadi pelanggaran HAM, kita tidak patut diam/bungkam. Setidaknya ada saluran-saluran yang tersedia untuk menegakkannya kembali. Yang pertama adalah menghidupkan peran tokoh-tokoh masyarakat dalam membangun sikap saling menghormati HAM di tengah masyarakat. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dapat membantu proses penyelesaian antara pihak yang bertikai. Ini adalah saluran yang paling baik.

Saluran lainnya adalah melalui aparat negara. Tapi jika saluran ini ditempuh, maka penyelesaian yang akan ditempuh adalah penyelesaian secara hukum (negara). Berbagai lembaga negara tersedia untuk menangani berbagai permasalahan mengenai penegakan HAM.

Kita telah melihat betapa pentingnya bagi setiap warganegara Indonesia untuk memahami HAMnya. Karena itu, mari buka UUD 1945, kenali HAM anda, dan mulai mengembangkan iklim bernegara yang kondusif bagi bertumbuhnya penghormatan terhadap HAM.

9. Pendidikan dan Kebudayaan : Ruang Tumbuh Manusia Indonesia

Potensi manusia adalah bak harta terpendam. Penggalian terhadap “harta” tersebut merupakan suatu usaha yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang secara utuh. Karenanya, tujuan suatu bangsa merdeka tentunya meliputi keinginan untuk mendapatkan ruang guna mengembangkan dirinya. Misi ini dikukuhkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dengan kalimat, “…mencerdaskan kehidupan bangsa.” Suatu ikrar, janji yang harus ditepati oleh republik ini.

Pendidikan adalah investasi di dalam keberadaan seseorang sehingga ia mempunyai kemampuan untuk berkembang—melampaui batasan-batasan fisiknya. Pendidikan yang baik akan melekatkan berbagai kemampuan pada insan-insan yang mengecapnya. Kemampuan-kemampuan ini nantinya menjadi modal utama membangun negeri. Kualitas manusia yang demikian adalah ciri yang mudah kita temui pada bangsa-bangsa lain yang mampu berkompetisi di dunia internasional seperti: Jepang, Korea, dan India.

Ketika kualitas manusia mencapai titik ini, kekayaan alam (sumber daya alam) suatu negara akan mejadi hal sekunder dalam tumbuh kembangnya suatu bangsa. Sumber daya manusia yang bermutu adalah kunci untuk mengelola sumber daya alam secara luar biasa. Sebaliknya, SDA yang berlimpah tanpa SDM yang cerdas-tangkas takkan mampu memberi hasil maksimal.

Pentingnya peran pendidikan ini menyebabkan pengaturannya dalam UUD sebagai keniscayaan. UUD (lihat Pasal 31 UUD 1945 setelah perubahan). Pemerintah sebagai pengurus negara wajib menyediakan ruang bagi setiap warganegara untuk mengecap pendidikan. Desakan yang serius agar bidang pendidikan digarap serius ditunjukkan dengan penetapan konstitusi agar pemerintah menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen.

Penetapan ini dilatarbelakangi oleh praktek-praktek sebelum perubahan UUD 1945 di mana pos pendidikan seringkali menerima anggaran “sisa” setelah APBN dipotong untuk pos-pos lainnya. Padahal di tengah masyarakat, tak jarang kita temukan orang-orang tua yang berujar, “Tak apa saya lapar, kerja banting tulang, asal anak bisa sekolah.”

Ungkapan tersebut, jika ditarik pada konteks negara, menunjukkan bahwa permasalahan yang kita hadapi dalam pendidikan bukan tentang “uang/anggaran cukup atau tidak”, tetapi mengenai prioritas. Melihat pentingnya peran pendidikan, sudah seharusnya negara menempatkannya sebagai prioritas—dan ini ditunjukkan salah satunya dengan pemberian anggaran yang memadai, bukan anggaran “sisa”.

