Tanah yang kitorang injak dan tinggali ini, kita anggap sebagai “mama” yang mengandung, melahirkan, memelihara dan memberikan makanan bahkan perlindungan, juga pengorbanan bagi kitorang samua,” demikian penuturan Isaac, sahabatku mengenai tanah kelahirannya.

Berbeda dengan kita yang seringkali menganggap tanah hanyalah sebagai benda mati, sebaliknya orang Papua memaknai tanah layaknya seorang ibu yang memberikan kehidupan kepada anak manusia, sumber kehidupan dimana manusia secara total menggantungkan seluruh hidupnya.

Ketertarikanku pada filosofi tanah yang dianut masyarakat Papua, membawa kakiku melangkah ke tempat yang kaya akan sumber daya alamnya ini. Tapi, kenyataan yang ada di depan mataku sangatlah jauh! Alam yang kaya, tak serta-merta menjadikan manusia-manusia yang hidup di atasnya menjadi sejahtera. Entah mengapa kehidupan masyarakat adat Port Numbay – Jayapura, khususnya kecamatan Kayu Batu dan Kayu Pulo bisa dikatakan jauh dari sejahtera. Berulang kali konflik perihal tanah adat terjadi di tempat ini. Aku mencoba menelusuri apa sesungguhnya yang terjadi.

Sore itu aku memperoleh kesempatan bertemu dengan Pdt. Silas. Ia sangat ramah dan dikenal sebagai tetua di Numbay. Ia membuka percakapan kami dengan sebuah kegelisahan, “Sejak bangsa Belanda masuk ke tanah Papua, banyak nilai-nilai adat kitorang yang berubah. Orang mulai mengenal yang namanya uang sebagai imbalan dari barang atau jasa yang ditukar, termasuk tanah juga. Dulu trada yang namanya ganti rugi, kalau orang yang punya tanah banyak mau kasih sama orang lain, ya kasih saja begitu, tra pake bayar-bayar. Tapi orang Belanda dorang waktu itu panggil kitorang punya kepala-kepala suku, baru kasi dorang hulden. Orang Belanda bilang, ini buat ganti kamu orang punya tanah. Akhirnya, ini sekarang banyak kepala suku dan kepala adat, dorang tuntut ganti rugi. Orang Belanda tra paham baik makanya jadi kaya begitu.”

Berakhirnya penjajahan Belanda, nyatanya tak membawa kemerdekaan di tanah Papua ini. Kesalahpahaman mengenai Hak Ulayat diantara masyarakat dan pemerintah membuat masyarakat masih merasa haknya terjajah dan dirampas.

Pdt. Silas kembali menceritakan perjuangannya kepadaku, “Kami sendiri sudah banyak kehilangan tanah, sekarang yang tersisa hanya tanah di pinggir-pinggir gunung. Itu pun kondisinya tidak cocok untuk bikin kebun. Selain itu mama-mama juga takut keluar terlalu jauh dari rumah, karena banyak orang jahat. Banyak tanah yang kami lepas untuk pemerintah bangun kantor, perumahan dan toko. Pemerintah bilang, kalau nanti bangun perumahan, kantor dan toko, masyarakat nanti bisa ikut menikmati hasilnya. Kami tertarik dan setuju, waktu itu juga masih banyak tanah, jadi kami lepaskan dengan ganti rugi yang tidak seberapa, karena prinsipnya kami mo bantu pemerintah bukan mo jual tanah. Tapi sekarang, situasinya tidak seperti yang pernah dorang janji waktu itu. Kami su kirim surat minta ganti rugi hak ulayat. Dorang jawab katanya ini aset negara, kapan itu jadi aset negara? Apa katorang masyarakat yang punya tanah sudah setuju atau tidak? Dorang tidak pikir itu”.

Sekian lama pembangunan infrastruktur di tanah Papua tidak menjadi prioritas pemerintah. Mengabaikan nilai-nilai budaya, tanah leluhur, sesunguhnya menciderai hati rakyat.

“Kembalikan ibuku, kembalikan tanahku …”.

Di sadur dari: “itu kitorang pu’ tanah” – Melihat Klaim dan Sengketa Tanah Pada Orang Kayu Batu dan Kayu Pulo di Kota Jayapura. (Oleh: Fadly Marthen), Depok 2012.