“Jika negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak mengakui negara”, ungkap Sabone dengan kesal. Senja itu Sabone yang merupakan salah satu masyarakat suku Wana – Morowali mencurahkan segala penderitaan yang dialaminya kepadaku.

Sabone menggambarkan kepadaku bagaimana Orang Wana hidup dalam harmonisasi dengan hutan. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil di hutan-hutan dalam kawasan cagar alam Morowali.  

Namun semua kedamaian ini perlahan berubah menjadi petaka ketika tahun 1986 pemerintah menetapkan bahwa kawasan seluas 225.000 Ha sebagai kawasan konservasi Morowali.

Ruang gerak masyarakat yang semula bebas kini dibatasi. “Kami dilarang mengambil kayu di hutan, mengambil binatang buruan dan ikan di sungai. Bahkan yang tidak kalah ironisnya, kami dituduh merusak ‘rumah’ kami sendiri. Tuduhan merusak kawasan konservasi, perambah hutan, peladang berpindah dan berbagai tuduhan lainnya yang berkonotasi negatif datang silih berganti, mencoba memunahkan kami“, lanjut Sabone menjelaskan.

Hutan yang dahulu adalah rumah bersama, kini mereka dilarang memasukinya. Tak segan-segan pihak keamanan menangkap dan mengadili mereka yang coba memasuki lahan tersebut.

Sambil meremas tangannya, Sabone mencoba menahan amarah, “Kami kehilangan pekerjaan! Tak bisa lagi kami berladang, berburu, menambang, mencari bahan makanan bahkan melakukan ritual keagamaan di tanah kelahiran yang kini dikuasai perusahaan-perusahaan asing”.

Pernah suatu kali ketika para mama yang sedang menangkap ikan di sebuah sungai di tengah kebun sawit, tiba-tiba didatangi petugas keamanan. Dengan suara garang “tumpahkan ikan-ikan itu ke sungai ! Kalian tidak punya hak untuk menangkap ikan di sini. Sungai ini bukan lagi milik kalian. Sungai ini milik perusahaan!”. Dalam kesedihan, para perempuan itu menumpahkan ikan hasil tangkapan mereka dan pulang ke rumah masing-masing dalam kebisuan.

Teman-temanku banyak yang berubah. Mereka yang dahulu tak pernah tahu yang namanya berjudi, mabuk-mabukan, sekarang semenjak mereka mengenal uang tak sedikit yang terjerat pada miras, obat-obatan terlarang, bahkan ada sampai yang bunuh diri”.

Walaupun tidak semua hutan diambil secara paksa, ternyata ada juga beberapa perusahaan yang memberikan ganti rugi walaupun jumlah yang diberikan tidak sesuai dengan pasaran harga tanah yang berlaku. Tindakan ini akhirnya membuat ambruk nilai-nilai sosial budaya masyarakat Adat. Meski kini pemerintah telah mencoba berbagai program pembangunan yang ditujukan kepada masyarakat adat yang bertujuan untuk memanusiakan mereka. Nyatanya orang-orang seperti Sabone masih saja merasa dirampas hak-hak mereka. Tak sedikit masyarakat adat mengalami diskriminasi berupa fisik dan non fisik, akses ke hutan terbatas, pengusiran dan lain-lain dengan menggunakan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Masihkah ini akan terus terjadi?.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disadur dari : Jejak Langkah Masyarakat Adat Nusantara Dalam Memperjuangkan Hak Atas Pengelolaan Sumber Daya Alam. (Novi Siti Julaeha, Depok – 2002)