Hal penting lain yang terungkap dalam pengaturan UUD 1945 setelah perubahan adalah arahan mengenai corak pendidikan yang harus dikembangkan di Indonesia. Pasal 31 ayat (3) mengungkapkan bahwa pendidikan nasional harus meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Ayat ini sering disalahpahami sebagai rujukan terhadap agama tertentu. Padahal, makna yang dikandung oleh ayat itu bukanlah demikian.

Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pendidikan di Indonesia tak boleh terjebak dalam paham yang memandang manusia sebagai makhluk yang mengungguli segala sesuatu. Potensi dan kemampuan berpikir manusia memang sangat luar biasa, tetapi manusia harus tetap menyadari bahwa terdapat kuasa yang jauh lebih besar mengatasi dirinya yaitu kuasa Sang Pencipta. Ini selaras dengan sila-sila kepancasilaan. Dengan demikian, kecerdasan bukanlah satu-satunya tujuan pendidikan.

Dari pendidikan kita beralih ke kebudayaan. Kebudayaan juga adalah salah satu ruang utama bagi tumbuh kembangnya potensi manusia Indonesia. Kebudayaan di sini jelas tidak terbatas pada ekspresi seni saja, tetapi segala sesuatu yang menjadi cipta, rasa, dan karsa manusia. Karena itulah, kebudayaan tak dapat dipisahkan dari pendidikan.

Pengaturan mengenai kebudayaan dimuat dalam Pasal 32 UUD 1945 setelah perubahan. Di tengah ekspresi budaya bangsa yang sangat majemuk, UUD 1945 setelah perubahan menandaskan bahwa budaya yang satu tidak lebih unggul dari yang lain. Semua budaya yang mekar di tanah Indonesia dihargai sebagai kebudayaan nasional.

Negara dalam hal ini harus memberi ruang bahkan menjamin setiap budaya lokal untuk berkembang. Sikap terbuka terhadap keragaman budaya ini, jika dilaksanakan dengan konsisten, akan terlihat juga di bidang-bidang kehidupan lain seperti: politik, ekonomi, dan sebagainya.

Budaya bangsa yang hidup akan menyebabkan bangsa Indonesia tak akan menjadi bangsa yang sekadar mengikuti “tren-tren” dunia yang menerjang kuat di era globalisasi. Sebaliknya, bangsa Indonesia akan memiliki akar kuat untuk memilah dan memilih budaya asing mana yang dapat diterima dan diserap untuk kemajuan bangsa sendiri. Jadi, ada keterbukaan terhadap perkembangan dunia, namun keterbukaan tersebut disertai dengan kebijakan memilih.

Melalui aturan-aturan yang telah diuraikan di atas, konsitusi menyediakan ruang tumbuh bagi manusia Indonesia melalui pendidikan dan kebudayaan. Kini adalah kewajiban setiap insan untuk tak menyianyiakan hal tersebut. Ruang sudah tersedia, tapi keputusan untuk membiarkan diri kita tumbuh ada di tangan kita masing-masing. Mari, jangan biarkan “harta terpendam” pada diri kita dibiarkan tak tergali. Gali, dan mekarlah dengan indah, wahai manusia Indonesia!

10. Memajukan Kesejahteraan Umum Lewat Sistem Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial

Sebuah bangsa selalu merdeka dengan menggenggam mimpi-mimpi. Tak ada bangsa yang merdeka tanpa harapan akan masa depan yang lebih baik. Di Indonesia, mimpi-mimpi yang ingin dicapai melalui kemerdekaan ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945, salah satunya adalah:” …memajukan kesejahteraan umum”.

Memajukan kesejahteraan umum merupakan mimpi – bahkan janji negara yang mesti diwujudkan. Mewujudkannya dalam kenyataan bukan perkara mudah. Pasalnya, setiap manusia lahir dengan kemampuan yang berbeda-beda. Prinsip “siapa-yang-kuat-dia-yang-menang” akan menyebabkan mereka yang memiliki kemampuan tinggi melesat ke atas, sedangkan yang tidak justru melesak ke bawah. Ini jelas tak sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia.

