Astaga …! Pertama kalinya dalam hidup, aku kesampaian menginjakkan kaki di pulau dengan sebutan borneo ini. Seksi! kata ini yang terlintas di pikiranku mengenai Kalimantan. Hutan hujan tropis tertua di dunia, cagar alam “si hidung belang” (hewan sejenis kera, memiliki bulu cokelat cerah, dan hidung besar), surganya satwa liar… apalagi? Ah, pertama kali pesawatku memasuki pulau ini, pemandangan hijau menutupi seluruh daratan yang membuat mataku sekonyong-konyong jadi lebih segar. Ini mungkin lebay. Tapi, tak apalah! Namanya juga terlalu senang 🙂

Kunjungan perdanaku kali itu punya banyak cerita berkesan, tapi paling menarik adalah pertemuanku dengan warga lokal bernama Sape. Sangat polos, baik. Rasanya teduh berbincang-bincang dengan dia. Waktu itu, setelah berkenalan, Sape spontan saja mengajakku berkunjung ke rumahnya. Katanya, ia ingin memperlihatkan salah satu alat musik tradisional Kalimantan hasil buatan tangannya sendiri. Kacapi namanya, alat musik berdawai dua khas masyarakat Dayak.

Sahelu bara riwut inanjuri, ampunlah ma’af hayak permisi …” Sape melantukan penggalan lagu daerah yang lembut dan memanjakan telingaku. “Unik sekali bentuk kacapi ini, seperti menyerupai seekor burung!” kataku. “Iya, memang kacapi ini dibentuk seperti burung enggang. Kami, masyarakat Dayak, mempercayai bahwa ini adalah hewan yang sakral.”

Ia menjelaskan lagi, “burung ini menguasai hampir seluruh hutan di pulau Kalimantan. Ia merupakan simbol kepemimpinan dan kesetiaan. Ketika burung enggang ini terbang melintasi langit nan luas, kita akan melihat bentangan sayapnya bak seorang pemimpin yang sedang melindungi rakyatnya. Konon kesetiannya teruji ketika ia harus menemani sang betina yang sedang mengerami telurnya. Ia akan menjelajahi hutan untuk mencari makan bagi keluarganya. Bahkan ketika ditinggal mati oleh sang betina, ia tidak akan mencari pasangan yang baru.”

Sape dan masyarakat setempat meneladani betul nilai kepemimpinan dan kesetiaan ini. Itu sebabnya mereka memakai simbol burung enggang tersebut.

Aku memperhatikan Sape memainkan alat musik berbentuk burung Enggang itu, sambil merenungkan makna kesetiaan yang terkandung di dalamnya. Suasana teduh dan damai di rumah Sape, musik dan alunan suaranya, membuat perjalananku di Pulau Borneo ini menjadi lebih lengkap. Terima kasih, Sape. Terima kasih, Enggang. Aku juga akan jadi pemimpin yang mengayomi dan melindungi!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disadur dari berbagai sumber

Foto Ilustrasi : vivaborneo.com