Hal yang sama juga dapat terjadi dalam konteks kewilayahan. Setiap daerah di Indonesia memiliki potensi daerah yang berbeda. Daerah yang memiliki sumber daya (baik alam maupun manusia) yang berlimpah tentu dapat maju dengan pesat. Tapi yang tidak, akan berjalan terseok. Untuk mencegah hal-hal demikian terjadi, dibutuhkan peran atau intervensi negara.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah amandemen mengatur mengenai peran negara dalam mengelola perekonomian nasional. Pengaturan yang dimuat dalam UUD 1945 sebelum perubahan memiliki kekurangan di mana ruang intervensi pemerintah sangat besar. Hal ini menyebabkan terjadinya etatismei. Pengelolaan perekonomian menjadi tidak efisien. Pengalaman negara-negara sosialis generasi pertama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia telah menunjukkan kegagalan dari pola pengelolaan perekonomian nasional semacam ini.

Oleh karena itulah dalam proses amandemen UUD 1945, ditambahkanlah dua ayat ke dalam pasal 33, ayat (4) dan (5). Ayat ke (4) berbunyi sebagai berikut :

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Secara sederhana, ayat-ayat ini menyatakan bahwa dalam mengelola perekonomian nasional, negara harus bersikap lebih aktif (proaktif). Negara boleh melakukan intervensi bila diperlukan. Tapi terdapat batas yang harus diperhatikan: intervensi negara tidak boleh sampai mengambil alih hukum pasar.

Penyelenggaraan perekonomian nasional tetap harus memberi ruang bagi kompetisi yang dapat memacu efisiensi. Dengan demikian, Intervensi pemerintah terhadap perekonomian nasional adalah perintah konstitusi, bukan pilihan. Dalam prakteknya, mengintervensi (bukan mengambil alih) hukum pasar tidak mudah. Perlu profesionalitas dan kreatifitas dari para pengurus (penyelenggara) negara. Korea Selatan memiliki contoh profesionalitas dan kreatifitas para pengurusa negara.

Jumlah mall di Korea Selatan tidak sebanyak di Indonesia. Sebaliknya, pemerintah Korea Selatan justru menata pasar dengan rapi dan bersih. Pasar dikelola oleh masyarakat secara bergantian. Dengan demikian, pasar benar-benar hidup dan dapat menjadi penggerak ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Ini adalah contoh intervensi kreatif dari pemerintah dalam membangun perekonomian nasional yang berpihak pada masyarakat luas, bukan orang perorangan.

Di sisi lain, merumuskan tindakan intervensi kreatif seperti contoh di atas bukan hal yang mudah. Itulah sebabnya meski konstitusi sudah memerintahkan, dalam pelaksanaannya para pengurus negara masih tersandung dan menemukan kesulitan di sana-sini. Sebagai contoh, dalam menghadapi penyebaran sumber daya (alam dan manusia) yang tak merata di seluruh penjuru Indonesia, pemerintah sebetulnya dapat melakukan intervensi agar terjadi keseimbangan pertumbuhan di antara daerah-daerah di Indonesia.

Pemerintah dapat merumuskan pembagian anggaran yang proporsional dalam APBN untuk mendorong kemajuan daerah yang tertinggal. Namun lagi-lagi, kita melihat bahwa mewujudkannya dalam kenyataannya memang tak semudah membalik telapak tangan.

Selain mengatur mengenai perekonomian nasional, konstitusi juga mengatur mengenai kesejahteraan sosial. Di bagian awal tulisan, kita telah membahas bahwa manusia tidak terlahir dengan kemampuan yang sama. Kompetisi hidup yang sangat keras seringkali membuat segelintir manusia menjadi golongan yang terpinggirkan, lemah dan tak berdaya. Negara tidak boleh membiarkan mereka tetap dalam kondisi yang demikian. Karena itulah terdapat Pasal 34 UUD 1945 yang mengungkapkan bahwa, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” (ayat 1).

Makna “dipelihara” di sini bukanlah berarti negara menyantuni mereka sembari membiarkan mereka tetap menjadi “tawanan” kemiskinan dan kelemahan. Sebaliknya, negara justru dituntut untuk mengembangkan sistem yang mampu memberi ruang berkembang bagi mereka yang termasuk golongan ini.

Hal inilah yang ditekankan dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan perintah bagi negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu.

Masyarakat kita sebetulnya mampu diberdayakan dalam pembangunan sistem jaminan sosial, misalnya dalam bentuk asuransi kesehatan bersama. Warga bisa mengumpulkan iuran kesehatan perbulan yang mana hasilnya dapat digunakan untuk membiayai anggota yang sakit. Sayang seringkali masyarakat belum memandang hal ini sebagai hal yang harus diprioritaskan. Pola pikir ini menjadi salah satu kendala dalam membangun suatu sistem jaminan sosial yang kuat dan berpihak pada rakyat.

“Memajukan kesejahteraan umum”. Memang ada banyak hal yang masih harus dibenahi guna mewujudkan mimpi yang mulia ini. Tapi yang pasti, konstitusi telah menyediakan “lantai untuk menari” yang cukup baik. Yang perlu kita kejar saat ini adalah bagaimana membuat para penyelenggara negara piawai untuk “menari” di atas lantai yang telah tersedia.

Berbekal pemahaman mengenai ideal konstitusi dalam penyelenggaraan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, sebagai warganegara kita dapat mengawasi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para pengurus negara. Tidak tertutup kemungkinan juga bahwa kita dapat merumuskan program-program dan ide-ide di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial yang dapat mendorong terwujudnya mimpi kita bersama: terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

11. (Lika-liku) Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu (Pasal 28E UUD 1945)

Agama dan negara. Hubungan keduanya tidaklah sederhana. Pemikiran mengenai hubungan negara dan agama secara umum terbagi menjadi dua kubu yang berseberangan. Kubu pertama menginginkan agar agama menjadi dasar dari penyelenggaraan agama, sementara kubu kedua justru menginginkan agar agama terpisah sama sekali dari penyelenggaraan negara. Masing-masing pemikiran tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Tarik menarik pemikiran kedua kubu ini dirasakan oleh para Bapak Bangsa saat hendak merumuskan dasar negara. Pada akhirnya, tak satupun dari kubu itu terpilih. Pancasila tampil ke depan sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila, ke-Tuhanan yang Maha Esa menegaskan bahwa negara Indonesia bukan negara agama ataupun sekuler.

Istilah ke-Tuhanan yang Maha Esa menunjukkan pengakuan manusia Indonesia atas keberadaan Tuhan. Sila ini hendaknya jangan diartikan secara sempit, seperti: hanya beberapa agama saja yang dapat diakui oleh negara. Istilah ke-Tuhanan yang Maha Esa justru bermaksud memberi landasan bagi setiap manusia Indonesia untuk memaknai kepercayaan terhadap keberadaan yang Maha Kuasa dengan cara masing-masing, wujudnya bisa berupa agama maupun kepercayaan. Inilah landasan yang paling kokoh bagi kebebasan memeluk agama dan kepercayaan di Indonesia.

Di sini dapat dipahami bahwa tidak terdapat “agama resmi”di Indonesia seperti dikenal di Malaysia atau Argentina. Meski jumlah penduduk muslim di Indonesia adalah terbesar di dunia, Islam bukanlah agama resmi seperti di Malaysia. Bertolak dari pemikiran ini, semestinya juga tidak ada penetapan “agama yang diakui” atau “agama yang tidak diakui” oleh negara. Tak dapat dipungkiri bahwa penetapan tersebut kerapkali berujung pada perilaku diskriminatif bagi mereka yang menganut “agama yang tidak diakui”.

Jika ditelusuri, penetapan enam agama yang diakui pemerintah Indonesia dilakukan berdasarkan alasan-alasan praktis administrasi negara. Karena itu, hal ini sama sekali tidak boleh disalahgunakan menjadi celah untuk melakukan tindakan diskriminatif ataupun pemaksaan kepercayaan. Setiap orang bebas memilih, menganut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Kebebasan ini dalam pelaksanaannya tentu tak boleh melanggar kebebasan orang lain. Prinsip ini penting untuk kita perhatikan mengingat agama dan kepercayaan bukanlah sesuatu yang hanya ada di dalam hati manusia. Ia kerapkali mewujud dalam bentuk ritual-ritual khas yang memerlukan ruang gerak di tengah-tengah masyarakat. Di sinilah seringkali terdapat potensi gesekan apabila ritual-ritual tersebut dipandang mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar.

Untuk menghindari terjadinya gesekan-gesekan yang telah dijelaskan di atas, negara memiliki kewenangan untuk mengatur perwujudan ritual-ritual tersebut (secara sederhana bisa kita sebut sebagai praktek ibadah) melalui hukum. Sebagai contoh, apabila terdapat praktek-praktek ibadah yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan misalnya pengorbanan manusia, negara dapat melarangnya. Demikian juga apabila terdapat agama atau kepercayaan yang ajarannya mengancam kesatuan dan persatuan negara Indonesia. Negara juga dapat melarangnya. Negara juga berwenang mengatur perihal pendirian rumah ibadah melalui mekanisme izin maupun ketentuan tata ruang agar dapat tetap tertib.

Pelarangan atau pembatasan yang dilakukan oleh negara tak boleh dilakukan sewenangwenang. Pembatasan harus didasarkan pada hukum yang berlaku. Tak hanya itu, harus juga tersedia ruang bagi masyarakat untuk mempersoalkan keputusan pelarangan atau pembatasan yang dikeluarkan oleh negara. Penerapan prinsip-prinsip ini semata-mata bertujuan menjaga agar pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah benar-benar bertujuan untuk menjamin tegaknya kebebasan memeluk agama dan kepercayaan, bukan memberangusnya.

Selain pemerintah, peran serta masyarakat juga sangat penting. Setiap elemen masyarakat hendaknya memiliki kebijaksanaan dalam memaluk maupun melaksanakan ibadah dari agama atau kepercayaan yang dianut. Sikap patuh akan aturan hukum yang berlaku harus berjalan beriringan dengan kepekaan akan kenyamanan masyarakat sekitar.

Adalah sangat baik apabila kita dapat menjalin relasi yang harmonis dengan masyarakat sekitar yang mungkin berlainan agama atau kepercayaan dengan kita. Komunikasi yang baik selalu adalah cara yang efektif untuk menghindari perselisihan dan meluruskan kesalahpahaman.

Bab ini menegaskan pada kita bahwa konstitusi menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama atau kepercayaannya masing-masing serta beribadah menurut agama atau kepercayaannya itu. Karenanya, pelanggaran terhadap hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.

Mari kita sama-sama belajar memahami hak dan kewajiban kita. Di negeri ini tak boleh ada lagi orang yang terpinggirkan hanya karena agama dan kepercayaan yang dianutnya. Bersama-sama, kita bangun iklim yang baik demi tegaknya kebebasan beragama di negeri kita.

12. (Bersama) Menjaga Indonesia

Merdekanya suatu bangsa adalah awal dari sebuah perjalanan panjang. Di balik gerbang kemerdekaan, terbentanglah berbagai potensi, kekayaan bangsa yang menunggu untuk digarap. Di sisi lain, beragam tantangan, konflik, bahkan serangan baik dalam maupun luar negeri juga menanti di sepanjang jalan kehidupan setiap bangsa yang merdeka.

Inilah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia—segera setelah ia memproklamasikan kemerdekaannya. Serangan dalam maupun luar negeri datang silih berganti. Dari luar, Belanda ,tak mengakui kemerdekaan Indonesia, menggempur tanpa ampun. Sedangkan dari dalam, terjadi pemberontakan-pemberontakan seperti pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta di dekade awal berdirinya NKRI. Kita sangat membutuhkan kekuatan yang terorganisir untuk menjaga kedaulatan negara ini di tengah gempuran masalah dan tantangan yang terjadi.

Dalam sejarah negeri ini, kekuatan yang sangat dibutuhkan itu terbentuk melalui inisiatif rakyat. Negara Indonesia berdiri tanpa adanya tentara. Pemerintah hanya membentuk sebuah satuan pejuang bersenjata untuk menjaga keamanan yang disebut Badan Keamanan Rakyat (BKR). Rakyat lalu berinsiatif membentuk badan-badan perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan negara. Pada bulan Oktober 1945 barulah pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang setelah itu berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ke dalam TKR lah badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat itu meleburkan diri. Jadi, dapat kita lihat bahwa kekuatan untuk menjaga kedaulatan negara Indonesia terbentuk dari insiatif dan pergerakan rakyat.

Karakter unik tentara Indonesia ini semakin diperkuat melalui pemilihan panglima TKR di Yogyakarta. Pemilihan panglima ini berlangsung dengan demokratis. Soedirman terpilih menjadi panglima besar bukan melalui penunjukkan presiden, namun melalui pemilihan mandiri di kalangan tentara.

Dari kisah di atas dapatlah dipahami mengapa Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Tiap tiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Rumusan pasal tersebut menegaskan bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara bukan sekadar kewajiban warganegara, tapi justru merupakan hak. Kata “hak” menunjukkan bahwa inisiatif warganegara untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara diakomodasi oleh negara.

Lebih lanjut lagi, Pasal 30 ayat (2) menunjukkan kekhasan sistem pertahanan dan keamanan negara Indonesia: pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Dalam sistem ini, TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi kekuatan utama sedangkan rakyat adalah kekuatan pendukung. Ini terlihat jelas misalnya dalam era perang gerilya. Tentara yang sudah terlatih berdiri di “garis terdepan” medan pertempuran, namun seluruh rakyat tanpa terkecuali ikut berjuang, bergerilya melawan serangan musuh – seolah-olah seluruh rakyat adalah juga “tentara”. Rakyat ikut berjuang bukan karena dipaksa, tetapi karena mereka memberi diri untuk menjadi bagian dari pertahanan dan keamanan negara.

TNI memang merupakan satuan militer yang unik. Embrio dan perkembangannya berasal dari inisiatif rakyat sendiri. Ini menyebabkan TNI memiliki karakter yang berbeda dengan satuan militer di negara lain pada umumnya. DI masa paham feodalisme berjaya di banyak negara, tentara adalah orang-orang yang disewa oleh tuan tanah untuk menjaga keamanan tuannya – semacam tentara bayaran. TNI tidak berasal dari praktek yang demikian.

TNI bukan “tentara bayaran”. TNI adalah tentara rakyat. Karena berasal dari rakyat, maka TNI tidak boleh berhadapan melawan rakyat. Kala terbentuk, TNI bukanlah satuan militer yang dibentuk untuk mendukung pribadi penguasa yang ada saat itu, bukan pula untuk kekuasaan politik tertentu. Lebih dalam dari semuanya itu,

TNI sebetulnya dibentuk untuk mendukung ide Pancasila, Pembukaan UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesetiaan TNI bukanlah pada pemegang kekuasaan dan kepentingan, tetapi pada ide-ide tersebut. Inilah sebabnya, TNI sebaiknya tidak ikut berkecimpung dalam kancah politik praktis. Terlibatnya TNI dalam politik praktis akan mengaburkan hakikat keberadaan TNI itu sendiri.

Dalam usaha pertahanan dan keamanan, TNI dan Polri memiliki peran yang berbeda. TNI adalah militer, sedangkan Polri adalah bagian dari masyarakat sipil. Di samping kedua lembaga ini, seluruh warganegara juga berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan. Ini adalah sebuah sistem pertahanan yang total!

Dengan demikian, usaha pertahanan dan keamanan bukanlah tugas TNI dan Polri semata, tetapi tugas kita semua. Secara praktis misalnya, masyarakat dapat ikut serta mendeteksi keberadaan teroris atau tindak kriminal di lingkungan sekitarnya dan melaporkannya pada pihak berwajib. Ini adalah salah satu wujud peran serta masyarakat dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara Indonesia.

Setiap kita berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Setiap kita dapat berperan sesuai dengan kapasitas masing-masing menjaga Indonesia. Demi terciptanya rumah Indonesia yang aman bagi seluruh anggota keluarganya, mari kita aktif bersama-sama menjaga Indonesia!

Drs. Jakob Tobing, MPA

Drs. Jakob Tobing, MPA

Presiden Institut Leimena

Jakob Tobing (Jakob Samuel Halomoan Lumbantobing) ikut meletakkan dasar reformasi politik Indonesia melalui kepemimpinannya sebagai Ketua PAH I BP-MPR RI yang melakukan demokratisasi UUD 1945 melalui amandemen pada tahun 1999 – 2002. Sebelumnya, sebagai Ketua Panitia Pemilihan Indonesia, ia memimpin pelaksanaan Pemilu 1999, yang merupakan pemilu demokratis pertama sejak 1955. Ia adalah aktivis mahasiswa intra dan ekstra universitas. Pada Oktober 1965, ia menjadi komandan gerakan anti Gestapu/PKI Jawa Barat. Awal 1966, ia adalah salah seorang pendiri Kesatuan  Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Institut Teknologi Bandung (ITB) dan KAMI konsulat Bandung. Tahun 1966 ia menjadi salah seorang ketua (pengganti) KAMI Pusat, Jakarta. Pengalamannya dalam badan legislatif dimulai sejak 1968 ketika diangkat menjadi anggota DPR termuda saat itu. Selanjutnya, dengan pengabdian dalam berbagai poisisi selama 34 tahun, ia adalah anggota DPR/MPR terlama sepanjang sejarah Indonesia. Ia adalah anggota tim perumus visi dan misi pembentukan GOLKAR tahun 1971 dan selanjutnya ikut menjadi pimpinan DPP GOLKAR. Ia pernah menjadi ketua Tim Politik Dewan Pembina GOLKAR dan pada tahun 1988-1993 ia menjadi Ketua I DPP GOLKAR. Sejak 1994, bersama-sama Gus Dur, Bambang Triantoro, Megawati Soekarnoputri, Suko Sudarso, Matori Abdul Djalil, dkk ia kembali bergiat membangun gerakan reformasi. Pada tahun 1997 bergabung dengan PDI Megawati Soekarnoputri dan menjadi Wakil Ketua Balitbang PDI Mega untuk selanjutnya ikut membangun PDI-Perjuangan. Seusai pengabdian di MPR/DPR, tahun 2004 – 2008 ia ditugaskan sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan. Selama pengabdiannya itu, ia berhasil turut mengupayakan pertemuan puncak Presiden Korea Selatan, Roh Mo-hyun dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il di Pyongyang. Atas pengabdiannya, alumnus John F. Kennedy School of Government – Harvard University ini dianugerahi berbagai tanda jasa, antara lain bintang Mahaputera Utama dari Republik Indonesia dan Gwanghwa Medal dari Republik Korea.
bersama dengan
Viona Wijaya, SH

Viona Wijaya, SH

‎Staff at the National Law Development Agency, Ministry of Law and Human Rights Republic of Indonesia

Viona Wijaya menyelesaikan studi ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan konsentrasi Hukum Tata Negara. Pernah bekerja paruh waktu sebagai sekretaris Pokja Hukum di Institut Leimena (2013-2014) dan menjadi guru pendidikan kewarganegaraan di beberapa SMA swasta di kota Bandung (2012-2014). Saat ini mengabdi sebagai pegawai negeri sipil pada Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM